Tuan muda

78 17 2
                                    

Atmosfer di ruangan itu langsung membuat seseorang bergidik ngeri, Aneesha duduk dengan anggun pada brankar rumah sakit. Wanita muda itu juga menggendong Akmal, dan sesekali menimang bayi mungil itu. Sorot matanya menatap Syarifa dengan tajam, membuat bulu kuduk gadis itu terangkat.

"Maaf." Semua mata yang tadinya tertunduk pun langsung terdongak semuanya.

"Maaf jika tiba-tiba menyuruh dirimu untuk datang ke sini, tapi, apa yang kemarin itu masih berlaku?" ujar Aneesha dengan penuh harap.

Yang lainnya hanya menyimak, juga merasa penasaran dengan pembicaraan Aneesha dan Syafira itu.

"Masih." Syafira tersenyum lembut.

"Syukurlah." Aneesha menghela napasnya.

Faris dan lainnya memasang wajah masam, karena tak berhasil mengetahui apa yang sedang mereka bahas. Ingin mengeluarkan kalimat protes, tetapi Halwa sudah mencubit lengan Kahfi, membuat sang empu melotot.

"Sini, gendong bayinya." Aneesha menyodorkan Akmal pada Syafira.

"MasyaAllah tabarakallah, tampan sekali." Bayi mungil itu mengeliat kecil.

---

Beberapa hari berlalu, kini Aneesha telah di perbolehkan pulang. Aneesha juga telah mengajukan perjanjian dengan Syafira, entah kenapa sejak hamil 8 bulan, dirinya selalu merasa resah.

"Semoga nantinya selalu berjalan seperti yang engkau ridhoi ya Allah."

Aneesha seperti orang pasrah dengan keadaan, tubuhnya makin hari makin terasa beratnya. Tanpa sadar Aneesha melamun, membuat Faris yang ada di ruangan yang sama pun merasa heran dengan tingkah istrinya yang makin hari makin menjadi pendiam.

"Kamu kenapa?" Laki-laki itu memilih untuk bertanya langsung, mendekat ke arah Aneesha.

Hening, Aneesha masih tenang bersama khayalannya sendiri.

"Sayang? Kamu kenapa?" tanya Faris sekali lagi.

Aneesha tersentak, kemudian raut wajah itu terlihat sendu.

"Kalau aku ngga ada, kamu bakalan nikah lagi gak?" tanya Aneesha.

Faris memegang tangan istrinya, menyalurkan rasa sayang lewat genggaman tangannya. Matanya yang tajam menatap sorot mata istrinya yang terlihat seperti akan mengeluarkan air matanya. Faris tersenyum lembut, tangannya terulur tuk membelai pipi istri kecilnya dengan lembut.

"InsyaAllah, tidak. Kita di pertemukan Allah atas Ridho-Nya, dan jika boleh memilih, aku juga ingin terus bersama dengan kamu. Meski nantinya kita akan berpisah, entah itu aku ataupun kamu duluan yang berpulang. InsyaAllah, istriku hanya satu, dan itu kamu."

Faris memeluk tubuh Aneesha, tak memperdulikan bayi mereka yang kini terusik dari tidurnya. Sungguh, ucapan Aneesha membuat dirinya sangat ketakutan. Takut jika dirinya harus merasakan kehilangan lagi, cukup waktu itu saja, dia berharap kali ini tidak.

"Kamu geser dikit, kasian Akmal harus kegencet tubuh kecilnya."

"Maaf, maaf!" Faris refleks menjauhkan tubuhnya.

Aneesha terkekeh, otak kecilnya itu berusaha mencairkan suasana yang sedari tadi sedih.

"Kamu ingin panggil akmal apa kalau nantinya dia besar?" ucap Aneesha, ingin tahu.

"Akmal saja, memangnya mau di panggil apa?" Faris bingung dengan pertanyaan yang di lontarkan oleh istrinya.

"Tuan muda Akmal."

Faris menagan tawanya, sungguh pemikiran istrinya ini sangat di luar nalar. Dirinya bukan orang kaya, punya mobil dan rumah mendiang ayah dan ibunya saja sudah sangat dia syukuri. Walaupun dia tau bahwa Kahfi merupakan orang yang lebih tinggi darinya sendiri, tetapi Faris ingin terlalu mengakui, karena memang bukan hartanya sendiri.

"Kamu kira aku orang kaya?" tanya Faris.

"Memang harus kaya dulu baru di panggil tuan muda?" tanya Aneesha.

"Terserah kamu sajalah." Faris lelah berdebat dengan istrinya.

"Mau bikin dokumentasi ngga?" tanya Aneesha lagi.

"Dokumentasi apa sih sayang? Kamu kenapa jadi makin aneh begini? Apa aku suruh abi ubah nama kamu aja ya? Biar gak jadi Anehsa?"

Aneesha yang mendengarnya langsung mengerucutkan bibirnya, enak saja namanya di ganti-ganti begitu? Mana di ganti menjadi Anehsa? Memang seaneh apa dirinya?

Faris geleng-geleng kepala, laki-laki itu berjalan menjauh, meletakkan ponselnya pada nakas yang ada di seberang brankar tempat Aneesha saat ini. Setelah menyandarkan ponselnya, laki-laki itu langsung mendekat kembali pada istrinya.

"Assalamu'alaikum, halo, tuan muda Akmal." Aneesha terkekeh mendengar ucapannya sendiri, begitu juga dengan Faris.

"Ini abi nak, dan wanita di samping abi ini adalahlah ummamu. Video ini kita ambil tepat saat umma akan keluar dari rumah sakit, juga ini merupakan hari ketiga kamu lahir ke dunia." Faris menitikkan air matanya.

"Gimana nak? Dunia memang seindah itu kah?" sela Aneesha, membuat mata Faris membola.

"Dunia memang indah, jika kita menaati aturannya. Semoga kelak kamu menjadi anak sholeh seperti harapan abi dan umma saat memintamu untuk hadir di perut ummamu. Kami bahagia, sungguh bahagia. Kehadiran kamu, membawa kabar gembira bagi yang merayakan, termasuk kami berdua."

Faris menyerahkannya putranya pada Aneesha, dan di terima baik oleh Aneesha. Wanita itu menegakkan tubuh putranya, menghadap ke arah kamera, mengecup pipi kiri putranya, kemudian di ikuti oleh Faris yang mengecup bagian kirinya.

Suara pintu terbuka menganggu kegiatan mereka berdua, sedangakan seseorang yang berada di pintu ruangan pun menatap malas keduanya.

"Di tungguin lama-lama, malah bucin disini. Ayo pulang! Bucinnya nanti aja di rumah!" Kahfi mendengus kesal.

Dirinya dan Halwa rela menunggu di luar selama 20 menit, yang di tunggu justru asik bermesraan!

"Iya-iya, abi." Keduanya langsung mengangguk patuh.

---

Sebuah mobil berwarna kucing, memasuki halaman rumah Kahfi. Ya, itu mobil Kahfi, pria itu sengaja menyuruh Faris dan Aneesha tinggal di sini untuk beberapa hari. Lagipula rumah Kahfi lebih dekat dengan pondok daripada rumah Faris sendiri.  Terlebih lagi beberapa hari lagi, akan ada acara pernikahan Aqila yang di selenggarakan di pondok, tepat tanggal 24 april, yaitu 2 hari lagi.

"Kangen sekali aku sama rumah ini."

"Heh, bukannya kemarin kamu ke sini?" Halwa menatap Aneesha malas.  Putrinya ini memang banyak drama.

Aneesha menyengir di balik cadarnya, sungguh dirinya lupa akan hal itu.

"Apa kamarku masih sama?" tanya Aneesha, sungguh sangat terdengar aneh di telinga Halwa.

"Ya iyalah! Gimana sih? Kan kamunya aja keluar, gimana mau kamar itu berubah?"

Kahfi dan Faris tersenyum kecut, sungguh dua orang ini kalau di satukan, hancur dunia.

"Kalau bisa jangan di ganti ya, umma. Biar nanti Aneesha sering mampir ke sini, itu pun kalau Aneesha bisa sih."

"Udah, udah, makin ngaco kamu!" Halwa menyeret putrinya.

---

Living With Mas Santri [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang