03

0 0 0
                                        

Intan turun dari motor Hasbi. Bersamaan dengan gerbang rumah yang akan di tutup oleh Iwan—penjaga yang waktu itu sempat mengobrol singkat dengan Intan.

"Mas Iwan! Jangan di tutup dulu,"

Mendengar suara wanita, Rafan yang baru keluar dari mobil kembali berbalik melihat ke arah Iwan. Matanya sedikit memicing, memperhatikan seorang perempuan di luar sana yang tengah membujuk Iwan.

Pemuda itu berjalan mendekat. "Ada apa, Wan?" Pandangannya kini bertemu dengan kedua mata milik seorang gadis.

"Intan?" katanya pelan.

"Rafan, aku perlu bicara sama kamu. Sebentar, aja," seru Intan dengan cepat.

"Intan, maaf, tapi ..."

"Please..."

Rafan tak tega melihat Intan yang terlihat memelas itu. Ia terlihat berpikir sejenak. Sampai akhirnya pemuda itu menarik napas pelan, "Buka aja, Wan,"

"Tapi, Fan—"

"Gapapa. Urusan orang rumah biar gue yang handle," ujarnya. Keduanya memang masih seumuran, dan Rafan meminta Iwan untuk tidak hanya melihatnya sebagai majikan, tapi juga menganggapnya sebagai teman. Jadi tak heran jika Iwan bisa bersikap sesantai itu pada Rafan.

Akhirnya Iwan pun menurut, ia membuka kembali kunci gerbang itu dan menggesernya sedikit.

"Maaf, tapi aku gak bisa lama-lama. Kamu mau ngomong apa?"

"Soal Nata. Sebenarnya di mana dia sekarang, dan gimana keadaannya?" Intan menatap Rafan penuh harap.

Rafan menghela napas, melihat binar keputusasaan yang tampak di mata Intan.

"Bang Nata ada di Singapore. Kondisi dia udah mulai membaik,"

Intan menarik napas lega. Sekuat tenaga ia menahan air matanya agar tidak jatuh di depan Rafan.

'Jadi Nata masih hidup? Syukurlah, aku lega, Nat.' batinnya masih dengan senyuman mengembang.

"Lantas kenapa kalian menutupi semua itu dari aku? Gapapa kalau memang aku disuruh menjauh dari Nata, tapi setidaknya kasih aku alasan. Sebenarnya kesalahanku apa?" ungkap Intan, sedikit mengeluarkan isi hatinya yang selama ini terpendam.

"Setelah kecelakaan pesawat itu, aku udah kayak orang gila yang bolak-balik datang ke rumah sakit berbeda untuk memastikan Nata ada di sana atau nggak. Tapi—"

"Bentar, maksud kamu kecelakaan pesawat?" Rafan menukas cepat ucapan Intan.

"Iya, Nata salah satu korban kecelakaan pesawat itu, kan?"

Belum sempat Rafan mengeluarkan suara, dering ponsel di saku jaket Intan bergetar. Gadis itu melihat nama kontak Hikmal tertera di layar ponselnya.

Setelah meminta izin sebentar pada Rafan, ia pun mengangkat telepon tersebut.

"Halo, kenapa, Mal?"

"Beneran? Lo udah temuin pelakunya?" Intan membulatkan mata. "Iya, bentar lagi gue ke sana."

Tak lama sambungan telepon pun terputus. Intan kembali mengalihkan atensinya pada Rafan.

"Fan, aku minta maaf, tapi ada sesuatu yang harus aku selesaikan sekarang juga. Tapi aku mohon, kamu bisa bantu aku, kan?"

"Bantu apa?"

"Kasih aku kabar perkembangan Nata. Aku cuma mau memastikan kalau Nata baik-baik aja. Sekalipun aku gak tahu alasan kenapa aku gak diperbolehkan lagi berhubungan sama Nata, tapi asalkan aku tahu kondisi dia sekarang, itu udah cukup buat aku," jelas Intan, "bisa 'kan, Fan? Please, cuma kamu harapan aku sekarang ..."

Rafan menatap Intan yang sekhawatir itu kepada sang kakak. Rafan berpikir, sebesar apa cinta dan kasih sayang Intan pada kakak kandungnya, hingga perjuangannya sebesar itu hanya untuk tahu kabar Nata.

Mau tak mau ia pun mengangguk menyetujui. Toh, tak ada salahnya juga ia membantu Intan. Karena sebetulnya ia pun masih memiliki pertanyaan terhadap gadis di depannya itu.

𓆩✉𓆪

Sesampainya di rumah, ternyata Hikmal sudah menunggunya di teras depan. Setelah bercakap-cakap singkat dengan Hasbi, tersisalah Intan dan Hikmal yang langsung membicarakan inti permasalahan.

"Kita omongin di luar aja, Mal. Gue gak mau ada yang tahu. Apalagi ada Bang Hasbi, suka kepo orangnya," kata Intan.

Hikmal terkekeh pelan, "Oke."

Dan akhirnya keduanya pun pergi dengan mengendarai motor Hikmal. Sampailah mereka di sebuah kafe sederhana milik teman Hikmal semasa kuliah.

"Jadi apa yang lo temuin?" Intan langsung mengarah ke inti pembicaraan. Karena tak ada waktu lagi untuk sekedar berbasa-basi.

Hikmal mengeluarkan tiga kertas terlipat, dua di antaranya terbungkus amplop hitam. Kemudian disimpannya di atas meja. Ia membuka ketiga kertas itu, lalu menunjuk ke arah tulisan yang terangkai di masing-masing kertas.

"Lo liat gaya tulisan yang ada di sini. Surat yang kemaren lo terima dengan surat yang beberapa tahun lalu gue terima, gaya tulisannya hampir sama," ungkap Hikmal.

Intan memperhatikan surat-surat itu sesuai dengan arahan Hikmal. Dan memang, Intan pun merasa jika gaya tulisan ketiganya memiliki kemiripan.

"Lara?" Intan mengangkat kepala, menatap Hikmal. Senyumnya terkulum sekilas, merasa geli membaca isi surat tersebut.

Hikmal tak menjawab, ia membuang muka menghindari tatapan jahil Intan.

Intan kemudian mengerutkan alis, tiba-tiba ia teringat seseorang. "Lara? Bentar, jangan bilang Larasati adik kelas yang dulu pernah ngejar-ngejar lo?"

Hikmal mengangguk cepat. Sedangkan Intan masih terlihat ragu akan fakta tersebut.

"Masa, sih, Mal? Kalo memang ternyata tulisan ini milik dia, terus kenapa dia teror gue? Dan, dari mana dia kenal Nata?" Intan mulai memberondongi Hikmal dengan pertanyaan.

Pasalnya, dulu Nata berbeda sekolah dengan Intan. Bahkan, awal perkenalan mereka pun karena keduanya terlibat dalam sebuah kesalahpahaman beberapa tahun yang lalu.

"Itu dia." Hikmal menjentikkan jari, "tugas kita sekarang ketemu Lara dan minta penjelasan dia,"

"Oke, kapan kita ketemu dia?"

Hikmal meringis, "Masalahnya itu, Tan. Kemaren gue DM dia, ternyata dia masih di Jogja dan gak tahu pulangnya kapan,"

Intan mengangguk-anggukan kepala. Ia mengerti karena dulu, Lara dan Intan sempat saling kenal dan Lara bercerita bahwa dia berencana berkuliah di Jogja.

"Yaudah, kita susul dia ke Jogja."

Hikmal mengangguk, menyetujuinya dengan santai. Keduanya pun beralih ke pembahasan selanjutnya. Intan memberitahu Hikmal bahwa ia baru saja bertemu dengan Rafan, adik dari Nata. Intan mengungkapkan kesenangannya karena mengetahui bahwa Nata masih ada di dunia dan kondisinya baik-baik saja.

Ada kegetiran di balik senyuman Hikmal yang terlihat antusias dengan cerita Intan. Ternyata sampai kapan pun tak akan ada kesempatan baginya untuk memasuki hati Intan, sahabatnya.

"Syukur kalo gitu, gue ikut seneng, Tan. Gue berharap secepatnya lo bisa ketemu lagi sama Nata,"

Intan mengangguk cepat. "Makasih, ya, Mal. Lo sahabat yang paling gue sayangi!"

Hikmal tersenyum tipis. Pandangannya ia alihkan ke sembarang tempat. Sampai di mana, ia menangkap seorang gadis yang berjalan ke arah kasir.

"Tan, itu Lara bukan?"

Intan dengan cepat menoleh, mengikuti sorot mata Hikmal yang tertuju ke depan.

Ia mengernyit sekilas, memastikan bahwa itu benar-benar Lara. "Beneran Lara, Mal! Kok dia ada di sini? Katanya di Jogja?"

"Apa dia sengaja bohongin gue?" Hikmal dan Intan saling bertatap muka.

Kecurigaan keduanya semakin mencuat. Mengapa Lara harus berbohong pada Hikmal. Apa pelaku di balik surat itu memang dirinya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 26, 2024 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Surat Beramplop HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang