BAB 1

178 25 0
                                    


Pintu baru saja ia buka, tangis ibunya sudah terdengar jelas dari ruang tengah. Isakan itu begitu pilu, menusuk hati Hinata. Mungkinkah Hanabi pergi karena masalah biaya lagi? Adiknya akan menjalani cuci darah sebentar lagi, dan Hinata tahu betul betapa berat beban yang harus mereka tanggung.

Hanabi kembali menghilang. Ini sudah kedua kalinya gadis kecil itu pergi dan belum juga pulang. Dingin malam semakin menusuk, dan Hanabi pasti kedinginan di luar sana. Tanpa pikir panjang, Hinata langsung berlari keluar rumah, meninggalkan tasnya begitu saja.

Selama kurang lebih lima belas menit, dia berlari mengelilingi kompleks perumahan, berharap menemukan sesuatu. Namun, usahanya tidak membuahkan hasil. 

Berbeda dengan kakaknya, adiknya enggan beranjak jauh dari rumah baru mereka. Frustrasi yang dialaminya semakin menjadi, sejalan dengan diagnosis dokter yang menyatakan bahwa depresi sering kali dialami pasien hemodialisis. Hanabi terjebak dalam lingkaran pikiran gelap, merasa bahwa hidupnya tak lagi berharga.

Beban rasa bersalah semakin menindih gadis itu saat ia menyadari bahwa keluarganya berkorban begitu banyak untuknya. Ibunya yang semakin lemah, dan kakaknya yang harus bekerja keras demi biaya pengobatannya. Ini tentu bukan salah Hanabi. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan menderita karena suatu penyakit. Namun, Hinata tahu apa yang dipikirkan oleh Hanabi dan ketakutan terbesarnya. Anak itu selalu sadar akan kesulitan hidup yang dihadapi kakaknya dan khawatir jika suatu saat kakaknya terpaksa mengambil jalan pintas yang merugikan diri sendiri.

"Hanabi! Aku mohon! Di mana kamu?" Hinata berusaha keras berteriak di sekitar tempatnya berhenti. Jalanan gelap membuatnya tidak yakin adiknya ada di sana. "Aku mohon kembalilah."

Kelelahan karena seharian beraktivitas, Hinata pun belum sempat mengisi perutnya. Namun, ia masih menyimpan semangat untuk mendongeng malam ini, berbekal buku dongeng bekas yang ia temukan di tumpukan sampah beberapa waktu lalu. Adiknya bahkan belum mendengar bahwa kakaknya punya buku bagus. Dia ingin cepat menemukan Hanabi dan membacakannya. Tapi bagaimana dia harus mencari anak itu. Tidak jauh dari tempat tinggal mereka, ada pos polisi. Hinata pikir dia harus ke sana agar mereka mau membantunya. 

Namun dia berhenti sejenak. Melihat langit malam. Hinata berpikir sebaiknya dia kembali ke rumah, sementara kaki lelahnya terasa seperti terikat batu saat berjalan pulang. Rumah tua itu adalah satu-satunya tempat yang mampu menaunginya, meski rumor tentang penghuni tak kasat mata terus menghantuinya. Masalahnya, kelelahan yang mendera jauh lebih menakutkan daripada bayangan-bayangan yang mungkin berkeliaran di kegelapan.

Semakin dekat ia pada halaman rumahnya yang gelap gulita, sebuah bayangan tinggi menjulang di bawah sinar rembulan redup. Seorang pria berambut pirang terlihat sedang mengamati rumah tua itu dengan seksama, tatapannya seolah ingin menembus dinding-dinding yang retak.

Langkah Hinata terhenti mendadak. Tatapan pria berambut pirang itu terasa menusuk, liar bak serigala kelaparan. Ingatannya langsung tertuju pada cerita tetangga tentang sekelompok berandal yang sering membuat onar di sekitar sini. Jantungnya berdebar kencang, menyadari bahwa malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang.

Hinata membeku di tempat, jantungnya berdebar kencang. Ia mengamati pria asing itu semakin serius, berusaha mencari petunjuk tentang niatnya. Detik-detik terasa begitu lambat, setiap kedipan mata terasa seperti sebuah abad.

"Siapa?" pemuda itu memutar kepalanya, menampilkan profil wajah yang tegas dan sedikit kasar. Alisnya bertaut membentuk garis lurus, memperkuat kesan dingin dan tak terbaca di wajahnya. "Kamu mencari sesuatu?"

"Apa kamu kakak dari anak kecil yang memakai kupluk?" 

Pandangan Hinata tertuju pada telinga pria itu yang dihiasi tindik-tindik aneh. Tato tribal di lengannya seolah menjadi simbol pemberontakan, sebuah tanda bahwa pria ini berbeda dari orang kebanyakan. Ada sesuatu yang menarik, namun juga sedikit menyeramkan, tentangnya.

"Anak kecil yang memakai kupluk?" 

"Dia bilang tinggal di rumah ini. Aku mencoba membantunya untuk keluar dari tempat persembunyiannya, tetapi dia tidak berani untuk pulang ke rumah. Aku ingatkan, jaga anak itu dengan benar, sekitar sini sangat rawan—" pemuda itu hanya diam, tatapannya tetap terpaku pada Hinata. Setelah beberapa saat, ia menunjuk rumah reyot itu dengan santai. "Apa ini rumah? Aku berusaha meyakinkan diriku sendiri. Apakah aku perlu mengetuk pintunya atau tidak."

Hinata terpaku di tempat. Wajah pemuda itu terlihat begitu keras, namun ada kilatan lain di balik matanya yang membuatnya ragu. Mungkin dia tidak seburuk kelihatannya, pikir Hinata. Namun, tindik dan tato itu terus menghantui pikirannya, membuatnya sulit untuk sepenuhnya percaya.

"Itu benar-benar rumahku. Dengan biaya sewa yang lebih murah dari yang kamu pikirkan. Tapi itu cukup layak untuk dijadikan tempat tinggal." 

"Baiklah, aku hanya penasaran saja," katanya. "Aku lebih peduli pada orang yang tinggal di sini. Anak itu ada di dalam pipa mainan di taman. Tempat itu rawan, aku harap kamu segera ke sana untuk menjemputnya sebelum terjadi sesuatu padanya."

Dengan nafas terengah-engah, Hinata berlari melewati pemuda itu. Langkahnya cepat dan pasti, seolah ingin segera menjauh dari sosok yang membuatnya tidak nyaman. Pemuda itu terdiam di tempat, tatapannya mengikuti kepergian Hinata dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dia cepat juga perginya."

Pemuda itu segera mengejar, langkah kakinya panjang dan cepat. Saat berhasil menyamai langkah Hinata, ia menoleh dan mendapati gadis itu sedang menggigit bibir bawahnya, matanya membulat ketakutan. Wajah Hinata pucat pasi, dan giginya gemerincing seolah menahan tangis.

Napasnya tersengal-sengal saat ia sampai di taman. Tanpa banyak berpikir, Hinata langsung menuju deretan permainan anak-anak. Keringat membanjiri wajahnya, namun ia terus berusaha mencari celah di antara pipa-pipa itu. Dia tidak berharap pemuda tadi membohonginya. 

"Hanabi!" 

Anak kecil yang bersembunyi di sana tengah meringkuk. Hanabi pun keluar dengan tergesa-gesa, dia terlihat ketakutan. "Kakak!" 

"Mengapa? Mengapa kamu melakukan ini? Ibu sangat khawatir kamu tidak kembali. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu?" 

"Hanabi membuat ibu menangis." 

Rumah terasa begitu sunyi dan dingin. Hinata menemukan ibunya duduk di ruang tamu, matanya sembab. Hinata hanya bisa terdiam dan pergi begitu saja untuk mencari adiknya yang tidak ada di rumah. Lampu-lampu di rumah redup, seolah mencerminkan suasana hati mereka saat itu.

"Kamu tidak harus membuat kami semakin merasa bersalah," kata Hinata. "Jangan menolak pengobatan apa pun, Hanabi. Kami semua menyayangimu, maka dari itu kami berupaya untuk membuatmu kembali sehat."

Bibir gadis kecil itu bergetar, menggeleng dengan putus asa. Wajahnya pucat seperti kertas, tatapannya kosong. "Hanabi terlalu banyak menyusahkan kalian semua."

"Itu tidak benar. Kami sangat membutuhkanmu. Kami sangat senang kamu ada di sini bersama kami, aku maupun ibu, mencintai Hanabi dengan segenap hati." 

Air mata membasahi pipinya, anak itu memeluk kakaknya erat-erat. Sambil terisak, ia meminta maaf berulang kali, seakan ingin menghapus kesalahan yang telah dilakukan.

Setelah merapikan dan menenangkan adiknya, Hinata baru menyadari lelaki misterius yang ada di depan rumahnya tadi mengikutinya berlari kemari. Sebelum Hinata benar-benar meminta maaf karena mencurigai, atau berterima kasih padanya, lelaki itu tiba-tiba melangkahkan kakinya pergi tak peduli. 


BERSAMBUNG

UNBREAKABLE [STONE MAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang