00

4 0 0
                                    

'Natael Mahanta'

Jari telunjuk seorang gadis berhenti, tepat di salah satu rentetan nama-nama korban.

Dengan air mata yang sudah tak bisa lagi dibendung, ia menutup mulutnya sendiri. Dirinya menatap nanar nama sang kekasih yang masuk ke dalam daftar nama-nama penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan—pesawat itu gagal dalam pendaratan darurat di sebuah laut lepas.

"Tan ..." Bahunya di sentuh oleh seseorang dari belakang.

"Nata, Mal. Nata ada di dalam pesawat itu!" ucapnya bergetar diiringi tetesan air mata.

"Kita duduk dulu, yuk. Lo pasti capek, Tan," ajaknya.

Namun sang empu masih enggan untuk berpaling dari papan daftar nama yang terpasang di dinding bandara.

"Intan, kita kasih kesempatan yang lain buat liat daftar nama ini. Di sini gak cuma lo yang khawatir dan sedih, tapi mereka juga," bujuknya dengan suara selembut mungkin.

Akhirnya gadis bernama Intan itu pun mengindahkan ucapannya. Dengan langkah gontai ia dituntun oleh Hikmal menuju kursi tunggu.

𓆩✉𓆪

Keesokan paginya Intan mendapat kabar jika beberapa korban dari kecelakaan pesawat itu sudah berhasil di evakuasi.

Dan di sini dirinya sekarang, di tepi pantai, berdiri menatap beberapa kantong jenazah yang berjejer di depannya. Kembali dadanya terasa sesak. Air mata mulai membendung, namun masih bisa ia tahan untuk tidak jatuh.

Masih bersama Hikmal yang setia menemaninya ke mana pun ia pergi. Intan melangkah dengan sedikit gemetar. Mereka mencari polisi, TNI ataupun tim SAR yang bisa mereka tanyai.

"Mohon maaf Anda tidak bisa masuk. Di sini area khusus petugas yang sedang melakukan evakuasi." Intan dan Hikmal di hadang seorang polisi.

"Maaf, Pak. Tapi kita mau melihat salah satu korban kecelakaan itu," jawab Hikmal.

"Anda anggota keluarga salah satu korban?"

Hikmal dan Intan mengangguk. Terlihat petugas itu berdiskusi sekilas dengan rekannya. Tak lama kemudian ia pun mempersilakan Hikmal dan Intan untuk memasuki area polisi tersebut.

"Baik, kalian boleh masuk. Tapi tetap jaga jarak dan tidak boleh rusuh. Kalian bisa ikuti rekan saya."

Setelah berterima kasih, Hikmal dan Intan pun mengikuti petugas lainnya. Satu persatu kantong jenazah di buka oleh sang petugas, sesekali Intan maupun Hikmal memalingkan muka karena tak sanggup melihat kondisi korban.

Hampir semua kantong yang ada di sana di buka, namun Intan masih belum menemukan Nata, sang kekasih.

Melihat Intan yang mulai panik, Hikmal memberitahu pada petugas tersebut bahwa korban yang tengah mereka cari bernama Natael Mahanta. Dan ia menitip pesan jika korban sudah ditemukan, ia meminta segera dihubungi.

Karena kemungkinan Nata belum ditemukan. Jadi Hikmal hanya bisa menitip pesan seperti itu.

Petugas itu terdiam, seolah tengah mengingat sesuatu. "Natael Mahanta?"

Intan dan Hikmal lantas mengangguk cepat. "Apa sudah ketemu, Pak? Dimana dia sekarang?" cercah Intan.

"Sebenarnya sebagian korban sudah di bawa ke rumah sakit untuk di autopsi. Korban yang ada di sini adalah mereka yang baru ditemukan. Mungkin kalian bisa mencoba mencari di rumah sakit. Sementara kami di sini juga akan terus berusaha mencari," terang petugas tersebut.

Bagai mendapat udara segar, gegas Intan dan Hikmal berpamitan, tak lupa memberi ucapan terima kasih. Keduanya langsung menuju rumah sakit sesuai dengan informasi yang didapat.

Namun, harapan itu kembali pupus saat tak ada satu pun korban yang bernama Natael Mahanta.

Dengan sedikit kecewa, keduanya keluar dari area rumah sakit. Intan tak lepas dari pengawasan Hikmal. Gadis itu dituntun Hikmal menuju parkiran mobil.

"Gue mau ke rumah Nata sekarang juga,"

Hikmal menoleh padanya, "Buat apa, Tan? Di sana juga nggak ada Nata,"

"Setidaknya gue datang ke sana untuk saling menguatkan, Mal. Udah, sekarang lo anterin gue ke sana." Hubungannya dengan keluarga Nata memang sudah cukup dekat. Apalagi dengan adik bungsu Nata, keduanya cukup kompak.

Intan berjalan mendahului Hikmal. Pemuda itu hanya bisa mengusap wajahnya sejenak. Lantas mengejar langkah Intan.

Sesampainya di kawasan perumahan tempat tinggal Nata. Dari kejauhan keduanya bisa melihat jika di halaman rumah Nata sudah ada beberapa mobil terparkir.

Saat berjalan memasuki pelataran rumahnya pun Intan langsung bisa merasakan suasana sedih sekaligus cukup mencekam.

Baru akan mengetuk pintu, lebih dulu pintu itu terbuka dari dalam. Yang kemudian menampakkan wajah seorang gadis yang tak lain merupakan adik bungsu Nata.

"Ngapain kamu ke sini?!"

Senyuman tipis yang Intan berikan seketika luntur. Ia tak mengerti kenapa kedatangannya tak disambut dengan baik. Namun, ia berusaha berpikir positif, mungkin karena kondisi yang sedang tidak baik-baik saja, membuat gadis itu sedikit tegang dan emosional.

"Anjani—"

"Pergi kamu. Bang Nata celaka itu gara-gara kamu!" hardiknya.

Intan memaku di tempat. Mencoba mencerna kalimat yang terlontar dari mulut Anjani.

"Maksud kamu? Kenapa kamu menyalahkan aku?"

"Ya jelas salah kamu, lah! Bang Nata pergi itu demi kamu. Kalo dia nggak pergi, mungkin sekarang kejadian ini gak bakal menimpa dia!"

Fokus Intan terbagi antara Anjani dan suara tangisan dari dalam rumah. Bahkan Intan bisa melihat jika di dalam sana ada seseorang yang terbaring. Dengan seorang wanita menangis di sampingnya, dan wanita lainnya terus mencoba menenangkan.

"Tunggu, apa Nata udah ketemu?"

Anjani mendelik, ia menarik knop pintu dan menutupnya. Sehingga Intan tak bisa melihat lagi ke dalam rumah.

"Keadaan Nata gimana, Jani? Apa dia baik-baik aja? Nata ... Nata, masih ada 'kan?" Air mata Intan kembali berkumpul. Hatinya sangat cemas. Ia ingin segera tahu kondisi Nata saat ini. Bahkan ia tak berani menggunakan kata 'meninggal' untuk menanyakan kenyataan sang kekasih.

Bukannya menjawab, Anjani malah menarik lengan Intan dan membawanya keluar dari gerbang rumah. Hikmal yang melihat hal itu sedikit tak terima, ia menahan Anjani untuk berhenti menyeret Intan.

"Anjani, lo apa-apaan, sih?! Setidaknya jelasin apa yang udah terjadi. Bukannya langsung menyalahkan orang lain yang gak tau apa-apa!" seru Hikmal ikut geram.

"Bukan urusan kalian. Sekarang kamu keluar dari sini! Jangan pernah menginjakkan kaki lagi di rumah ini. Dan teruntuk kamu—" Anjani menunjuk Intan tepat di depan wajahnya.

"Lupain Bang Nata. Karena mulai sekarang, dia udah gak ada lagi di hidup kamu."

𓆩✉𓆪

Surat Beramplop HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang