EPISODE EMPAT

236 14 5
                                        

"Luka-luka yang di dapat, setimpal dengan apa yang sudah di berikan. Ku pikir ini adalah pelajaran, alih-alih sebuah kekerasan. Sudah terlalu lama, barangkali resistensi yang ku maksud telah ku rasakan tanpa sadar. Zain, pria itu memiliki dua sisi, namun bukankah semua manusia memiliki sisi berlawanan? Entah, tapi jika di beri kesempatan, aku ingin meninju wajah tampannya, sekali saja."

DUA TAHUN BERLALU.

Tepat di penghujung sekolah menengah pertama. Bukan, lebih tepatnya berakhir hari ini. Acara perpisahan dengan segala kemeriahan yang menyelubungi tiap sudut lapangan. Panggung di hias seindah mungkin sementara para adik-adik kelas membawakan beragam kesenian serta hiburan.

Pelepasan siswa-siswi kelas sembilan berakhir menyenangkan dan sedikit haru, sepertinya. Memang tak terlalu spesial mengingat Ben sendiri tak memiliki teman akrab yang bisa menjadi alasan untuk menitikan air mata berharu-biru. Atau setidaknya perasaan sama yang di rasakan teman-temannya kebanyakan, Nyatanya tidak.

Pria itu terduduk di pojokkan sambil mendekap satu karangan bunga yang di bagikan secara gratis dari sekolah sebagai buah tangan pelepasan. Seluruh murid membawa orang tua atau wali kecuali diri. Namun itu pun bukan sesuatu yang membebani. Ben tak ambil pusing. Hanya melamun tanpa seorang pun yang bisa di ajak bicara, tak masalah baginya.

Sibuk, netra itu masih serius mengamati orang-orang yang berjoget mirip gerakkan memompa ban bocor di atas panggung. Mereka di rias secantik mungkin, para adik-adik kelas. Mereka bekerja keras untuk sesuatu yang terlihat tidak terlalu baik.

Memang agak membosankan

Bagian ajaib dalam hidupnya setelah mendapat penghidupan yang layak adalah, Zain tak pernah memberinya ponsel. Untuk meminta akan terasa sangat mustahil, pun uang jajan yang di kumpulkan tak berani ia belikan benda itu. Hanya tak berani, karna sudah jelas akan seperti apa akhirnya.

Selain berlatih bela diri, Ben juga di sibukkan menerka perasaan seseorang. Zain, seperti biasa. Hari-hari indahnya ikut di pengaruhi oleh perasaan pria tampan pemilik rumah. Resistensi hanya omong kosong, di pukul tetaplah sakit. Meski sudah dua tahun berlalu, nyatanya Ben tak kunjung mampu mengangkat kepala di hadapan pria tampan itu.

Masih sibuk dengan isi kepala, sementara tangannya jahil mencabuti bunga dalam genggaman hingga berguguran beberapa tangkai. Sedetik, Ben di kagetkan oleh tepukan pundak sekilas bersamaan dengan bokong yang merebah pada kursi tepat di sebela. Itu Zain.

"Gua telat ya? Sibuk banget abang de"

Terkekeh sedikit ketika berhasil menekan kata 'de' pria itu membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegap dan keren. Ben hanya diam. Tak tahu pula harus bereaksi seperti apa atas kedatangan tanpa di minta. Tanpa wali-pun acara akan berjalan dan Ben tetap baik-baik saja. Kehadiran Zain hanya menambah beban dengan perilaku dan perasaan yang canggung. Dua tahun lebih hidup bersama, keduanya tak ada rencana untuk hidup akur dan damai layaknya teman, kakak beradik atau apa pun yang sekiranya terlihat akrab dan dekat.

"Selamat Ben. Mulai hari ini lu bisa keluar dari rumah gua. Pakaian dan segala tetek bengek penunjang kehidupan udah gua pindahin semua ke rumah kos baru. Sekarang lu bisa hidup liar dan bebas. Cari kehiupan yang lebih keren dan estetik, gua taro uang buat biaya lu dua bulan ke depan, di dalam lemari paling tengah"

Mengoceh tiba-tiba. Ben mendelik dengan bola mata yang seperti akan keluar. Sangat tak terduga dan terjadi dadakan, entah mengapa kegiatan ramai ini menjadi menyedihkan. acara yang sebentar lagi akan berakhir, baru berhasil memberikan viberasi perpisahan. Sedetik acara itu mampu membuatnya ingin menangis dengan rasa kehilangan yang pelan-pelan menyeruak memenuhi dada. Tapi bukan pada teman-teman sekolah, lebih tepatnya pada pria dewasa di sampingnya. Ini terasa agak ambigu, hatinya.

BIG PAPATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang