02

1 0 0
                                    

Hikmal mengernyit, "Anjani ... adiknya Nata? Bukannya dia lagi di luar negeri?"

"Kalo bukan dia, siapa lagi? Yang tahu tentang Nata pasti anggota keluarganya sendiri,"

"Tapi, buat apa dia kirim surat buat neror lo kayak gini? Apa susahnya kasih tahu yang sebenarnya saat lo ke rumah dia waktu itu?"

Intan bergeming. Apa yang dikatakan Hikmal ada benarnya juga. Lantas, siapa yang sudah mengirim surat-surat itu padanya?

Berbagai pertanyaan kembali memenuhi kepala Intan. Mengapa Anjani menutupi semua hal yang berkaitan dengan Nata? Sebenarnya apa yang terjadi pada Nata? Lantas kenapa sekarang dia mendapat teror? Apa yang sudah dia lakukan, apa kesalahan sebenarnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu malah membuat kepalanya terasa hampir meledak. Gadis itu meringis, menjatuhkan kepalanya ke atas bantal.

Hikmal merasa khawatir pada Intan. Padahal sahabatnya itu baru merasakan kehidupan kembali setelah melewati masa-masa terpuruknya. Hikmal mengira jika masalah itu sudah usai, tapi ternyata sekarang malah mendatangkan masalah baru untuk Intan.

"Lo istirahat aja dulu, Tan. Jangan banyak pikiran, ya. Gue bakal nyari tahu tentang siapa di balik surat ini," kata Hikmal. Ia mengusap surai Intan sekilas.

Intan mengangguk, mempersilakan Hikmal berpamitan meninggalkannya.

Keluar dari rumah Intan, Hikmal langsung menuju rumahnya yang hanya berbeda blok saja. Pemuda itu mengendarai motornya. Karena walaupun dekat, jika ditempuh dengan berjalan kaki tetap terasa melelahkan.

Sampai di halaman rumah, Hikmal segera memarkirkan motornya. Lantas berlari kecil menuju kamar miliknya yang berada di lantai 2.

Dengan tangan yang lihai, ia mencari sesuatu yang menjadi fokus utamanya kini. Nakas, lemari, sampai meja belajar ia periksa. Setiap laci ia buka, dengan isinya yang ia teliti secara seksama.

"Ada di mana surat itu?" gumamnya.

Ia teringat jika barang-barang yang tersimpan di kamarnya kini di dominasi oleh yang baru. Seiring dengan usianya yang semakin bertambah, barang-barangnya pun silih berganti seiring pertumbuhannya. Karenanya barang yang berkaitan dengannya di masa lalu sudah dipindahkan oleh sang ibu.

Gegas Hikmal mencari ibunya yang ia yakini pasti wanita kesayangannya itu ada di belakang rumah merawat taman kecil mereka.

Dan memang benar adanya. Dengan langkah cepat, Hikmal menghampiri sang ibu yang terduduk di kursi kecil di teras belakang.

"Bun, barang-barang aku waktu SMA, Bunda simpan di mana?" tanyanya, ikut duduk di kursi kosong satunya.

"Kenapa emangnya?" Yulia—wanita itu mengernyit menatap sang putra.

"Ada yang mau aku cari. Kasih tahu di simpan di mana, Bun?"

Yulia menggelengkan kepala, "Di gudang. Kalo gak ketemu, berarti ketutup sama barang-barang yang lain,"

Belum juga mencari, Hikmal sudah mengembuskan napas berat. Betapa menyulitkannya nanti saat dia tiba di gudang. Tapi, mengingat Intan, bujang itu kembali menyemangati dirinya sendiri.

"Yaudah, makasih, Bunda!" serunya. Meninggalkan Yulia yang menatapnya sembari menggelengkan kepala.

Sesampainya di gudang, benar saja, di ruangan itu penuh dengan barang-barang yang bertumpukan. Hikmal sampai tak tahu harus mulai mencari dari mana.

Entah kebetulan atau memang sudah takdirnya, Hikmal mencari secara random, dirinya iseng menyingkap kain yang menutupi benda di bawahnya. Dan ternyata di balik kain itu merupakan kardus besar berisikan beberapa barang-barang Hikmal semasa SMA. Dari buku catatan, benda-benda pemberian teman, sampai kertas bekas ujiannya dulu masih ia simpan di dalam kardus tersebut.

Sekejap dirinya bernostalgia kala melihat isi kardus itu. Sampai di mana tangannya terulur mengambil sebuah buku catatan dengan sampul berwarna biru tua. Saat membukanya, di halaman pertama ia langsung disambut dengan secarik foto usang yang menampakkan dirinya bersama Intan berbalutkan seragam SMA yang sama.

Di foto itu keduanya tersenyum lebar dengan tangan saling merangkul satu sama lain. Senyuman tipis terbit di wajah Hikmal, "Gue harap senyuman bahagia lo ini bisa hadir lagi, Tan. Walau bukan gue yang jadi alasan lo tersenyum." gumamnya.

Saat akan membuka halaman selanjutnya, sebuah kertas terlipat lebih dulu jatuh ke lantai. Segera Hikmal mengambilnya, ia membuka kertas itu.

Seketika matanya membulat, barang yang tengah ia cari akhirnya ketemu!

*

Kini Hikmal sudah bersila di atas tempat tidurnya. Menatap ketiga surat yang salah satunya sudah terlihat usang termakan waktu.

"Apa gue kata, gaya tulisan ketiga surat ini sama!" seru Hikmal antusias.

Sekilas dirinya bergidik sendiri karena merasa geli saat membaca kembali surat yang berisi kata-kata ungkapan hati seorang gadis padanya.

"Lara ...?" gumamnya, membaca sebuah nama di akhir kalimat dalam surat yang sudah usang itu.

Walau sempat lupa, setelah dirinya mencoba mengingat kembali, akhirnya ia pun berhasil teringat pada seseorang.

"Ini Lara adik kelas yang dulu pernah suka sama gue, kan? Tapi masa pelakunya dia, sih?"

"Setahu gue dia lagi kuliah di Jogja, deh ..." lanjutnya.

Hikmal meraih ponselnya, membuka salah satu aplikasi media sosial lantas menuju fitur DM. Setelah mencari akun Lara, ternyata akun gadis itu ada di barisan bawah.

[Lara, apa kabar? Lo ada di Jakarta, gak?]

𓆩✉𓆪

Intan memasuki sebuah minimarket karena seharian di dalam rumah membuatnya suntuk. Kebetulan hari ini adalah hari libur, jadi Intan ingin membeli banyak makanan untuk obat kebosanannya.

"Kembaliannya mau di donasikan, kak?" ucap sang kasir sembari memperlihatkan beberapa koin kembalian.

Intan tersenyum, "Boleh." Setelah itu ia pun berlalu meninggalkan bagian kasir. Dengan tangan yang menenteng keresek penuh jajanannya.

Saat keluar dari minimarket, sorot mata Intan menangkap seseorang yang langsung membuatnya terdiam di tempat.

"Rafan?" lirihnya.

Pandangannya tak lepas dari pemuda yang tengah berjalan menuju mobilnya di seberang sana. "Itu beneran Rafan, kan? Apa dia udah pulang?" monolognya.

Gegas Intan melangkah cepat untuk menghampirinya. "Rafan! Tunggu!" pekiknya. Namun, pemuda bernama Rafan itu lebih dulu memasuki mobilnya dan melenggang pergi.

Intan berdecak, ia gagal untuk mengejar Rafan. Matanya menerawang sekitar, mencari angkutan umum yang bisa ia naiki.

"Bang Hasbi!"

"Lah, bocah. Lagi apa lu di sini?" Pria bermotor itu berhenti tepat di depan Intan.

Hasbi adalah kakak laki-laki Intan. Beberapa bulan lalu dirinya menikah, dan kini sudah tinggal terpisah. Namun, rumah Hasbi dan istrinya berada tak begitu jauh dari kawasan rumah orang tuanya.

"Bang anterin aku, cepet!" Belum ada persetujuan, Intan lebih dulu menaiki motornya.

Hasbi yang masih kebingungan hanya bisa menuruti permintaan adiknya itu.

Beberapa menit kemudian, keduanya berhenti di pinggir jalan. Intan meminta Hasbi untuk menjaga jarak dari mobil yang sedari tadi mereka ikuti. Ia memperhatikan mobil Rafan yang berbelok ke rumah Nata.

"Kan, bener dugaan gue! Gue harus ketemu Rafan," ucap Intan pelan. "Bang, kita samperin mobil itu,"

"Lah, ngapain? Itu 'kan rumah Nata. Bukannya dia udah—"

"Ssttt!!" Intan menginterupsi, "nanti aja bacotnya! Sekarang aku harus temuin Rafan."

Surat Beramplop HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang