BAB 8

56 11 0
                                    

Di koridor di mana kelas musik berada, Hinata berpapasan dengan Naruto. Pemuda itu berjalan di depannya, langkahnya begitu santai dan tenang, seolah waktu tidak pernah mendesaknya. Tidak ada sedikit pun keraguan di wajahnya saat dia melewati Hinata. Seperti dua orang asing yang kebetulan lewat di tempat yang sama. Entah mengapa, di saat Naruto terus berjalan tanpa memandang ke belakang, justru Hinata yang tiba-tiba berhenti. Kakinya seakan enggan melangkah lebih jauh.

Di kepalanya, pikiran-pikiran mulai bermunculan, menghantui pikiran Hinata dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa ia abaikan. Haruskah dia menyapa? Apakah pantas untuk menanyakan soal makan siang yang selama ini menjadi misteri baginya? Ada sesuatu yang menahannya, membuatnya ragu-ragu. Mereka tidak pernah berbicara sebelumnya, tetapi kehadiran Naruto selalu terasa begitu dekat, begitu familier. Hinata mulai memikirkan hal-hal yang tampaknya sederhana, namun kini terasa penting.

Dan kemudian pertanyaan lain muncul: mungkinkah Naruto adalah tetangganya? Hinata merasa pernah melihat sosoknya di sekitar rumahnya, meski hanya sekilas. Namun sebelum dia bisa memutuskan untuk melangkah atau berbicara, Naruto sudah terlalu jauh. Langkahnya yang santai telah membawa dia menjauh, meninggalkan Hinata dalam kebingungan dan keraguan yang semakin dalam.

"Maaf," kata Hinata dengan suara bergetar, sambil menoleh untuk memandangi punggung Naruto yang semakin menjauh. Jarak di antara mereka terasa semakin lebar, seolah-olah setiap langkah pemuda itu membuat dunia terasa lebih luas dan dingin. Naruto tidak mendengar, atau mungkin dia berpura-pura tidak mendengar, menambah ketidakpastian di dalam hati Hinata. 

Hinata mengumpulkan keberanian, berusaha mengatasi rasa gugup yang menyelimutinya. "Hei, kita perlu bicara!" suaranya terdengar lebih keras, membelah kesunyian yang menyelimuti jalan yang kosong. Matahari yang menembus celah-celah awan menciptakan pola cahaya yang bergerak di sepanjang koridor. Hinata bisa melihat bayangannya sendiri saat mencari sesuatu agar dia dapat menghilangkan kegugupannya dengan cepat.

"Perlu bicara?" Naruto bertanya dengan nada yang tegas, tapi juga tersirat nada ketidaksabaran di baliknya. Raut wajahnya menunjukkan jelas rasa tidak nyaman dan jengkel, seolah setiap detik yang dihabiskan di sini adalah gangguan untuk hari-hari tenangnya. "Ada apa?"

Hinata merasa sebuah ketegangan berat menyelimuti dirinya, seperti seluruh dunia menunggu jawabannya. Dia berusaha menenangkan diri, meskipun jantungnya berdegup kencang. "Ya, ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan," katanya dengan suara yang berusaha terdengar tenang namun tidak bisa menyembunyikan rasa cemas di dalamnya. 

Naruto menatap Hinata dengan tatapan yang tajam, seolah-olah menunggu penjelasan lebih lanjut. Suasana di sekeliling mereka terasa semakin hening, menggaris bawahi perasaan tidak nyaman dan urgensi yang melingkupi pertemuan ini.

"Kenapa kau perlu memberikan sisa makan siang itu padaku?" tanya Hinata, suaranya bergetar dengan campuran rasa bingung dan frustrasi. Dia berdiri di sana, tangannya meremas rok kotak-kotaknya, mencoba menahan kegugupan yang menguasai dirinya. "Semua orang di sekolah ini selalu bertanya-tanya tentang itu—bahkan aku sendiri."

Naruto menghela napas, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Aku hanya tidak bisa menghabiskannya saja," katanya dengan nada yang sangat santai, seolah-olah alasan tersebut adalah hal yang sepele. Dia menatap Hinata dengan sikap yang sedikit acuh tak acuh, menunjukkan bahwa tidak ada alasan yang lebih mendalam di balik tindakannya itu. "Apakah hal itu membuatmu penasaran? Sampai harus menghentikanku di tengah koridor?" 

"Kamu merasa aku mengganggumu?" tanya Hinata balik, suaranya meninggi dengan jelas menunjukkan rasa kesal yang menggelora di dalam dirinya. Dia berdiri tegak, tatapannya tajam dan penuh dengan campuran rasa yang sulit dijelaskan lagi. Keberanian yang tadinya dia kumpulkan kini berganti dengan ketegangan yang menular pada seluruh tubuhnya. "Bagaimana dengan aku selama ini?" lanjutnya, suara sedikit bergetar namun penuh tekad. "Tentang semua makanan yang kamu berikan padaku? Tentang anak-anak yang terus membicarakan kita di belakang, tanpa henti. Apa kamu tidak merasakan betapa beratnya semua ini? Apakah kamu sama sekali tidak merasa terganggu atau terbebani?"

"Aku tidak tahu kalau berbagi makanan dengan seorang teman akan membuat dampak yang mengerikan," jawabnya, nada suaranya campur aduk antara kebingungan dan rasa bersalah. Dia terlihat terkejut, seolah baru saja menyadari dampak dari tindakannya. "Aku hanya berpikir itu hal kecil yang bisa kita lakukan bersama. Aku tidak bermaksud membuat siapa pun merasa tidak nyaman. Jika aku tahu itu akan membuat keadaan menjadi seperti ini, aku pasti akan berpikir dua kali."

Hinata yang awalnya berdiri dengan teguh, kini tampak kalang kabut. Tatapannya melayang kosong, dan rahangnya mengendur. Dia tidak bisa berbicara, hanya berdiri di sana, terdiam dalam kebingungannya. Tekanan yang dialaminya berhari-hari hanya karena makan siang berhasil membuatnya marah tiba-tiba, dan itu sungguh berlebihan.

"Kalau tidak ada yang ingin dibicarakan lagi denganku," katanya, menatap ke arah Hinata yang malah terdiam, "aku akan pergi."

Setelah kepergian Naruto, Hinata merasakan beban emosional yang luar biasa. Ia menarik napas dalam-dalam, namun udara terasa berat di paru-parunya. Dengan langkah yang goyah, kakinya mulai terasa lemas, hingga akhirnya dia tak mampu bertahan lagi. Perlahan, dia menjatuhkan lututnya di koridor yang dingin, berusaha menenangkan diri sambil menundukkan kepala sambil memikirkan tindakannya. Dia memikirkan bagaimana dia telah menghadapi Naruto dengan kemarahan yang tampaknya meledak tanpa kendali, seolah-olah dia melabraknya habis-habisan di tengah koridor. Rasa bingung dan penyesalan mulai merayap masuk ke dalam dirinya.

"Kenapa aku harus bersikap seperti itu?" pikirnya dengan perasaan penuh kesal pada dirinya sendiri. "Hanya karena aku ingin bertanya tentang mengapa dia membagi makanan itu padaku. Aku justru seperti sedang memarahinya."

Dalam keheningan koridor, dia merenung sejenak tentang perasaannya dan bagaimana ia telah kehilangan kendali atas emosi yang seharusnya bisa dia atasi dengan lebih baik.

Hinata menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri sambil duduk di lantai koridor yang dingin. Dia memikirkan kembali setiap momen perbincangan dengan Naruto, dan sebuah pemikiran baru muncul di benaknya. "Aku harusnya berterima kasih," bisiknya pada dirinya sendiri dengan suara lembut, seolah-olah mencoba membenamkan perasaan bersalahnya dalam refleksi.

"Pemberiannya benar-benar membantuku. Aku yang selalu kelaparan dan tidak pernah sarapan, bagaimana mungkin aku lupa betapa besar artinya itu bagiku?" Dia menundukkan kepalanya, merasakan kehangatan emosi yang meluap dari dalam dirinya.

Dengan hati yang penuh penyesalan, dia menyadari bahwa seharusnya dia menghargai kebaikan tersebut dan tidak membiarkan kemarahan mengaburkan rasa terima kasihnya. Kini, di tengah kesepian dan keheningan, dia berusaha untuk merenungkan bagaimana cara memperbaiki hubungan ini dan mengungkapkan rasa terima kasih yang sebenarnya.


BERSAMBUNG

UNBREAKABLE [STONE MAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang