Cinta Pertamaku

177 12 0
                                    

Bab 3: Cinta Pertamaku

Bab 3: Cinta Pertamaku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Korn

Tonkla POV
Aku masih ingat dengan jelas saat pertama kali bertemu dengan Korn. Hari itu malam terasa dingin, dan aku baru pulang dari kampus. Di lorong gelap itu, aku hampir menjadi korban pelecehan seksual. Namun, takdir berkata lain.

Aku melihat sosok tinggi dan tegap mendekat dari kejauhan dan menolongku. Pria itu-Korn-tampak begitu mengesankan, berwibawa, dan tegas. Wajahnya penuh determinasi saat dia menghadapi pelaku yang hampir saja menghancurkan hidupku. Dengan kekuatan yang luar biasa, Korn melumpuhkan pria itu hanya dalam beberapa gerakan cepat, seolah semuanya sudah terprogram dalam tubuhnya.

Dan di sanalah aku, berdiri terpaku, gemetar tak karuan, tak bisa memahami apa yang baru saja terjadi. Korn menghampiriku, wajahnya yang tadinya penuh dengan ketegasan berubah menjadi lembut dan penuh perhatian. Saat dia menatapku, ada sesuatu dalam matanya yang mengirimkan getaran aneh ke seluruh tubuhku. Itu adalah tatapan yang belum pernah kurasakan sebelumnya, sebuah kombinasi dari kekaguman dan sesuatu yang lebih dalam-sesuatu yang begitu kuat hingga membuat dadaku berdebar.

"Mate," desis Korn pelan saat pandangan kami bertemu. Ada sesuatu yang aneh dari cara dia mengucapkan kata itu, seperti dia baru saja menemukan bagian hidupnya yang hilang. Aku sempat tersenyum kecil. Mate? Sungguh klise dan cheesy, pikirku saat itu. Rasanya seperti mendengar kata-kata perayu ulung yang berusaha mencuri hatiku. Tapi anehnya, meskipun aku merasa kata itu berlebihan, aku menyukainya. Aku menyukai caranya mengatakannya, seolah aku adalah satu-satunya hal yang penting di dunia ini.

Aku tak bisa menyangkal perasaan aneh yang menyelusup dalam hatiku sejak malam itu. Korn... dia seperti badai yang datang tiba-tiba, membawa angin hangat dan ketenangan dalam satu paket yang membingungkan. Di satu sisi, aku takut, takut akan kekuatan yang dia pancarkan, takut dengan cara dia begitu yakin padaku hanya dalam sekali tatap. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menuntut di dalam diriku-sesuatu yang tak bisa kutolak. Rasa nyaman yang mengalir di antara kami, membuatku merasa aman dan dicintai dengan cara yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Sejak malam itu, hubungan kami berkembang dengan cepat. Korn selalu memastikan aku baik-baik saja, dia datang menjemputku sepulang dari kampus, dan tak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan betapa besar perhatiannya padaku. Dan aku, meskipun malu, selalu menunggu-nunggu kehadirannya. Ada sesuatu yang menenangkan dalam cara dia memperlakukanku, seolah aku adalah porselen yang bisa retak kapan saja. Korn selalu memanggilku dengan suara lembut, dan sentuhannya... sentuhannya seperti membawa kedamaian yang belum pernah kurasakan.

Aku masih ingat pertama kali aku menginap di apartemen Korn. Apartemennya mewah, nyaman, dan hangat, sangat berbeda dari rumahku yang selalu penuh dengan dinginnya kebencian nenekku. Nenek selalu memperlakukanku seperti aib, dia tak pernah ragu menyiksaku dengan kata-kata tajam, membandingkanku dengan sepupu-sepupu lain yang menurutnya jauh lebih sempurna dariku. Di rumah itu, aku selalu merasa tak berharga, tak diinginkan. Namun di apartemen Korn, semua perasaan itu menghilang. Korn memberiku tempat yang aman, tempat di mana aku bisa merasakan cinta dan kehangatan yang selama ini kurindukan.

Malam itu, Korn dan aku bercinta untuk pertama kalinya. Aku ingat betapa canggungnya aku, betapa ragu dan khawatirnya perasaanku. Aku tak pernah memiliki pengalaman sebelumnya, tak pernah merasakan keintiman seperti itu. Korn, sebaliknya, begitu lembut, begitu penuh perhatian. Dia memanggilku "Sayang" dengan suara yang dalam dan menenangkan, membuatku merasa aman meskipun ada ketakutan yang menyelinap dalam diriku.

"Tenang saja, Tonkla... Aku di sini, selalu ada untukmu," ucap Korn sambil menyentuh pipiku dengan lembut, matanya menatapku dalam. Sentuhannya menenangkan setiap keraguan yang ada dalam hatiku, membuatku merasa dicintai, dihargai.

Malam itu, Korn memperlakukanku dengan penuh kasih sayang. Meski aku merasa malu dan canggung, Korn tak pernah memaksa. Dia sabar, memastikan bahwa aku merasa nyaman dalam setiap langkah yang kami ambil bersama. Dan setelahnya, aku merasa... lengkap. Korn membuatku merasa seperti seseorang yang pantas dicintai. Rasa takut yang sempat menghantuiku perlahan hilang, digantikan oleh cinta yang semakin kuat setiap harinya.

Hubungan kami semakin mesra seiring waktu. Aku sering kali memutuskan untuk menginap di apartemennya, karena tak tahan dengan sikap nenek yang semakin menjadi-jadi. Korn selalu menyambutku dengan senyum hangat setiap kali aku datang. Dia tak pernah mengeluh, tak pernah merasa terbebani oleh kehadiranku yang sering kali mendadak.

"Aku selalu ingin kamu di sini, Tonkla. Ini rumahmu juga," katanya suatu malam sambil menatapku penuh kasih. Korn memang begitu, dia selalu membuatku merasa diinginkan, dihargai, sesuatu yang tak pernah kudapatkan di tempat lain.

Aku mulai menikmati rutinitas kami. Setiap malam, aku akan menunggu Korn pulang dari pekerjaannya di kepolisian. Sebagai petugas yang sering terjun di lapangan, pekerjaannya penuh dengan risiko. Namun, itu membuatku semakin kagum padanya. Korn adalah pria yang berani, tegas, dan selalu melindungi orang-orang di sekitarnya. Dia adalah pahlawan di mataku, dan aku bangga bisa berada di sampingnya.

Setiap kali Korn pulang kerja, aku akan menyiapkan makan malam sederhana untuknya. Korn selalu tersenyum ketika melihat usahaku, meskipun masakanku tak sehebat yang dibuat oleh chef di restoran mewah. "Ini lebih dari cukup, Tonkla. Kamu tahu aku suka apa pun yang kamu buat," katanya sambil mencium keningku. Aku selalu tersipu saat mendengar pujian darinya. Korn tahu bagaimana membuatku merasa istimewa dalam hal-hal kecil.

Sering kali setelah makan malam, kami akan berbaring di sofa, hanya berbicara atau terkadang berpelukan dalam keheningan yang nyaman. Korn akan membelai rambutku, menatapku seolah aku adalah harta paling berharga dalam hidupnya. Dalam momen-momen itu, aku selalu merasa sangat dicintai. Korn tidak hanya melindungiku dengan kekuatannya, tapi juga dengan kelembutannya.

Namun, ada satu malam yang membuatku sangat khawatir. Korn pulang dengan beberapa luka di tubuhnya-bekas goresan dan memar yang jelas menunjukkan bahwa dia baru saja terlibat dalam situasi yang berbahaya. Meski dia berusaha tersenyum dan berkata bahwa itu bukan apa-apa, hatiku tak bisa tenang.

"Kak Korn, apa yang terjadi?" tanyaku dengan suara gemetar, mataku mulai berkaca-kaca melihat luka-luka di tubuhnya. Aku benci melihatnya terluka, benci melihatnya kesakitan meskipun dia berusaha menyembunyikannya dariku.

"Jangan khawatir, Sayang. Ini hanya luka kecil. Aku baik-baik saja," jawabnya sambil menyentuh pipiku dengan lembut. Dia berusaha menenangkanku, tapi aku bisa merasakan kekhawatiran yang perlahan menyelinap dalam hatiku.

"Tapi... tapi, Kak Korn terluka," aku tak bisa menahan air mataku. Korn menarikku ke dalam pelukannya, membiarkanku menangis di dadanya.

"Aku tidak apa-apa, Tonkla. Aku tidak akan membiarkan apa pun terjadi padaku, karena aku tahu kamu menungguku di sini. Kamu adalah alasan aku tetap kuat," ucapnya dengan penuh kelembutan.

Malam itu, meskipun aku masih khawatir, Korn berhasil menenangkan hatiku dengan kata-katanya yang lembut dan sentuhan yang penuh cinta. Dia membuatku merasa aman, meskipun di luar sana dunia tampak begitu berbahaya. Korn adalah tempatku berlindung, dan aku tahu, selama kami bersama, tak ada yang bisa memisahkan kami.

Seiring waktu, cinta kami semakin kuat. Korn adalah segalanya bagiku, dia adalah pahlawan, pelindung, dan orang yang membuatku merasa dihargai dan dicintai. Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Korn, dengan segala ketegasan dan kelembutannya, telah mengubah hidupku. Dan aku tahu, di sisinya, aku akan selalu merasa utuh.

Mate! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang