EPISODE DUA

196 31 10
                                    

Dua netra kembar mengerjap.

Terbangun tepat ketika waktu menunjuk pukul tujuh pagi, pria kecil itu kaget tatkala kesadaran sepenuhnya kembali, namun imajinasinya tak pudar. Sial, ini mimpi kelewat panjang.

Kaki telanjangnya berdiri pada permukaan ubin cantik, terasa geli saat telapak kasar itu menyentuh permukaan halus sementara pandangan mengedar liar meneliti tiap sudut. Sedetik, Ben mengaduh ketika merasakan rahangnya sakit luar biasa. Bahkan pukulan kayu dan segala kepalan tinju milik sang ayah tidak sesakit ini. kepalanya jelas ingat apa yang terjadi beberapa jam lalu, tepatnya ketika kabir kalam belum bertransisi, masih segar betul bagaimana aroma martabak dan beraneka ragam masakan yang belum pernah ia lihat seumur hidup. Rasanya memang benar-benar nyata. Dari semua hal, makanan adalah perkara yang paling di ingat meski sepakkan pada rahangnya berhasil menumbangkan hingga tak sadarkan diri. Tampaknya, Ben melupakan bagian itu.

“Udah bangun?”

Suara berat mengagetkan. Zain berdiri di ambang pintu menggunakan kaus tanpa lengan sementara trening panjang membalut, pria itu selalu saja tampan. Rasanya baru dua kali bertemu namun Ben sudah jatuh cinta. Siapa tak terpikat pada kebaikan dan wajah, pelan-pelan pria yang di duga gizi buruk itu akan menjilat. Rencananya.

Senyumnya kontan merekah. Melihat Zain, mirip seperti malaikat dengan sayap tinggi dengan naungan luar biasa, Ben terlalu cepat menyimpulkan, pun lupa rahangnya sakit luar biasa hasil ulah siapa.

“Makan, abis makan gua tunggu di ring”

Berlalu setelah mengatakan beberapa kata, Ben kembali di buat terperangah ketika beberapa pelayan masuk dalam kamar membawakan berbagai olahan. Benar-benar banyak hingga satu meja bundar yang berada dalam bilik itu penuh, lengkap dengan buah dan segala hidangan penutup yang terlihat indah dan lezat. Tanpa menunggu, Ben melahap dengan semangat.

Terbangun dari tidur dan langsung di suguhi berbagai makanan. Bukankah ini surga? Gila, Ben akan menangis jika ini hanya mimpi. Hanya berharap mati saja ketimbang kembali bangun dalam kubangan terpal panas dengan rasa lapar yang membelenggu. Satu malam terbaring di atas ranjang mahal membuatnya banyak berharap pada kehidupan. Bukan apa-apa, alasan untuk terus bertahan hidup sudah terpenuhi, jika hari ini adalah hari kematiannya, Ben tidak masalah.

Sejauh ini, makanan adalah surga. Ben tidak menemukan apa-apa lagi selain makanan lezat, hari tanpa pukulan dan caci maki, lalu tidur nyenyak tanpa perut lapar. Kemarin, rasanya semua impian menjadi kenyataan hingga hari ini.

Masih khidmat, malah rencananya tidak ingin beranjak sebelum perutnya meledak, Ben mengunyah semua hal.

Hingga ketika semua makanan terasa seperti akan kembali di keluarkan. Ben mual.

Sial, padahal masih banyak.

                         **

Para pelayan membawanya pada suatu ruang dengan minim cahaya namun tidak gelap, sangat kontras dengan isi. Itu adalah ring tinju.

Zain berdiri di sana dan sesekali memukul samsak. Ototnya besar dengan keringat menyelubung membuat tubuhnya tampak mengkilap sangat indah. Melihat kedatangannya, pria itu menghentikan aktivitas lalu memberi isyarat agar Ben mendekat.

“Pakai pelindung, gua bakal agak keras” Melempar dua sarung tinju berwarna biru terang yang langsung tertangkap. Ben bahkan bingung bagaimana caran menggunakannya.

“Masukkin tangan lu dan di kait itunya” Mendekat dan memperlihatkan cara memakai, Ben mengangguk sebentar lalu memakaikan pada lengan satu lagi ketika sudah mengerti.

“Makasih kak” Tersenyum sekali lagi sebelum Zain melempar satu serangan yang berhasil membuat pria kecil itu tumbang terpental beberapa meter. Sangat keras dan tentu saja menyakitkan, beruntung helm sudah terpakai dan cedera pada wajah tidak akan terlalu parah.

BIG PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang