Langit malam yang pekat memeluk kota dengan dinginnya, tapi di dalam kamar apartemen mewah yang sunyi itu, keheningan terasa jauh lebih menusuk daripada udara di luar. Di tepi ranjang yang kosong, Elara Adinata duduk diam, jari-jarinya yang lentik menggenggam gelas wine yang hampir habis. Sorot matanya kosong, tetapi di balik kekosongan itu, ada badai emosi yang berkecamuk, berputar-putar tanpa henti. Rasa sakit, kerinduan, dan penyesalan yang mendalam mengalir bersamaan dalam setiap tarikan napasnya.Bayangan suaminya, Arga Danillo, hadir dalam setiap sudut pikirannya. Wajah lembutnya, sorot matanya yang selalu patuh dan penuh cinta. Arga selalu menuruti setiap perkataan Elara, mengikuti setiap keinginannya tanpa pernah protes, meski sering kali permintaan Elara membuatnya terluka-baik secara fisik maupun emosional. Elara tahu betul bagaimana dominasi dirinya membentuk hubungan mereka. Ia mengendalikan segalanya, sementara Arga dengan senang hati menundukkan diri.
Namun, kesetiaan Arga tak mampu menahan keegoisan Elara. Malam itu, malam terakhir Arga masih hidup, adalah bukti nyata dari kehancuran yang ia sebabkan.
Elara masih ingat betul malam itu. Ia sedang bersenang-senang di bar, mabuk dalam gemerlap lampu dan dentuman musik yang menggetarkan lantai. Gelas demi gelas minuman ia tenggak tanpa peduli, meski Arga, di rumah, sudah beberapa kali menelepon dan mengirimi pesan, memohon agar ia pulang. Tapi Elara hanya tertawa sinis, tidak menghiraukan. Ia sibuk dengan kesenangannya, merayakan hidup di antara orang-orang yang bahkan tak peduli padanya.
Namun, entah mengapa, ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya menantang Arga lebih jauh malam itu. Dalam kondisi mabuk, ia menelepon Arga, suaranya slurred namun nada perintahnya tetap tegas.
"Kalau kamu benar-benar mencintaiku, jemput aku sekarang!" kata Elara dengan nada dominan yang biasa, meski ia tahu Arga sangat tidak suka mengemudi malam hari. Suaminya benci berkendara dalam kondisi gelap dan lelah, tapi Elara tidak peduli. Bagi Elara, apa yang diinginkannya harus segera dipenuhi, tak peduli risiko yang mungkin dihadapi Arga.
Dan Arga, seperti biasa, tidak menolak. Ia patuh seperti selalu. Ia segera bergegas keluar, tak peduli jam sudah menunjukkan larut malam. Elara ingat dirinya tertawa saat menutup telepon, merasa menang dan puas karena sekali lagi, Arga tunduk padanya.
Tapi kebahagiaan palsu itu tidak bertahan lama.
Malam itu menjadi mimpi buruk yang tak pernah bisa ia hapus. Beberapa jam setelah telepon itu, berita tragis menghantamnya keras. Arga mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju bar. Mobilnya tergelincir di tikungan tajam, menabrak pembatas jalan dan terbalik berkali-kali sebelum akhirnya berhenti di pinggir jurang. Kondisinya sangat parah, dan nyawanya tak tertolong.
Kecelakaan itu benar-benar tragis.
Elara tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaannya saat itu. Saat ia tiba di rumah sakit, terlambat menyaksikan kepergian suami yang selalu mencintainya tanpa syarat, ia tak bisa berkata apa-apa. Tidak ada air mata yang keluar malam itu. Hanya kehampaan yang menggigit hatinya dengan brutal. Arga, pria yang selalu ia kendalikan, yang ia remehkan demi kesenangan dan egoismenya, pergi untuk selamanya-dan semua itu karena ulahnya.
Kembali ke masa kini, Elara menenggak sisa wine di gelasnya, mencoba mengusir bayang-bayang kelam yang terus menghantuinya. Tapi itu tidak pernah cukup. Setiap kali ia menutup mata, ia bisa melihat wajah Arga yang penuh luka, bisa mendengar suara lemah suaminya yang selalu berkata, "Aku akan selalu ada untukmu, apa pun yang terjadi."
Namun kini, Arga tidak ada lagi. Dan janji itu hanya menjadi beban yang terus menghantui Elara. Penyesalannya terasa begitu dalam, hampir tak tertahankan. Ia tahu, tidak ada jalan kembali. Tidak ada cara untuk memperbaiki apa yang sudah ia hancurkan. Kerinduan terhadap Arga-kerinduan yang dulu tak pernah ia sadari-kini menelan seluruh jiwanya.
Elara yang dominan, yang dulu selalu merasa kuat dan tidak terkalahkan, kini hanya merasa rapuh. Setiap detik terasa kosong tanpa kehadiran Arga di sampingnya. Ia rindu akan suara lembut suaminya, rindu akan sentuhan yang selalu menenangkan. Tapi lebih dari segalanya, ia rindu akan cinta yang ia sia-siakan cinta yang tulus, yang ia abaikan demi kesenangan dunia yang sekarang terasa hampa.
Angin malam yang berhembus melalui celah jendela membawa bisikan sunyi yang terasa seperti suara Arga, memanggil dari tempat yang tak bisa ia jangkau. Elara menundukkan kepalanya, air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir tanpa henti. Di dalam kesendiriannya, ia hanya bisa berbisik lirih, "Maafkan aku, Arga... maafkan aku."
Tapi, seperti semua hal lain dalam hidupnya yang terlambat, kata-kata itu tak pernah mencapai orang yang paling berhak mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Chance
Romanceaku ga tau buat description story tapi ini cerita cewe dominan alias femdom! so jangan salpak plis🙏