Bab 1: Patah Hati, Lagi?

1 0 0
                                    

Jangan lupa follow, vote, dan commentnya ya guys, makasihh

Happy reading

***

"Gue mau nikah, Bim!" ucap seorang perempuan dengan wajah sayu namun mata penuh binar itu. Tak terlihat bahwa si wanita mampu menangkap ekspresi terkejut dari seorang pria berkacamata yang tak biasanya berpenampilan rapi dan menyisir rambut ikalnya ke belakang dengan pomade, sore ini.

Saking antusiasnya, perempuan itu sampai lupa untuk bertanya, 'Apa yang spesial sampai-sampai kawan baiknya itu berpenampilan keren dan rapi seperti hari ini?'

"Ap-apa, Mut?" walaupun berusaha untuk tetap biasa saja menanggapi, getar dalam nada suara lelaki itu tak mampu disembunyikan.

"Ya, Bim, sahabat lo ini, bentar lagi akan nikah! Gue dilamar! Sama Kak Gio!" katanya lagi dengan senyum merekah sembari menunjukan sebuah cincin kecil dengan batu kristal cantik yang melingkar di jari manisnya. Dari kilaunya saja, sudah dapat Bima simpulkan betapa mahalnya harga cincin bertahta batu kristal berwarna merah rubi itu. Cincin itu juga yang sekaligus menyadarkan Bima soal 'di mana tempatnya berada' yang tak akan pernah bisa menyaingi Gio dalam hal apapun, termasuk membahagiakan perempuan cantik di hadapannya kini.

"Bentar lagi gue bakal jadi Nyonya Abraham. Impian gue akan segera terwujud. Gue bakal jadi kaya dan populer!" rambut merahnya menari ditiup anak-anak angin.

"Kok lo keliatan gak seneng sih?" dia bertanya ketika melihat respon sahabat baiknya yang hanya diam saja. Mutia, perempuan itu entah terlalu polos atau terlalu bodoh sampai ia kehilangan insting yang biasanya dimiliki oleh setiap wanita untuk 'Peka terhadap apapun'. Apakah kode-kode yang diberikan Bima tidak cukup, ataukah pengorbanannya selama ini yang kurang, sehingga Mutia tak pernah bisa menangkap sinyal bahwa selama ini ada seorang lelaki yang diam-diam sangat mencintainya?

"A-aku seneng kok," Bima menunduk, bibir bawahnya sengaja ia gigit agar Mutia, gadis yang dicintainya diam-diam selama 17 tahun itu tak curiga dengan perubahan intonasi suaranya yang bergetar. Bagaimanapun, sehancur apapun hati Bima saat ini, ia tak akan pernah tega membuat Mutia kecewa.

Bima, entah apa yang salah dengan lelaki itu, sampai pada akhirnya, ia kecewa akan sebuah rasa yang seharusnya memberi kebahagiaan pada manusia. Rasa cinta. Bukankah rasa itu selalu diagung-agungkan oleh seluruh manusia, pun para pujangga yang tak pernah alpha mengambil tema 'Cinta' dalam puisi dan syair buatannya? Bukankah di dalam cerita atau layar kaca, cinta selalu digambarkan dengan perasaan merah muda, membara, dan bahagia? Lalu kenapa perasaan itu malah berkebalikan untuk Bima?

Apakah karena Bima terlalu pengecut, sampai-sampai dia mampu bertarung selama belasan tahun dengan hatinya sendiri dan lebih memilih memangkas habis kemauannya untuk bisa jujur pada sahabat yang sangat-sangat ia cintai itu?

Ataukah semua pengorbanan yang Bima lakukan kurang, sehingga sahabatnya itu hanya menganggap semua kebaikan yang telah Bima lakukan kepadanya, hanyalah karena Bima yang terlalu baik pada semua manusia dan tidak mempunyai maksud lain di baliknya?

Apakah mata coklat Bima yang selalu berbinar ketika menatap Mutia, belum cukup mampu membuat gadis itu sadar bahwa rasa sayang yang selalu dikatakan Bima padanya, bukan hanya rasa sayang sebagai seorang sahabat, melainkan lebih?

"Tapi kok lo daritadi diem aja?"

"Aku cuman kaget aja, kok tiba-tiba, bukannya terakhir kali kamu bilang kalau kamu udah nyerah sama dia?" masih teringat jelas bagaimana terisaknya gadis itu beberapa minggu lalu, ketika datang kepadanya dengan tangan penuh memar dan cerita menyedihkan tentang perilaku buruk pacarnya kepadanya. Bima bahkan masih mengingat rasa sakit di hatinya ketika melihat perempuan yang dicintainya itu begitu terluka oleh tindakan pacarnya.

LELAKI HIJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang