Pt. 11

31 2 0
                                    

Kini setelah benar-benar bertatapan langsung dengan keturunan sang putra, masa lalu yang berkelebat tak dapat ditepis. Selain itu, ketika ia menatap kedua netra Luke, ia dapat melihat wajah Bill di sana.

“Lebih baik kita bicara di dalam dulu, kakek.” Luke akhirnya memberikan respon akan permintaan mendadak sang kakek.

Terlihat sedikit percikan kebingungan dan enggan pada sorot mata sang cucu. Ia menyadari itu, bahwa meski Bill meninggalkan Luke yang saat itu masih berusia sangat muda, kenangan yang terekam lewat foto dan catatan lama yang tersimpan rapi di rumah tersebut tentu telah menjelaskan segalanya. Luke kurang lebih pasti telah mengerti konflik di masa lalu beserta perlakuan yang ia terima.

Setelah kepergian sang ayah, Luke memang tetap dijaga oleh beberapa pelayan, tapi ia tetap berada di rumah dekat peternakan itu, tanpa pernah benar-benar tinggal bersama di kediaman utama serta diakui resmi sebagai pewaris keluarga Cassius.

Meski begitu, sambutan yang ia terima tidak seburuk yang ia bayangkan, sehingga pria tua tersebut kini telah duduk berhadapan dengan sang cucu.

“Kehidupanku baik-baik saja di sini, jadi aku rasa aku akan tetap tinggal di sini. Terima kasih atas tawarannya, kakek.”

Sang kakek menghela napas pelan. Jawaban Luke begitu tegas tanpa kegoyahan bahkan tanpa perlu waktu untuk berpikir. Ia memang telah dapat mengira bahwa Luke akan menjawab demikian, tapi mendengarnya langsung tepat ketika mereka baru saja duduk berhadapan selama beberapa saat, ternyata memberinya pukulan yang lebih keras dari yang diduga.

“Kakek pasti tahu aku tidak memiliki apa pun yang bisa ditawarkan di sini. Mungkin sebelum pergi, aku hanya bisa menyajikan air jika kakek mau.”

“Luke ....”

“Maaf, aku tak bisa berpura-pura lebih lama bahwa tidak ada hal buruk yang pernah terjadi. Sejauh inilah keramahan yang bisa aku pertahankan.”

Kini ia baru bisa melihat segaris sorot mata tak tahan, kobaran emosi kecil, sekaligus luka di mata sang cucu. Memori buruk dan kesalahan yang terlanjur menghiasi tahun-tahun kehidupan Luke jelas tak akan bisa diperbaiki hanya dengan kedatangan dan pengakuannya.

“Luke, cucuku. Ini memang sangat terlambat. Aku memang memiliki kesalahan, terhadap ayahmu, ibumu dan kau. Aku ingin memperbaikinya. Aku ingin mengaku bersalah, tapi ayah dan ibumu telah lama pergi dan hanya kau lah yang tersisa, Luke. Kau lah satu-satunya orang yang bisa membuat penyesalan dan kesalahan pria tua ini bisa ditebus.”

Luke masih merapatkan belah bibirnya. Susah payah meneguk ludah, matanya memanas dengan sorot mata yang enggan menatap sang kakek. Mengungkit masa lalu, apalagi menyangkut orang tuanya, tidak pernah bisa membuatnya tetap tenang. Ia kesusahan untuk tak meledak dan menyuarakan amarahnya.

“Dengar, kakek. Aku membencimu, sangat. Tapi, aku masih menghormati hubungan darah ini, jadi aku masih menyambutmu di sini dan berusaha bersikap ramah, itupun dengan begitu kesusahan. Kau tiba-tiba datang memintaku untuk tinggal bersamamu, dengan mengetahui fakta ini, berarti kau ingin aku berpura-pura, seakan tak ada yang terjadi? Kau ingin menelan kebohongan untuk menebus kesalahan?”

Sang kakek menggeleng, menyuarakan ketidaksetujuan. “Kau tak perlu berpura-pura atau melupakan masa lalu, Luke. Hanya ... berikanlah kesempatan. Berikanlah kesempatan kakekmu ini untuk memperlakukanmu dengan benar, sebagai cucuku satu-satunya dan sebagai pewaris tunggal keluarga Cassius.”

“Kau tahu, itu sungguh sangat terlambat dan sia-sia.” Luke telah berdiri tegak. Tanpa menatap sang lawan bicara, ia melanjutkan tegas, “Tolong, keluarlah dari rumah ini, kakek.”

“Luke ....”

“Kumohon pergilah.”

Kehilangan kata-kata sepenuhnya, sang kakek tak memiliki pilihan lain selain beranjak dan segera membawa tubuhnya keluar dari rumah sederhana itu.

Meski sang kakek telah pergi, percakapan singkat yang membuat dada terasa ditekan kuat itu tak bisa membuatnya melupakan emosi yang terlanjur meluap. Ia tak bisa mengeluarkan amarah, sejuta pertanyaan tak terjawab dan perasaan tak terjelaskan yang membludak dalam dirinya. Luke kini menatap bingkai foto kecil yang menampilkan kedua orang tuanya, terpajang pada salah satu sisi dinding berwarna cokelat muda tersebut.

Tanpa ada ujaran kata apa pun, Luke hanya menatap sendu ke arah potret ayah dan ibunya, sebelum ia sepenuhnya memejam, berusaha susah payah menenangkan dirinya dan memikirkan jalan yang bisa memberinya arah dan jawaban.

Di sisi lain, rumah sebagai saksi bisu peristiwa kematian calon ayah sambung Edna, kini telah nyaris selesai dibersihkan, menyisakan Edna yang terduduk dan bersandar pada sisi samping ranjangnya.

Eden benar-benar menjadi bantuan tak terduga untuk membersihkan rumahnya bahkan menyediakan makanan untuknya. Pria berambut dicat cokelat kemerahan itu bahkan bisa dikatakan sebagai pengalih perhatiannya, sejenak ia merasa bisa melupakan apa pun yang menghantui pikirannya. Namun, ketika sosok Eden menghilang dari pandangannya, saat itulah apa pun yang memenuhi pikirannya mulai mencengkeramnya kembali lalu mengejarnya tanpa ampun.

Badannya yang juga telah dirayapi letih, membawanya segera menggapai obat tidur, tergesa hendak segera menenggaknya, tapi hal itu terhenti ketika pandangannya jatuh pada jendela kamarnya yang kini menampilan pemandangan hutan gelap. Termenung sejenak, ia akhirnya menaruh obat tidurnya, memilih beranjak lalu berdiri tepat di depan jendela.

Edna menempelkan telapak tangannya pada kaca jendela, pikirannya melayang dan mulai menyambungkan benang-benang rumit.
Dirinya ingat di masa lalu, beberapa kali, ketika ia tak bisa tertidur, ia melambai di tengah malam pada Luke yang berdiri di antara pohon-pohon sembari tersenyum lembut. Kontras dengan pemandangan hutan yang terlihat gelap, dingin, dan kejam, laki-laki itu malah terlihat begitu cerah, hangat dan bersemangat, seperti matahari yang lupa bahwa bulan perlu menggantikannya di langit setelah gelap.

Jelas laki-laki itu berusaha menghiburnya dan menenangkannya di malam-malam saat ia sendirian dan kesusahan memejamkan mata.

Pertanyaan yang kini baru ia sadari dan muncul seakan begitu terlambat adalah, apakah Luke melakukan itu setiap malam? Menemaninya? Baik ketika ia benar-benar membuka mata atau saat menutup mata dalam dekapan mimpi buruk?

“Apakah dia juga menemaniku semalam?” Edna tak sadar bermonolog, menekan permukaan kaca jendela dengan tekanan yang lebih besar, menyadari pertanyaannya nyaris telah dapat dijawab dengan pasti.

Luke, apakah aku telah melakukan kesalahan yang sangat besar?

Bagaimana kalau aku memang telah benar-benar bersalah terhadapmu?

Apakah keegoisanku membuatmu menanggung rasa sakit sendirian?

Suara hujan turun mulai menggema, berbarengan dengan rasa bersalah membesar yang bertahun-tahun ia sembunyikan.

Satu tangan sang gadis yang menempel pada sisi tubuhnya kini mengepal. Ia telah memutuskan, meski dalam diam, ia membangun tekad untuk menghadapi apa pun kebenarannya. Jika dirinya yang bersalah, atau sang sahabat, atau bahkan hal lain yang sama sekali tidak pernah ia duga.

Kali ini Edna benar-benar membuka dirinya. Ia akan mendengarkan Luke, apa pun yang pria itu berusaha sampaikan pada dirinya. []

The Prey & The PredatorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang