1

2.3K 344 13
                                    

Idze memperhatikan lampu merah, angka yang terus berubah setiap detiknya.
Jemari tangan kirinya mengetuk-ngetuk pahanya sedangkan jemari Kanannya melintang di bibir, menekan bibirnya yang terus ditahannya agat tidak mengucapkan berbagai makian yang tak mungkin terucap dari bibirnya.
Cuping hidung Idze melebar menghirup aroman laut yang sudah lama tak dirasakannya.
Saat lampu merah berganti hijau, Idze menarik bibirnya dan menghentikan ketukan di lututnya.
"Turunkan aku di sini.!"
Ucap bibirnya sambil terus menatap deretan rumah yang hanya dipagari oleh tanama, ciri khas perumahan ini yang dulu sangat disukainya karena terlihat mereka semua saling percaya dan baik-baik saja antar tetangga.

"Tapi bos.."
Meski mengajukan protes Jay asisten pribadinya tetap menginjak rem.

"Kau duluan saja, aku akan berjalan menuju rumah.
Aku butuh sendirian sejenak."
Idze membuka pintu mobil lalu turun, dia berbalik mengambil jalan kecil yang takkan muat dilalui mobil tempat dulu dia berlarian menuju rumah nenek yang selalu dikunjunginya sewaktu libur sekolah.
Terlalu cepat sampai-sampai dia lupa kalau hal itu sudah berlalu hampir lima belas tahun yang lalu bukannya baru-baru ini saja.

Setelah melewati jalan beton lalu kerikil dan setelahnya sepatunya mulai menginjak pasir pantai yang halus berwarna putih pirang.
Idze memejamkan matanya, terus melangkah mengikuti suara debur ombak hingga sepatunya terbenam menginjak pasir basah di pinggir pantai.

Idze membuka matanya memperhatikan ombak yang selalu terlihat ganas bagi para pendatang atau turis tapi bagi penduduk sekitar ombaknya sangat indah dan menantang.
Lalu kenapa sekarang dia menyebut ombaknya ganas.?
Apa dia bukan lagi penduduk lokal tapi pendatang.?

Idze tidak lahir dirumah tua nenek, dia lahir di kota tapi hampir sebagian besar umurnya dihabiskan di rumah tua.
tentu saja itu dulu.!
Sudah hampir sepuluh tahun dia tidak pernah menginjakkan kaki.
Terkahir dia datang adalah saat libur semester dan umurnya dua puluh dua tahun dan sekarang umurnya hampir tiga puluh tahun.
Dia tidak pernah membahas atau bicara tentang kota pantai ini, tidak pernah mendengarkan siapapun menyebut tempat ini.
Bahkan dia menghindar pantai atau laut di manapun itu karena dia tidak mau teringat tempat ini serta kenangan yang ada di sini.

Idze memutar tubuhnya, melihat ke ujung dimana rumah nenek berada.
Yah sebenarnya bukan lagi rumah nenek karena nenek sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu dan mama memilih tinggal di sana, menemani Ivar si putra sulung yang sakit-sakitan.

Idze melihat banyak orang yang di pekarangan belakang.
Mereka adalah keluarga dan para tetangga yang ikut membantu acara pemakaman mama serta Ivar.
Mama dan Ivar, ibu dan putra yang tak terpisahkan bahkan saat ajal menjemput.

Terkadang Idze bertanya dalam hatinya, apakah dia juga dilahirkan oleh wanita itu karena sepertinya di mata wanita itu hanya Ada Ivara.
Dulu dia memaksa dirinya untuk bisa mengerti karena Ivar sakit-sakitan dan sangat lemah.
Tapi kemudian saat Idze kecelakaan, berjuang untuk hidup dan mati, mama justru pergi bersama Ivar dengan alasan berobat dan Ivar yang sakit-sakitan lebih bagus tinggal di dekat pantai yang udaranya lebih bersih.
Apakah ada seorang ibu seperti itu di dunia ini.?

Mama, Ivar dan Aree.
Tiga orang yang paling dicintainya.
Tiga orang yang dia ingin terus bersamanya.
Mereka bertiga pergi disaat dia paling membutuhkannya.
Mama dan Aree pergi tanpa ragu mendampingi Ivar sedangkan Idze sama sekali tidak penting.
Kalau saat itu dia mati, apa mereka berdua akan meluangkan waktu menghadiri pemakamannya.?

Idze tersenyum menekan kelopak matanya, menutup matanya yang basah.
Dia menarik napas, menegakkan bahu.
"Mari ucapkan salam perpisahan pada keduanya."
Dengan tangan di saku celanyai, Idze melangkah.

Tidak perlu lagi ada airmata.!
Idze memperingati dirinya.
Toh kabar kecelakaan yacht itu sudah diterimanya lebih dari dua minggu yang lalu.
Dia sudah menangis dalam kamar mandinya, menyamarkan isakannya dengan suara air shower.
Dia terus berdoa agar mama dan Ivar ditemukan selamat tapi saat jenazah keduanya ditemukan, Idze berusaha sabar sambil menguatkan papa yang harus melihat dan mengindetifikasi jenazah istri dan putra sulungnya yang sudah rusak parah setelah terombang-ambing dibawa arus.
Idze tidak ikut, dia tidak ingin melihat keduanya dalam keadaan menyedihkan.
Dia tidak ingin merasa sedih yang dia inginkan terus mengingat luka dihatinya, mengingat Mereka yang tak terpisahkan dan selalu berbagi kasih sayang.
Idze memilih menyimpan rasa sakit agar tidak ada lagi yang bisa menyakitinya.

Langkah idze terhenti saat matanya menangkap Yacht yang tersampir di sisi dermaga.
Yacht berwarna coklat Gold, dibelikan mama untuk Ivar sebagai hadiah kelulusan SMA karena Ivar sangat menyukai laut.
Idze ingat mereka semua pergi berlayar dan Ivar yang sudah ikut kursus berganti mengemudikan yachty tersebut dengan mama yang juga punya hobi yang sama.
Bahkan hobi itu juga yang membawa mereka menuju ajal.
Menurut penyelidikan kemungkinan terjadi badai saat mereka di laut dan kapal oleng hingga salah satu diantaranya jatuh dan yang lain berniat membantu hingga ikut jatuh.
Tapi yang tak Idze mengerti adalah, kenapa Mereka bisa hanyut toh keduanya adalah perenang dan penyelam handal.
Bahkan meski sakit-sakitan Ivar tak mungkin akan kalah dari lautan yang paling dicintainya.?
Atau Ivar sendiri yang memilih mati di dalam pelukan lautan dan mama pastinya tak mau ditinggal sendirian.!

Idze tertawa.
Syukurlah tidak ada yang menikah dan menjadi istri Ivar karena dia akan jadi pelakor, harus bersaing dengan mama untuk mendapatkan waktu bersama Ivar.

Idze menarik jasa panjang, menghentikan pikirannya yang sudah mulai bercabang kemana-mana.
Dia mengalihkan pandanganya dari Yacht kesepian yang pasti sedih ditinggal pemiliknya ke arah taman belakang dimana ada tiga orang yang duduk di kursi berbincang sambil minum kopi.
Semakin dekat, Idze mengenalinya sebagai papa, kakek dan Om Shane.
Ketiganya pasti menghindar, beristirahat dari menyambut para tamu yang tak berhenti untuk mengucapkan belasungkawa dan salam perpisahan pada Nyonya Salban dan sang putra yang malang yang berita pencarian mereka terus menjadi berita utama selama semingguan.

Idze mempercepat langkahnya tapi kemudian dia berhenti mendadak saat melihat seseorang muncul dari pintu dapur, membawa nampan dengan langkah yang aneh mendekat dan tersenyum pada para tuan Salban yang sedang berkumpul.
"Aree.!" Desisnya merasakan kebencian yang tak terkatakan.

Idze ingin berbalik meninggalkan tempat ini.
Dia tidak ingi berbagi satu tempat dengan Aree, tidak sudi berbagi oksigen dengan si anak pembantu yang tak tau diuntung.!

"Idze.! Apa itu kau.?"

Semua orang melihat ke arah pandangan kakek Salban.

Idze kesal dengan kakek yang rambutnya sudah putih semua tapi penglihatannya masih sangat tajam.
Dia menarik napas lalu kembali mengayunkan kakinya, menuju ruang reuni keluarga.

Ketiga orang tersebut menyambutnya, menyalami, memeluk dan mencium pipi Idze yang membiarkan saja kebiasaan ini berlanjut meski dulu saat remaja dia marah dan malu diperlakukan seperti anak kecil sebelum dia tau ini adalah wujud cinta mereka padanya yang hanya mendapatkan remah-remah kasih sayang dari mama.

"Kau datang dengan siapa.?"
Om Shane bertanya melihat ke belakang punggung Idze.
"Kenapa lewat pantai.?"

"Kapan kau sampai, kenapa tidak langsung masuk.?"
Papa menepuk punggungnya.

"Dasar anak nakal, kau masih saja suka main-main.!"
Kakek Salban memukul ujung tongkatnya ke paha Idze.

"Aku datang dengan Jay. Tapi tiba-tiba aku ingin melalui jalan setapak ini lagi, sudah lama sekali aku tidak kesini, aku ingin melihat apa semuanya masih sama dan ternyata memang tak ada yang berubah."
Jawab Idze mengabaikan Sosok Aree yang masih diam mematung, memegang erat nampan berisi kue kering, seakan wanita itu tidak ada disini.

"Aree.!" Papa merangkul bahu Aree, mengambil nampan lalu meletakan di meja.
"Maaf harus merepotkanmu lagi. Tolong bawakan satu gelas teh untuk Idze yang perutnya sangat sensitif dan tak bisa minum kopi."

Idze memutar matanya, membiarkan saja ketiga tuan Salban menertawakannya yang masih dianggap anak-anak lucu menggemaskan.

"Tentu saja tuan Yahin"
Jawab Aree pelan dan segera berbalik.

Meski enggan tapi Idze menoleh juga melihat bagaimana Aree berjalan.
Selama ini dia hanya mendengarnya dari orang-orang bahwa Aree jadi pincang tapi Idze tidak yang tak pernah melihatnya lagi tidak tau kepincangan Aree sejelas ini.
Menjijikan.!

Idze berpaling tak mau melihat Aree lagi.
Kebenciannya jadk semakin bertambah.
Murahan dan cacat.
Komplit sudah.

***************************
(20092024) PYK





Sekali Seumur Hidup Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang