Tonkla: Aku mengenal Walawa

75 7 0
                                    

Malam itu, aku merasa sedikit gugup, tapi juga bersemangat. Aku mengenakan setelan kemeja biru laut dan celana kain hitam yang kupilih dengan teliti kemarin di Capital. Acara yang diadakan oleh Salin dan pasangannya Sun terasa seperti hal besar bagiku. Sebagai orang baru di Walawa, bertemu dan berbaur dengan penduduk setempat selalu membuatku merasa lebih dekat dengan tempat ini, seolah-olah aku mulai menjadi bagian dari mereka.

Kak Korn sudah rapi sejak tadi, mengenakan pakaian yang elegan tapi tetap sederhana, seperti biasanya. Dia selalu terlihat tampan dengan apapun yang dikenakannya. Saat kami berjalan menuju West Hill, tempat acara diadakan, tanganku menggenggam erat lengan Korn. Perutku sudah semakin besar, dan aku tahu dia khawatir, tapi aku ingin sekali menikmati malam ini.

“Masih khawatir?” aku bertanya sambil menoleh ke arahnya.

Dia hanya tersenyum sambil mengecup pelipisku. “Selalu khawatir soal kamu, tapi aku tahu kamu bisa menjaga diri.”

***

Acara di rumah Salin ternyata lebih meriah dari yang kubayangkan. Banyak orang hadir, semuanya ramah dan terbuka. Salin sendiri menyambut kami dengan hangat, senyumnya tidak pernah pudar dari wajahnya yang cantik dan tampan sekaligus. Kami berpelukan sebentar sebelum dia memperkenalkan kami pada beberapa tamu lain.

“Makasih sudah datang,” kata Salin sambil menggenggam tanganku. “Aku tahu kamu pasti sibuk atau mungkin capek, apalagi sekarang sedang hamil.”

Aku tersenyum, merasa diterima. “Terima kasih sudah mengundang, Salin. Aku senang bisa ada di sini.”

Makanan yang dihidangkan benar-benar lezat, dan suasana pesta begitu hangat. Semua orang tampak menikmati malam itu. Korn juga terlihat asyik berbincang dengan beberapa tamu, sesekali matanya melirik ke arahku seolah memastikan aku baik-baik saja. Aku tersenyum padanya, mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja.

Namun, ketika suasana sedang ramai dan penuh canda tawa, tiba-tiba suara sirine keras terdengar di kejauhan. Suara itu begitu menusuk, menghentikan seluruh percakapan dan tawa. Aku melihat sekeliling, wajah-wajah yang tadinya ceria berubah drastis. Beberapa orang tampak terkejut, yang lain jelas-jelas menunjukkan ketakutan.

Apa yang sedang terjadi?

Korn segera menghampiriku, ekspresinya berubah serius. Dia menggenggam lenganku erat-erat, lalu berbisik pada Salin, “Jaga Tonkla. Jangan biarkan dia keluar rumah.”

Salin yang awalnya juga tampak kebingungan dan takut segera mengangguk, memahami situasi. Pasangannya, Sun, juga bergegas menuju kerumunan, memberikan instruksi pada beberapa orang. “Semua pintu harus dikunci!” teriaknya. “Alpha yang tinggal, berjaga di sini. Yang lain, ikut aku!”

Aku semakin bingung dan khawatir. “Ada apa ini, Kak?” tanyaku, suaraku bergetar.

Korn menatapku dalam-dalam. “Tidak ada apa-apa, Sayang. Aku janji kamu akan baik-baik saja.”

Tapi kata-katanya tidak membuatku tenang. Justru kebalikannya, ketakutan mulai merayap ke dalam hatiku. Aku tahu Korn berusaha menenangkan, tapi aku bisa merasakan bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi. “Aku mau ikut denganmu,” desakku.

Korn menggeleng. “Tidak. Kamu harus di sini. Aku tidak akan tenang kalau kamu ikut.”

Aku ingin memprotes, tapi kemudian Salin mendekat, memegang tanganku dengan lembut. “Tonkla, biarkan mereka yang memeriksa. Kamu aman di sini.”

Aku melihat ke arah Korn lagi, mataku mulai berkaca-kaca. “Kak Korn…”

Dia tersenyum, meski jelas-jelas khawatir. “Aku janji, Sayang, semuanya akan baik-baik saja. Aku akan segera kembali.”

Mate! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang