Bab 2: That Should Be Me

0 0 0
                                    

Follow, Comment, dan Votenya jangan lupa ya guyss :)

Happy Reading..

***

"Cantik," seorang pria dengan jas hitam, dan dasi kupu-kupu, nampak berdiri di bingkai pintu dengan tangan yang menyilang di depan dada dan tubuh yang bersandar pada salah satu kayu penyangga pintu. Pria itu terlihat tampan dengan senyum merekahnya, sembari melihat seorang gadis dengan gaun putih yang nampak sedang dipasangi mahkota kecil dan bunga mawar putih di rambutnya.

"Gue tahu, dari dulu gue emang cewek paling cantik sejagad raya," kekehannya tanpa berbalik, namun dari arah matanya, gadis itu nampak menatap tepat ke arah pria tadi melalui cermin rias di hadapannya.

"Heran gue, selama ini lo baru nyadar kalau gue ini cantik?" tingkat kepedean Mutia memang tak perlu diragukan lagi. Salahkan Bima yang seakan memberi 'makan' ego gadis itu melalui pujian yang dilontarkannya barusan.

"Lama banget sih, udah mau telat nih acaranya."

"Sabar napa, lagian ini bukan lagi di sekolah Bim. Bukan juga bagian matpelnya Bu Nova sampe-sampe kita harus dateng tepat waktu. Ini acara gue. Jadi santai aja," Mutia dan sifat keras kepalanya memang sudah mendarah daging, sulit untuk dipisahkan.

"Mbak, kayaknya eyeliner-nya panjang sebelah deh," protesnya lagi padahal waktu sudah menunjukan jam tujuh lebih delapan menit, sedangkan di undangan, acara pernikahan seharusnya dimulai dari jam tujuh pas.

"Lipstiknya juga kurang menyala Mbak, gue kayak keliatan pucet. Touch up lagi sampe bibir gue merah merekah kayak abis makan darah!" katanya lagi kepada MUA yang saking sudah capeknya mendengar komplen dari clientnya yang kelewat cerewet itu, sampai-sampai sudah kehabisan kata-kata untuk menyanggah dan hanya bisa mengangguk sambil geleng-geleng kepala.

Akhirnya, lima belas menit sudah Bima berdiri di pintu sembari memperhatikan MUA yang entah melakukan apa pada mata Mutia. Mbak-mbak berhijab itu nampak dengan wajah kesal menggambar garis pada mata Mutia, dan menambahkan pewarna merah pada bibir gadis itu.

Sebenarnya ingin sekali Bima protes, pasalnya tanpa menggunakan riasan setebal itu pun, Mutia tetaplah cantik. Perempuan paling cantik di mata Bima, sayangnya Mutia sama sekali tak tahu soal betapa sempurnanya ia dalam pandangan Bima.

"Woy, ayok!"

Bima terkejut, ketika mengetahui gadis itu sudah berdiri di hadapannya. Bima kembali ke alam sadarnya, setelah sebelumnya ia tenggelam dalam pesona Mutia yang sangat-sangat memabukan. Lihatlah dia, Mutia sangat-sangat cantik dengan balutan gaun putih, dan hiasan kepala yang indah di rambutnya. Wangi tubuhnya menyeruak, wangi bunga, wangi khas pengantin-pengantin, wangi khas manusia yang tengah berbahagia. Mutia itu cantik, dan Bima tak menerima bantahan atas pernyataannya itu. Mutia itu cantik. Akan selalu tetap yang tercantik di mata Bima. Tak peduli dengan ataupun tanpa riasan sekalipun.

"Tadi nyuruh buru-buru, sekarang gue udah beres, lo-nya malah ngelamun," perempuan itu tersenyum, yang langsung menyengat bibir Bima untuk ikut tersenyum mengikutinya.

"Udah siap?" Bima membuka tangan kirinya, sengaja memberi ruang untuk tangan Mutia agar masuk dan mendekap erat tangan pria itu.

"Siap dong." Tanpa lama-lama, Mutia menyelipkan tangan kanannya. Dengan senyum merekah, dua insan manusia itu membuka pintu, sebuah pintu yang menjadi saksi bahwa kisah baru, dan lembaran baru dalam kehidupan dua anak manusia itu akan segera dimulai.

***

"Liat Bim, ini semua sesuai sama mimpi gue! Impian gue akhirnya jadi nyata Bim!"

Mutia berkata antusias, sambil sesekali melambaikan tangan pada beberapa tamu yang hadir di acara itu.

"Gaun mahal, riasan cantik, gedung megah, pernikahan mewah, dan suami yang kaya, tampan dan sempurna," gadis itu kembali tersenyum, wajahnya sengaja ia dongakan untuk merasakan sensasi jatuhnya kelopak bunga mawar yang sengaja dilemparkan para tamu dari sisi kanan dan kiri mereka.

"Ini sesuai sama mimpi gue, Bim!"

"Ya Mute, ini juga sesuai sama mimpiku."

Bima ikut tersenyum, namun ada sesuatu yang ganjil dari senyum itu.

Sambil terus berjalan mendampingi Mutia, Bima menatap sekeliling. Pernikahan ini benar-benar sempurna. Semua acara tersusun dengan baik dan luar biasa. Para tamu yang hadir dengan dandanan dan style yang berkelas, menunjukan betapa tinggi status sosial yang mereka punya. Gedung mewah dengan atap tinggi-tinggi, dan gorden lebar bak istana di cerita-cerita yang sering Bima dengarkan sewaktu kecil. Hiasan lilin-lilin, gelas kaca, lampu gantung kristal raksasa, bunga-bunga yang memenuhi seluruh aula yang seakan menyulap ruangan di hotel bintang lima ini serupa taman bunga warna-warni. Semua ini begitu sempurna. Sangat sesuai dengan pernikahan impian yang selalu gadis itu ceritakan bahkan sejak mereka kecil dulu.

Bima tak bohong tatkala mengatakan bahwa semua ini juga sesuai dengan mimpinya. Mimpi pria itu memang tak sedetail pernikahan impian milik Mutia. Wedding dream ala Bima teramat sangat sederhana.

Bima hanya ingin berjalan beriringan menuju altar, bersama orang yang dicintainya dan mencintainya. Itu saja.

Dan semua itu sudah terwujud hari ini. Bima bisa mendekap seorang perempuan yang sangat-sangat dicintainya. Bisa berjalan berdampingan dengan Mutia menuju altar, disambut riuh rendah suara tepuk tangan dan hujanan kelopak mawar.

Mimpi terindah apalagi yang bisa Bima mimpikan. Semua ini sempurna, kelewat sempurna malah. Apa yang menjadikan semua ini sempurna, tentu karena bersama Mutia. Bahkan jika pernikahan ini terjadi tanpa gedung megah, dekorasi mewah, dan semua pernak-pernik ekslusif lainnya pun, asalkan bersama Mutia, mau nikah di KUA pun Bima tak keberatan.

Tapi lain kali tolong ingatkan Bima untuk lebih menspesifikkan doanya, karena bisa jadi malaikat penadah do'a salah menyampaikan maksud doa'nya pada Sang Pencipta. Bima memang selalu melangitkan mimpi itu, tapi sayangnya, dia lupa menyebutkan nama perempuan yang ingin dia bersamai dalam pernikahan impiannya.

Bima lupa memperinci hal itu.

Padahal, mimpi Bima hampir saja terwujud, jika saja matanya tidak bersitatap dengan mata elang milik seorang pria yang menatap tajam ke arahnya. Pria dengan jas putih itu tiba-tiba turun dari tangga altar dengan wajah memerah, berjalan mendekati Mutia dan Bima yang sedang bahagia-bahagianya.

"Jangan lewatin batasan lo!" Pria itu menatap angkuh pada Bima yang berada di hadapannya. "Sadar diri tempat lo bukan di sini!" katanya lagi sambil menatap Mutia yang masih setia berdiri di samping sahabatnya.

"Udah dong, Yang, ini semua kan sudah kita bahas. Kesepakatan kita kalau Bima yang bakalan antar aku ke altar. Dia sahabat aku!" Mutia mencoba membujuk, tapi pria itu mana mau mendengar. Si pria tempramental yang sudah sedia mengepalkan tangannya untuk meninju Bima itu sama sekali tak mau mendnegar kata siapapun, termasuk dari Mutia, sang calon istri.

"Lo nganggap dia sahabat, tapi apa dia juga nganggap lo hanya sebatas sahabat?" tantangnya sambil menatap nyalang pada Bima yang hanya diam membisu. Perkataan Gio telak menamparnya, dan Bima tak bisa membalasnya. Semua yang Gio katakan adalah kebenaran yang tak terelakan, dan Bima tak punya lagi alasan untuk menyanggahnya.

"Maksudnya?"

Gio hanya tersenyum kecil, lalu tanpa ba-bi-bu, dia menarik tangan Mutia, dan menyeretnya paksa menuju altar pernikahan.

"Bangun! Ini bukan mimpi punya lo. Tangan yang lo genggam ini, calon istri gue!"

***

Pernah ada di posisi Bima? Semoga jangan yaa..

Tapi kalau pernah, boleh cerita, tersanjung sekali aku bisa membaca kisah-kisah yang membuktikan betapa berani, kuat, dan lapangnya hati kalian saat berada di posisi yang sama. Tapi tentunya, jika punya kuasa, aku berharap jangan sampai ada di antara kalian yang mengalami hal yang sama seperti Bima.

Semoga aku, kamu, dan kalian semua selalu bertemu dengan seseorang yang mampu memberi balasan perasaan yang sama. Biar setara cintanya, berbalas sayangnya.

Aamiin..

Segitu dulu ya, selamat pagi/siang/malam semuanyaa


-Biafaa


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LELAKI HIJAUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang