BAB 4

98 11 0
                                    

Voucher CERIABERSAMA masih sisa dua lagi. Kalian bisa mendapatkan potongan Rp. 5000,- untuk setiap dukungan karya yang ingin dibaca.


Di tengah keheningan kelas, pikiran Hinata melayang. Ia tak bisa berhenti membayangkan Naruto Uzumaki. Apakah anak itu benar-benar seunik yang digambarkan orang-orang? 

Rasa penasaran itu menghantuinya, membuat pelajaran yang seharusnya menarik terasa hambar. Alih-alih berkonsentrasi pada pelajaran, Hinata memilih menoleh ke sekeliling. Tatapannya menyapu wajah-wajah teman sekelas yang tampak begitu asyik dengan dunianya masing-masing. Rasa sepi menyelimuti hatinya. Ia merasa seperti penonton dalam sebuah pertunjukan yang tidak mengundangnya.

Mereka semua adalah teman sekelas, tapi Hinata merasa seperti orang asing di antara mereka. Pandangan remeh tersirat di balik tatapan teman-temannya. Nilai yang biasa saja, dompet yang tipis, dan wajah yang sederhana membuatnya merasa tidak cukup baik. Hatinya terasa pedih saat menyadari bahwa tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar peduli. Harapannya untuk diterima seakan lenyap ditelan kehampaan.

Bagi Hinata anak-anak itu seolah hidup di dunia yang berbeda darinya, tanpa sedikit pun menyadari penderitaan yang dialami orang lain. Masalah Hinata bagai tetes air di lautan luas, begitu kecil dan tidak berarti bagi mereka. Setidaknya, dengan ketidakpedulian mereka, Hinata terhindar dari rasa sakit akibat cemoohan langsung. Dalam kesendiriannya, ia merasa lebih tenang meskipun kesepian

Masih lebih baik seperti ini.

Pandangannya kembali terpaku pada deretan angka di papan tulis, berusaha keras untuk fokus. Di dalam hatinya, ada keinginan kuat untuk melepaskan diri dari belenggu perasaan kesepian dan ketidakpedulian teman-temannya. Namun, kenangan akan masa-masa di mana mereka pernah akrab membuat hatinya ragu. Dia tidak akan menyangkal, hari-hari di mana dia dekat dengan yang lainnya tanpa sekat adalah hari yang menyenangkan.

Setahun terakhir ini, kondisi Hanabi semakin memburuk. Dokter telah memberi tahu keluarga bahwa mereka harus bersiap dengan segala kemungkinan. Meskipun begitu, secercah harapan tetap ada. Mereka terus berusaha dengan terapi dan cuci darah. Tidak peduli bahwa pada akhirnya hasil itu akan mengecewakan. Apa yang membuat mereka bisa tersenyum nantinya bahwa Hinata dan ibunya sudah berusaha keras untuk memberikan kehidupan. 

Sementara ketika dia terus menyelami rasa kesepiannya, dia mendengar kegaduhan di kelas mencapai puncaknya, berubah menjadi riuh rendah bak kerumunan penonton di stadion sepak bola. Guru Kakashi terpaksa menghentikan penjelasannya. Semua mata tertuju pada jendela yang menghadap koridor. Sosok tinggi berambut pirang mencolok melintas cepat, membuat jantung Hinata berdegup kencang. Ia berusaha keras untuk menangkap wajah pemuda itu, tapi bayangan itu terlalu samar-samar untuk dilihatnya. Satu-satunya yang bisa ditangkap olehnya adalah gaya rambut pemuda populer itu tak asing baginya, maka dia bertanya-tanya di mana dia melihatnya.

Di waktu yang sama, segerombolan murid berhamburan menuju jendela, penasaran dengan sosok yang ada di depan kelas mereka. Sedangkan guru Kakashi dengan langkah tenang keluar dari kelas dan mendekati pemuda berambut pirang yang kini berhenti di tengah koridor. Tatapan seluruh murid tertuju pada keduanya, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.

Buku tebal itu menghunjam jendela kaca, membuat kaca bergetar hebat hingga menimbulkan dentuman nyaring yang menggema di seluruh ruangan. "Kembali ke kursi kalian masing-masing," kata guru itu dengan tegas. Seperti semut yang terkejut, siswa-siswi berhamburan secepat kilat, menuju bangku mereka. 

Setelah memastikan semua anak-anak itu berada di kursi masing-masing, pandangan guru tersebut beralih kembali kepada anak laki-laki berambut kuning tersebut. "Kepala sekolah sudah menunggumu sejak tadi, aku akan mengantarmu sekarang." 

Ketika bayangan guru mereka menghilang di kejauhan, jeritan histeris memecah keheningan. Seorang gadis di samping Hinata tampak sangat kalut. Hinata awalnya terkejut, mengira terjadi sesuatu yang mengerikan. Namun, saat ia menoleh, pandangannya bertabrakan dengan sepasang mata yang berbinar-binar penuh kegembiraan. Kontras antara jeritan dan sorot mata itu membuatnya bingung. Dahi Hinata berkerut heran.

"Apa itu benar?" 

"Itu Naruto Uzumaki?" 

"Astaga, dia tampan sekali, bagaimana bisa?" 

Di balik kerumunan itu, Hinata membayangkan wajah pemuda idaman anak-anak itu yang heboh sejak pagi. Apakah setampan yang digambarkan? Apakah sepintar yang mereka bicarakan? Namun, rasa penasaran itu cepat sirna. Toh, ia tak punya alasan untuk ikut-ikutan. Hinata sama sekali tidak tertarik dengan pemuda itu. Baginya, terlibat dengan pemuda populer seperti itu sama sekali tidak menguntungkan dan hanya akan membuatnya repot.

Bisikan-bisikan tentang pemuda itu terus saja memenuhi telinganya, mengganggu konsentrasinya. Hinata berjuang keras untuk fokus pada pelajaran, namun rasa penasaran itu terus menggelitik hatinya. Sebagai manusia biasa, cukup masuk akal kalau dia sulit melenyapkannya, walau ia berusaha keras untuk menampiknya. Di satu sisi, ia ingin tahu lebih banyak, namun di sisi lain, ia enggan terlihat sama seperti gadis-gadis lain.

Hinata menghela napas panjang. "Bagaimana mungkin aku bisa fokus?" gumamnya dalam hati. Pikirannya terus saja melayang ke arah yang tidak diinginkan. Awalnya berusaha mengabaikan, namun pada akhirnya Hinata justru ikut hanyut dalam perbincangan mereka. Seolah ada magnet yang menariknya untuk terus mendengarkan apa yang mereka perdebatkan.


Bersambung

UNBREAKABLE [STONE MAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang