BAB 12

66 14 0
                                    

CATATAN PENULIS:

Disebabkan banyaknya dukungan UNBREAKABLE [STONE MAN] di Karyakarsa, aku mau update di sini Bab 11-12 untuk kalian pembaca dan voters setia (walau cuma 3 orang yang setia wkwk). Terima kasih sudah mendukung dan membaca karya-karyaku.


Seperti yang terjadi sebelumnya, saat waktu makan siang tiba, Naruto berjalan ke arah meja Hinata. Namun, kali ini dia tidak langsung menyerahkan nampan makan dan pergi begitu saja. Alih-alih, Naruto memilih untuk duduk di meja yang sama, bergabung dengan Hinata.

"Aku hanya ingin memastikan kamu menghabiskan makanannya," ujar Naruto dengan nada tegas. Hinata mendengkus pelan, menggenggam sendoknya dengan erat, menahan perasaan yang bercampur antara kesal dan malu. "Makan!" perintah Naruto semakin mendesak, membuat suasana terasa semakin intens. Dia menyandarkan sikunya di atas meja, lalu menyilangkan kakinya dengan santai, matanya penuh harapan, seolah menunggu Hinata benar-benar menuruti perintahnya dan menghabiskan makanan itu.

Tidak ada pilihan lagi, meski hatinya bergejolak tiada henti ingin menolak apa yang Naruto lakukan itu. Hinata ingin sekali menjauh, menjaga jarak dari sesuatu yang tak sepenuhnya ia pahami. Namun, di sisi lain, ada sesuatu yang menahannya, membuatnya tak mampu menghindar.

Hinata tahu, Naruto selalu bertindak tanpa banyak berpikir, seolah semua hal yang dia lakukan mengalir begitu saja. Tapi kali ini, tindakannya membawa Hinata ke dalam pusaran emosi yang rumit. Setiap gerak-gerik Naruto, setiap kata yang keluar dari mulutnya, seakan menguji batas hatinya yang rapuh. Dia ingin menolak, ingin melepaskan diri dari keterlibatan yang kian dalam ini, tetapi pada saat yang sama, sesuatu dalam dirinya tidak bisa membiarkannya pergi.

Hinata menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan badai di dalam dirinya. Namun, meski dia berusaha, perasaan itu tetap tak mau hilang. Dan sekarang, dengan semua yang terjadi, dia tahu tidak ada jalan untuk benar-benar lari dari perasaannya lagi. Naruto telah masuk terlalu jauh dalam hidupnya.

Masalahnya, orang-orang di sana mulai melihat mereka yang tampak semakin dekat. Setiap tatapan, setiap interaksi, meskipun kecil dan tidak disengaja, mulai menjadi bahan pembicaraan. Bisikan-bisikan dari teman-teman sekelasnya semakin keras, dan Hinata bisa merasakan bahwa mereka mulai membentuk opini mereka sendiri.

Satu hal yang ia takuti adalah kenyataan bahwa semua ini mungkin akan segera sampai ke telinga dewan sekolah atau komite disiplin. Hinata tahu betul, jika itu terjadi, mereka berdua akan dipanggil untuk menjelaskan hubungan yang sebenarnya. Padahal, dia sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan apa yang sedang terjadi antara dirinya dan Naruto.

Dan, entah untuk alasan apa, Naruto kini tampak lebih rajin masuk sekolah. Sesuatu yang cukup aneh mengingat reputasi Naruto yang sering absen atau terlambat. Yang lebih membingungkan lagi, lelaki itu selalu menyodorkan nampan seng makan siangnya kepada Hinata—seolah hal itu menjadi rutinitas barunya.

"Aku merasa kamu tidak tahu peraturan di sekolah ini," bisik Hinata pelan, tubuhnya mencondong ke arah Naruto, seolah ingin memastikan tidak ada yang mendengar percakapan mereka. Suaranya lembut, tetapi penuh kehati-hatian. 

Naruto mengangkat alis, tampak sedikit bingung, tetapi tidak memotong pembicaraan Hinata.

"Jadi, aku akan beri tahu," lanjutnya, matanya menatap Naruto dengan serius. "Kamu tidak seharusnya melakukan hal seperti ini. Menyodorkan makananmu setiap hari—itu bisa membuat orang-orang salah paham. Kamu tahu, kan, sekolah ini punya aturan ketat soal hubungan antar muridnya? Mereka kira ada sesuatu di antara kita berdua."

Hinata tahu suaranya terdengar cemas, tetapi dia tidak bisa mengabaikan risiko yang ada. Semakin sering Naruto melakukan hal ini, semakin besar kemungkinan mereka berdua akan menarik perhatian lebih banyak orang—termasuk pihak sekolah. Dan meskipun Naruto selalu tampak tidak peduli dengan aturan, Hinata tidak bisa membiarkan hal ini terus berlanjut tanpa peringatan.

Naruto hanya terdiam, menatapnya dengan pandangan yang sulit diterka. Apakah dia benar-benar tidak tahu? Atau mungkin dia tahu, tetapi sengaja mengabaikannya? Hinata merasa gugup, menunggu respons yang mungkin akan membuat situasi ini semakin jelas—atau malah semakin rumit. Dan yang paling penting, dia ingin melindungi dirinya sendiri dari rumor yang terus berkembang di sekitar mereka.

"Kita tidak pacaran," wajah Hinata memanas seketika saat Naruto mengucapkan kalimat itu. Dia bisa merasakan pipinya mulai memerah, dan rasa panas menjalar hingga ke telinganya. Naruto, yang berada di dekatnya, tampak santai—tetapi Hinata bisa merasakan bahwa suasana di antara mereka berubah. Naruto menatapnya dengan sedikit senyum yang sulit diartikan, matanya sedikit menyipit seolah dia menyimpan sesuatu di balik diamnya.

"Siapa bilang kita pacaran?" seru Hinata dengan suara yang lebih tinggi dari yang dia maksudkan. Wajahnya semakin merah, dan dia bisa merasakan panas di pipinya semakin memuncak.

Naruto yang semula terlihat santai, mendongak dengan cepat. Matanya menyipit sebelum tiba-tiba beralih mengedip-ngedip beberapa kali, seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja terjadi. Suasana di antara mereka berubah dalam sekejap, dan apa yang dimulai sebagai bisikan kini mendadak menjadi pusat perhatian.

Hinata yang merasa tubuhnya tegang dan canggung, dengan cepat berdiri. Gerakannya begitu tiba-tiba, membuat kursinya bergeser dengan suara berderit tajam. Seketika ruangan itu menjadi senyap. Seolah dunia berhenti berputar, dan semua mata kini tertuju pada mereka berdua.

Mata-mata itu melotot ke arah Hinata, terkejut dengan reaksinya yang meledak tiba-tiba. Beberapa siswa berbisik, sementara yang lain menatap dengan ekspresi penasaran dan kaget, seolah mereka tidak percaya apa yang baru saja terjadi di depan mereka.

Hinata merasa seluruh tubuhnya terkunci dalam kegugupan, jantungnya berdetak keras, dan ia tak tahu harus berkata apa lagi. Di sisi lain, Naruto tampak tak terpengaruh. Meski matanya masih berkedip seolah berusaha mencerna situasi, dia tetap tenang, bibirnya mengulas sedikit senyum yang aneh, seolah dia menikmati keributan yang baru saja tercipta.

Ketika gadis itu menyadari bahwa dia baru saja menciptakan keributan di tempat itu, rasa malu segera menyergap dirinya. Hinata perlahan kembali duduk, tubuhnya terasa lunglai. Dia menunduk dalam, berharap seolah bumi bisa menelannya bulat-bulat saat itu juga. Matanya tertuju pada meja di depannya, mencoba menghindari tatapan orang-orang yang masih meliriknya dengan penuh rasa penasaran.

"Kau yang membuat ini semakin runyam," gumamnya lirih, hampir tidak terdengar oleh siapa pun. Tetapi dia tahu bahwa ucapan itu ditujukan kepada dirinya sendiri, meskipun seakan-akan dia berbicara pada Naruto. Pikirannya berkecamuk—mengapa dia harus bersikap begitu keras tadi? Mengapa dia tidak bisa mengendalikan dirinya?

Di sela kebingungannya, Hinata bisa mendengar Naruto menghela napas panjang, napas berat yang seolah menandakan kejenuhan. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Tanpa sepatah kata, Naruto berdiri dari tempat duduknya. Dengan gerakan tenang, dia berjalan keluar dari ruang makan tersebut, meninggalkan Hinata yang masih terjebak dalam rasa malunya.

Masalah tidak selesai di situ saja. Pembahasan tentang momen memalukan di sana malah makin meluas ke mana-mana. Teman-teman sekelasnya tampak terbuai dalam pembicaraan, menggali lebih dalam dan menambahkan spekulasi yang tidak perlu. Setiap bisikan yang sampai ke telinganya terasa seperti duri yang menusuk, mengingatkan betapa Hinata berusaha untuk menjaga hidupnya tetap tenang dan tanpa masalah.


Bersambung

UNBREAKABLE [STONE MAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang