𝟏. 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐮𝐚𝐧 𝐭𝐚𝐤 𝐭𝐞𝐫𝐝𝐮𝐠𝐚

99 42 204
                                    


𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
•───────•°•❀•°•───────•

Laras duduk di sudut kafe favoritnya, menatap laptop yang layarnya hampir seluruhnya dipenuhi kata-kata. Di tangannya, sebuah cangkir teh hijau yang sudah dingin. Seperti biasa, kafe ini adalah tempat aman untuknya. Di sini, ia merasa tak perlu terlibat dengan kehidupan orang lain-hanya dirinya, laptopnya, dan dunianya yang hening.

Namun hari itu, sesuatu berbeda. Sesosok pria dengan kamera menggantung di lehernya melintas, membuat Laras sesaat kehilangan konsentrasi. Pria itu, dengan jaket denim yang terlihat usang dan rambut acak-acakan, sibuk memotret secangkir kopi yang diletakkan di jendela. Tak lama kemudian, pria itu tersenyum puas, lalu berjalan dengan percaya diri menuju meja Laras.

Tanpa ia sadari, pria itu tersenggol meja Laras yang penuh dengan buku dan... notebooknya!

"Kamu nggak apa-apa?" tanya pria itu, sedikit tergesa namun dengan senyum lebar.

Laras mengangguk, meski sebenarnya jantungnya berdegup kencang. Tentu saja dia tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini-interaksi dengan orang asing, apalagi pria asing yang terlihat terlalu santai.

Sambil meraih notebooknya yang jatuh ke lantai, pria itu berkata, "Kayaknya ini punya kamu. Maaf ya, aku nggak sengaja."

Laras buru-buru mengambil notebook itu dari tangan pria tersebut, tanpa berani menatap wajahnya. "Terima kasih," gumamnya singkat.

Pria itu tersenyum lagi, "Kamu sering nulis di sini ya? Aku sering lihat kamu duduk di sudut itu. Pasti tulisan kamu keren banget."

Laras mendadak panik. Bagaimana bisa seorang asing begitu santai mengobrol seperti itu? Apa dia tahu isinya? Laras memandang pria itu sejenak, dan tiba-tiba menyadari sesuatu-ini bukan notebook-nya!

Matanya melebar saat dia membuka halaman pertama, dan... ada foto-foto di dalamnya. Foto-foto jalanan, pemandangan kota, dan beberapa wajah orang asing. Laras menahan napas. Notebook-nya tertukar!

"Kamu... ini bukan punyaku!" seru Laras, menyerahkan notebook itu kembali.

Pria itu menatapnya bingung, lalu membuka buku di tangannya. Dia tertawa keras, "Oh, ini punyaku! Maaf banget, kita ketuker ya. Tapi nggak apa-apa, kan? Aku malah penasaran sama tulisanmu."

Wajah Laras memerah. "Tidak apa-apa," ucapnya pelan, mencoba mengakhiri percakapan.

Namun Damar tidak menyerah. Dia menatap Laras sejenak, seolah ingin membaca lebih dalam dari sekadar kata-kata yang tersimpan di laptopnya.

"Lo kayaknya tipe yang suka nyimpen cerita, ya? Gue bisa nebak dari cara lo nulis tadi. Jadi penasaran deh, lo nulis tentang apa?" Laras hanya bisa tersenyum canggung.

"Bukan apa-apa. Cuma cerita biasa."

"Biasa gimana? Semua orang punya cerita yang menarik buat diceritain, tahu nggak? Nih, kayak gue. Gue suka moto jalanan karena selalu ada cerita yang keren di balik setiap foto. Mungkin tulisan lo kayak gitu juga?" Damar duduk di kursi di hadapan Laras.

Tanpa diundang, dan mulai membuka notebooknya sambil bercerita tentang foto-foto yang dia ambil.

Setiap foto memiliki cerita-seorang ibu yang menunggu bus dengan sabar, sekelompok anak-anak yang bermain di bawah hujan, bahkan kucing jalanan yang sedang tidur di atas motor.

Laras yang awalnya ingin menghindar, tiba-tiba merasa sedikit terhibur. Ia tidak menyangka bahwa pria yang begitu cerewet ini punya cara pandang yang unik tentang dunia. Namun, dia tetap menahan dirinya untuk tidak terlalu larut.

"Sebenarnya, gue lagi nyari inspirasi buat foto-foto baru," lanjut Damar.

"Kayaknya lo punya banyak ide di kepala lo. Gimana kalau lo kasih gue gambaran tentang dunia yang lo tulis? Siapa tahu bisa gue visualisasiin lewat foto." Laras terdiam.

Di satu sisi, tawaran itu terdengar aneh. Mereka baru saja bertemu, tapi Damar sudah menawarkan kolaborasi. Di sisi lain, ada sesuatu tentang Damar yang membuat Laras sedikit penasaran.

Tapi tidak, dunia yang ia ciptakan di dalam tulisannya adalah sesuatu yang pribadi, dan ia belum siap berbagi dengan siapa pun-apalagi dengan seseorang seperti Damar.

"Kayaknya gue nggak terlalu pandai berbagi ide," jawab Laras pelan, berharap Damar mengerti.

Namun Damar hanya tertawa kecil. "Tenang aja, gue juga awalnya kayak gitu... Tapi siapa tahu, dunia lo bakal lebih seru kalau dibagi. Gue Damar, by the way. Kalau lo berubah pikiran, lo bisa panggil gue kapan aja."

Dan sebelum Laras bisa menjawab, Damar sudah berdiri, tersenyum, dan melangkah pergi. Dia meninggalkan Laras dengan pikirannya yang penuh pertanyaan. Dunia Laras yang selama ini hening dan damai, kini terguncang sedikit oleh kehadiran Damar. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, dia merasa penasaran dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Setelah Damar pergi, Laras mencoba kembali fokus pada tulisannya. Tapi, semakin keras dia berusaha, semakin sulit baginya untuk mengabaikan kehadiran pria itu. Kalimat-kalimat di layar laptopnya mulai terasa seperti serangkaian kata yang kosong.

Dunia yang biasanya ia ciptakan dengan begitu mudah terasa terhalang oleh pikiran-pikiran tentang Damar-tentang cara dia berbicara, tawa spontan yang keluar begitu saja, dan bagaimana dia melihat dunia melalui lensanya. Laras mendesah, menutup laptopnya perlahan.

Apa-apaan ini? Sejak kapan seseorang bisa begitu mengganggu pikirannya hanya karena beberapa menit interaksi? Ia biasanya ahli dalam menjaga jarak, menjaga dirinya dari interaksi yang tidak perlu. Dunia di dalam pikirannya adalah tempat yang aman, tidak terjamah oleh orang-orang luar seperti Damar.

Namun sekarang, Laras merasa ada celah di dunianya-cahaya yang masuk, menggoyahkan keseimbangan yang selama ini ia pelihara. Tapi dia tak mau mengakui bahwa sedikit saja dia penasaran dengan Damar, dan itu mengganggu.

"Ini konyol," gumamnya pada diri sendiri, mencoba mengabaikan perasaan yang muncul.

Sore itu, Laras berusaha keras untuk kembali menulis, tapi pikirannya tetap terpecah. Akhirnya, dia menyerah dan merapikan barang-barangnya. Ketika dia memasukkan notebook ke dalam tas, jari-jarinya menyentuh sesuatu yang aneh. Itu adalah sebuah kertas yang tergulung rapi di dalam salah satu kantong kecil tasnya.

Dengan alis terangkat, Laras membuka gulungan kertas itu dan menemukan sebuah catatan singkat yang tertulis dengan huruf miring, sedikit berantakan

"Gue tahu lo nggak mau cerita, tapi gue rasa lo punya banyak hal menarik buat diceritain. Kalau lo berubah pikiran, gue biasanya ada di kafe ini tiap sore. Damar." Laras tersenyum tipis, sedikit tak percaya dengan keisengan pria itu.

Tapi di balik senyumannya, ada sesuatu yang lain-sebuah rasa ingin tahu yang tak bisa ia hilangkan. Untuk pertama kalinya, Laras merasa mungkin dunianya yang damai tak seburuk itu jika sedikit terusik.

Sambil melangkah keluar dari kafe, Laras memandang sekeliling, mencari sosok Damar, namun pria itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah catatan kecil di tangannya, seolah menjadi pengingat bahwa dunianya mungkin akan segera berubah-entah ia siap atau tidak.

•───────•°•❀•°•───────•
𝐓𝐨 𝐛𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝

Kesan untuk part 1 gimana?
Udah ada geregetan ga sama dua manusia ini^^

A world from YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang