𝟐. 𝐃𝐮𝐧𝐢𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚

79 52 163
                                    

𝐇𝐚𝐩𝐩𝐲 𝐑𝐞𝐚𝐝𝐢𝐧𝐠
•───────•°•❀•°•───────•

Laras menatap jendela kamarnya sambil memikirkan kejadian kemarin di kafe. Catatan singkat dari Damar masih ada di dalam tasnya, seperti pengingat yang terus membayang di pikirannya. Meskipun ia berusaha untuk mengabaikan, wajah Damar dan tawanya yang lepas terus muncul di benaknya.

"Huff," Laras menghela napas dalam.

"Ini nggak masuk akal." Sudah berjam-jam dia duduk di depan laptop, tetapi kata-kata yang biasanya mengalir deras kini tersendat.

Seolah ada penghalang yang tak terlihat. Di kepalanya, ia ingin kembali pada dunianya yang hening dan teratur, tetapi pertemuannya dengan Damar seakan menjadi gangguan yang terus mengusik. Ponselnya bergetar, menarik perhatian Laras.

Temannya, Taasya, mengirim pesan "Laras, gimana tulisanmu? Naskah novelmu udah mau jadi, kan? Kamu pasti bisa!" Laras tersenyum tipis.

Tasya selalu menjadi motivator terbaiknya, meskipun sering kali Tasya sendiri tak tahu betapa kerasnya Laras berjuang melawan kebiasaan menutup diri. Di luar, ia terlihat tenang dan tertata, tapi di dalam, ada ketakutan bahwa dunia di luar tulisannya terlalu rumit dan berisik untuk ia hadapi.

Laras berpikir sejenak. "Mungkin udara segar bisa membantu," gumamnya.

Laras mengambil tas dan memasukkan notebook serta laptopnya. Meski masih ada sedikit keraguan, dia memutuskan untuk kembali ke kafe tempat ia biasa menulis. Setibanya di sana, suasananya seperti biasa tenang, nyaman, dan akrab. Namun kali ini, ada sesuatu yang berbeda-Laras tak bisa mengabaikan bayangan kemungkinan bertemu dengan Damar lagi.

Dan benar saja, saat ia melangkah ke dalam kafe, matanya langsung menangkap sosok pria itu di sudut ruangan. Damar sedang asyik memeriksa kameranya, tersenyum sendiri seperti baru saja menemukan sesuatu yang menarik, Laras menelan ludah. Haruskah dia mendekat? Atau mungkin lebih baik jika dia duduk jauh saja dan fokus pada tulisannya? Namun, sebelum Laras bisa membuat keputusan, Damar sudah menyadari kehadirannya.

"Hey, Laras!" Damar melambaikan tangan, dengan senyum lebar yang tidak bisa diabaikan.

Tidak ada jalan untuk menghindar. Laras mengangguk pelan, dan dengan berat hati, ia berjalan mendekat.

"Lo balik lagi!" seru Damar riang. "Gue kira lo bakalan kabur dan nggak pernah muncul lagi di sini." Laras tersenyum canggung sambil duduk di kursi di hadapannya.

"Gue cuma... ya, lagi cari suasana buat nulis." ucap Laras.

"Oh ya? Lo udah nemu inspirasi belum?" tanya Damar sambil meletakkan kameranya.

"Kalau belum, mungkin lo perlu jalan-jalan sedikit. Serius, kadang inspirasi datang dari hal-hal yang nggak terduga." Laras mendesah, lalu menjawab.

"Aku biasanya nemu inspirasi di sini, di kafe ini. Bukan dari jalan-jalan." Damar tertawa pelan mendengar penuturan dari Laras.

"Lo terlalu tertutup sama dunia di luar, Laras. Gue yakin lo punya banyak ide keren, tapi kenapa lo nggak coba buka sedikit diri lo? Siapa tahu, dunia di luar tulisan lo lebih menarik dari yang lo pikir." Laras terdiam, dan jadi berpikir.

Ada sesuatu dalam kata-kata Damar yang mengganggu. Bagaimana bisa pria ini, yang baru dia kenal, merasa seperti tahu begitu banyak tentang dirinya?

"Gue cuma seneng motret momen-momen yang orang lain nggak lihat. Kayak lo misalnya," lanjut Damar, sambil membuka galeri di kameranya.

"Lo keliatan selalu fokus, tapi gue yakin di balik ekspresi serius itu, lo punya banyak cerita yang nggak orang tahu." Damar menunjukkan beberapa foto yang dia ambil.

Ada foto anak-anak yang bermain di taman, wanita tua yang tertawa lepas dengan teman-temannya, dan beberapa foto candid dari sudut-sudut kota. Laras tak bisa mengalihkan pandangannya dari foto-foto itu. Setiap gambar seolah berbicara, mengisahkan cerita tersendiri. Ada sesuatu yang nyata, hidup, dan penuh emosi di dalamnya-sesuatu yang sering kali tidak ia lihat dalam rutinitas sehari-hari.

"Lo ngerti, kan, apa yang gue maksud?" Damar tersenyum, melihat reaksi Laras. "Dunia nggak cuma ada di dalam kepala lo. Ada banyak hal di luar sana yang nunggu buat lo eksplor." Laras terdiam, merenungkan kata-kata Damar.

Sebagian dari dirinya ingin menyangkal, tapi bagian lain dari dirinya tidak bisa menolak fakta bahwa mungkin, hanya mungkin, Damar benar.

"Kenapa Lo begitu tertarik sama apa yang gue tulis?" tanya Laras akhirnya.

Damar mengangkat bahu. "Karena gue suka orang-orang yang punya dunia sendiri. Gue juga gitu, tapi gue belajar kalau berbagi dunia, Lo sama orang lain bikin hidup lebih seru." Laras tidak menjawab, rapi dirinya tertegun sembari matanya menatap wajah Damar.

Dia merasa bingung dengan perasaan yang muncul di dalam dirinya. Apakah ini ketertarikan? Atau mungkin hanya rasa penasaran? Damar jelas sangat berbeda dari siapa pun yang pernah dia temui sebelumnya-berani, terbuka, dan tanpa ragu untuk menjangkau orang lain.

"Ayo, gue ajak lo jalan-jalan sebentar," kata Damar tiba-tiba.

"Eh, jalan-jalan? Ke mana?" Laras kaget dengan ajakan mendadak itu.

"Cuma ke taman deket sini. Gue janji lo bakal nemuin inspirasi. Cuma sejam aja." Laras ragu.

"Gue... nggak yakin." ucap Laras.

"Percaya deh, lo nggak akan nyesel. Gue nggak bakal bikin lo ngelakuin hal yang aneh-aneh, kok. Lo cuma butuh keluar dari dunia kecil lo sebentar, dan lihat apa yang gue lihat," jawab Damar, meyakinkan.

Setelah beberapa detik pertimbangan, Laras akhirnya mengangguk pelan. "Oke... tapi cuma sebentar."

Dengan senyum lebar, Damar berdiri dan mengajak Laras keluar dari kafe. Sore itu, untuk pertama kalinya, Laras merasa seperti akan melangkah keluar dari dunianya yang selama ini ia pertahankan. Dan meskipun ia belum yakin apa yang akan terjadi, ada sesuatu dalam cara Damar memandang dunia yang membuat Laras merasa penasaran untuk melihatnya dari sudut pandang yang berbeda.

"Liat deh Ras, di seberang jalan itu ada seorang Ayah sedang menggendong anak perempuannya, mereka mau nyebrang kesini kayaknya," kata Damar menunjuk kearah seberang.

Seketika pandangan Laras kearah seberang sana, iya memang terlihat ada seorang Ayah yang akan menyebrang jalanan dengan menggendong anak perempuannya yang masih kecil. Damar mengeluarkan kameranya dam memulai memotret sembari mereka berjalan.

Damar memperlihatkan hasil Foto itu pada Laras, dan tanpa sadar Laras tersenyum melihat itu. Kemudian Laras berkata, "Gue mau minta fotonya boleh Dam?" ucapnya.

Damar terkekeh mendengar itu, "Liat Ras, sekarang Lo mulai tertarik dan dapat sedikit inspirasikan?"

Laras diam dan terus berjalan beriringan dengan Damar, Laras bukan tertarik pada apa yang Damar potret. Hanya saja itu mengingatkan momen masa kecilnya bersama papa-nya Laras saat dia masih berusia sama seperti anak tadi.

Laras memikirkan sejak dirinya beranjak tumbuh menjadi remaja, dan kedua orang tuanya sudah sangat sibuk. Laras jarang sekali berkumpul setidaknya hanya untuk menonton tv bersama pada malam hari.

Karna pikiran Laras kemana-mana, tanpa sadar dirinya tak tau kalau didepan dirinya akan melaju sebuah sepeda.

"Ras awas!" Damar menarik lengan Laras sehingga mereka berada pada jarak yang begitu dekat.

Damar menatap Laras dan begitupun sebaliknya, "Ngelamunin apa Ras, gapapa kan?" tanya Damar akhirnya, dan Laras hanya mengangguk sembari menjauhkan dirinya dari Damar.

•───────•°•❀•°•───────•
𝐓𝐨 𝐛𝐞 𝐜𝐨𝐧𝐭𝐢𝐧𝐮𝐞𝐝

Kesan untuk part 2 gimana?
Udah ada geregetan ga sama dua manusia ini^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A world from YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang