01

6 0 0
                                    

2 tahun kemudian.

Intana Fayza, gadis berusia 23 tahun itu terbatuk-batuk sesekali diikuti bersin karena debu di kamarnya yang lama tidak dibersihkan.

"Ditinggal galau bentar, ni kamar udah berdebu aja," gumamnya, sembari mengelap bekas debu tersebut dengan kain basah.

Memang, semenjak kejadian dua tahun yang lalu, Intan seperti kehilangan separuh hidupnya. Perempuan itu seolah tak memiliki semangat untuk melanjutkan hidup. Hari-harinya hanya diisi dengan tangisan, memori-memori indah bersama kekasih terus berputar di dalam kepala.

Jika rindu, ia hanya bisa menatap foto-foto kebersamaan mereka dulu. Memeluk barang-barang pemberian Nata untuknya yang di dalamnya memiliki kisah seru. Namun, kenangan yang dulu bisa menerbitkan senyuman, kini justru berubah menjadi rasa haru.

Pada akhirnya luka itu terobati sedikit demi sedikit. Walau tak sepenuhnya tersembuhkan. Hanya waktu yang tahu, kapan luka itu akan benar-benar sembuh.

Dengan berjinjit, Intan berusaha menurunkan beberapa benda di atas lemari bajunya. Untuk kemudian ia bersihkan lemari tersebut dari debu yang berkumpul.

Namun, saat akan mengambil barang terakhir, sebuah kotak berukuran sedang terjatuh dan tepat mengenai kepala Intan. Gadis itu meringis, bahkan hampir saja mulutnya mengeluarkan umpatan karena kotak itu tiba-tiba saja menimpuk kepalanya.

Sampai di mana ia merasa tidak asing dengan kotak tersebut. Dengan rasa penasaran, ia buka tutup kotak itu. Dan setelah mengetahui isinya, hati Intan seketika kembali sesak. Kotak itu berisi beberapa barang yang berkaitan dengan Nata, yang ia putuskan untuk menyimpannya di dalam kotak satu tahun yang lalu.

Tangannya terulur, mengambil secarik foto laki-laki yang hampir masuk ke tiga tahun ini, masih belum juga ia ketahui kabarnya.

Ya, Intan tak tahu apakah Nata masih ada atau sudah tiada. Memangnya Intan tidak mencari tahu? Tentu saja dia mencari tahu, namun saat mendatangi rumah Nata untuk terakhir kalinya, ia malah bertemu dengan tukang kebun sekaligus penjaga rumah itu—sepertinya dia penjaga baru, karena Intan tak kenal dengan wajahnya.

"Ibu dan keluarganya sudah beberapa bulan tinggal di luar negeri, Mbak," katanya pada saat itu.

Intan yang cukup terkejut mendengar hal itu, berusaha untuk tetap fokus. Lantas ia mencoba bertanya perihal sang kekasih.
"Termasuk anak pertamanya?"

"Mas Nata?" tanyanya.

Dengan cepat Intan menganggukan kepala. "Iya. Apa Mas tahu kabar dia sekarang?"

Tiba-tiba saja pemuda itu menarik pagar besi yang hanya terbuka setengahnya itu. Intan yang tak tahu apa yang tengah terjadi hanya bisa menatapnya penuh tanya.

"Silakan pergi, Mbak. Saya tidak bisa memberikan informasi mengenai Mas Nata." Ia menutup gerbang tersebut lantas menggemboknya.

"Lah, Mas! Tapi kenapa? Saya cuma pengen tahu, Mas!"

"Mas! Saya pacarnya, saya harus tahu kondisi dia sekarang!"

Namun, teriakannya tak diindahkan. Penjaga itu mengabaikan Intan, sampai punggung pemuda itu tak terlihat lagi.

"Intan! Where are youuu?"

Intan seketika terkesiap, dengan cepat ia menutup kembali kotak itu dan menyembunyikannya di bawah tempat tidurnya.

Tak lama pintu kamar terbuka, menampakkan seorang pemuda yang sejak SD sudah menjadi sahabatnya, sampai detik ini.

"Apa?" Intan menatapnya malas.

"Lo lagi beres-beres?" tanyanya sembari berjalan mendekati Intan.

"Keliatannya?"

"Yaelah, sensi amat lo!" Ia berdecak, "nih, mama lo nyuruh gue ngasihin surat. Katanya ada yang kirim tadi," lanjut Hikmal.

Intan mengerutkan kening, "Surat lagi?" Lantas menerimanya.

"Lo kok dapet surat mulu, Tan? Ada yang suka diem-diem kali sama lo," ucap Hikmal dengan tatapan penuh arti kepada sang sahabat. Namun atensi Intan sudah terlanjur disita oleh surat itu.

"Gak mungkin,"

Intan segera membuka surat yang terbungkus amplop hitam tersebut. Dan ternyata isinya hampir sama dengan surat yang ia terima beberapa waktu yang lalu.

"Keterlaluan! Ini udah kelewatan!" desisnya.

"Coba liat." Hikmal merebut surat itu dari genggaman Intan. Lalu membacanya.

Bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang sangat kamu cintai sedalam-dalamnya? Sakit, kan?
Aku harap jiwamu terguncang. Hidupmu menderita, lalu hancur tak bersisa.
Tak usah bertanya mengapa surat ini bisa datang kepadamu. Karena masih banyak surat lainnya yang akan membuat hidupmu tersiksa. Ini baru permulaan Intan.

Kalau kamu ingin tahu, ingat pada perbuatanmu dulu.

-Anonim.

"Apa yang udah lo lakuin dulu, Tan? Lo pernah nyakitin hati orang, ya?" selidik Hikmal.

Intan menggeleng, "Gue gak tahu. Tapi seinget gue, gue gak ngerasa pernah nyakitin hati orang deh, Mal."

Hening beberapa saat, sampai kedatangan Maiza, ibu Intan, yang kini berdiri di ambang pintu berhasil membuat keduanya tersentak kaget. Pasalnya, wanita itu datang sembari menggebrak pintu, sengaja untuk mengagetkan Hikmal dan Intan.

Maiza cekikikan, "Sayang, ini ada surat lagi. Duh, anak Mama masih pagi udah dapet dua surat sekaligus. Dari siapa, Dek?" tanyanya, sedikit menggoda.

Intan dan Hikmal seketika saling bertukar tatap. Surat lagi? Jika dihitung, maka surat itu merupakan yang ke empat kalinya.

"Ih, Mama apaan, sih. Bukan dari siapa-siapa," jawab Intan, mengambil cepat surat tersebut.

Maiza masih menggodanya. Namun, tak berapa lama, ibu yang selalu kelihatan muda itu kembali meninggalkan kamar dengan alasan masakannya takut gosong.

"Buka cepet, Tan!" titah Hikmal.

Intan mengangguk, membuka surat yang dibalut amplop sama seperti yang tadi.

Gimana perasaannya, takut? marah?
Gue rasa, tebakan gue bener semua, haha...

Intan lo pengen Nata kembali lagi ke lo? Bisa.
Tapi, temui gue dulu.

Semoga selamat.

-Anonim.

Dengan perasaan geram, Intan mer3mas kertas berisi tulisan itu. "Siapa, sih?! Gue punya salah apa sebenarnya?" Intan terduduk di tepi kasur, menangkup wajahnya dengan penuh frustasi.

Hikmal meraih kedua surat yang teronggok di atas kasur. Pemuda itu memperhatikan setiap huruf, setiap kata, yang terangkai menjadi kalimat di atas kertas tersebut. Rasanya ia tak begitu asing dengan gaya tulisan yang terbentuk di sana.

"Bentar, rasanya gue gak asing deh sama tulisan ini,"

Ia mencoba mengingat-ingat, Hikmal seperti pernah melihat tulisan itu sebelumnya. Namun, rasanya sudah lama sekali sejak ia menerima surat itu.

Intan menoleh pada Hikmal tanpa mengeluarkan suara. Hikmal pun ikut menoleh padanya. "Tapi gue lupa. Gue coba cari lagi surat itu di rumah, deh. Sementara surat ini gue bawa dulu," ujarnya. Memasukkan kembali kertas itu ke dalam amplop.

Hening kembali memenuhi ruangan tersebut. Hikmal maupun Intan bergelut dengan isi pikiran masing-masing.

Sampai di mana, Intan membulatkan mata sembari menutup mulutnya sendiri.

Hikmal yang menyadari pergerakan Intan, sontak menoleh padanya. "Kenapa? Lo inget seseorang?"

Intan mengangguk mantap, "Apa ini semua perbuatan Anjani?"

Surat Beramplop HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang