04 Molenvliet

735 80 26
                                        

"Hai..."

"Anda?"

Leon tidak bisa melanjutkan obrolan lebih panjang dengan perempuan itu. Seakan semua kata yang dikuasai tidak bisa dia rangkai satu sama lain untuk menyatakan apa yang ia pikirkan. Tiba-tiba saja dia menjadi gugup. Lidahnya kelu saat bertemu lagi dengan perempuan itu.

Sedangkan Imah, meski kaget dengan kehadiran pemuda yang pernah ia temui di Rumah Bola, dia dengan sigap melayani pengiriman surat seperti semestinya. Mencatatnya, kemudian meminta cap jempol sebagai tanda terima. Pelayanan yang sama seperti pada banyak pengguna jasa pos lainnya.

"Terima kasih sudah menolong saya malam itu. Ah, saya Leon," ujar Leon sambil mengulurkan tangan saat akhirnya bisa bersuara setelah urusannya selesai. Dia berharap bisa memperpanjang obrolan mereka.

Sayangnya, Imah tidak menggubris uluran tangan itu. Perempuan itu menolaknya dengan berucap, "Maaf, antrian lainnya sudah menunggu."

Leon tampak kecewa. Sepertinya Imah sama sekali tidak mengacuhkannya. Leon sedikit heran, dia terbiasa melihat gelagat perempuan yang seakan terpukau akan paras campurannya yang lebih menonjol, atau mungkin kedudukannya. Tapi Imah memperlakukannya sama seperti laki-laki biasa lainnya.

"Silahkan antrian selanjutnya," kata Imah sedikit lantang.

Leon tidak bisa bertahan lama di tempatnya berdiri, orang di belakangnya sudah menatapnya dengan pandangan tidak mengenakkan. Dia bergeser, sambil memandang Imah sekali lagi. Perempuan itu benar-benar tidak menggubris kehadirannya di sana, sama sekali.

Kekecewaan Leon dua minggu yang lalu itu tidak membuat rasa penasaran akan perempuan bernama Imah surut. Kemarin, dia mendapat surat balasan dari Ibunya, Leon segera menulis surat balasan lagi. Dan segera membawa surat itu ke Kantor Pos sendiri. Tidak sekedar menyuruh dua orang pelayannya, meskipun dua orang itu tetap ikut ke Kantor Pos.

"Biar kami saja, Tuan," ujar Ali menawarkan diri.

"Bang, bukan itu alasannya. Masa kau tidak mengerti," timpal Joseph.

"Ah, si gadis Kantor Pos itu. Habislah kesempatan kita, Bang Jo," seloroh Ali.

"Hush, sopan kau begitu, Bang. Mudah sekali kau berpaling dari anak Pak Komar," pekik Joseph.

"Jangan gitu lah, Bang. Dia tetap pujaan hatiku nomor satu. Gadis Kantor Pos itu, ah siapa namanya?"

"Imah kata Tuan Leon. Bagaimana kau bisa lupa, Tuan Leon sering sekali menyebutkannya," tukas Joseph ketus.

"Sudah kubilang, anak Pak Komar nomor satu," ujar Ali dengan senyum lebar.

Leon hanya tersenyum melihat gurauan dua orang yang mengiringi langkahnya menuju mobil yang akan membawa mereka ke Kantor Pos. Bahkan dua orang itu mengerti kenapa dia begitu bersemangat pagi itu. Iya, Leon ingin bertemu dengan Imah, gadis Kantor Pos itu, lagi.

Sayangnya, setelah mereka sampai di Kantor Pos. Leon dibuat kecewa lagi. Dia sibuk menengok kesana kemari di setiap sudut ruangan Kantor Pos, tapi dia tidak menemukan sosok yang menjadi tujuannya. Gelagatnya mencuri perhatian orang-orang. Kehadiran Leon di tengah jongos-jongos yang disuruh tuan masing-masing saja sudah mencurigakan. Apalagi dengan kelakuannya yang aneh itu.

Joseph sudah berdiri dalam barisan, menyelamatkan antrian. Membuat Leon sedikit bebas berjalan untuk mencari. Dia berpikir mungkin Imah sedang bertugas di ruangan yang lain. Atau mungkin sedang beristirahat. Sampai akhirnya Ali yang berinisiatif untuk bertanya pada petugas Kantor Pos yang lain.

"Dia libur hari ini, Tuan," kata Ali setengah berbisik. Tidak mau menarik perhatian orang-orang.

Leon mendengus, benar-benar kecewa. Dia menyerahkan suratnya pada Joseph kemudian berlalu. "Aku pergi dulu," ujar Leon sebelum keluar dari Kantor Pos, diikuti Ali di belakangnya. Tidak ada yang perlu dilakukannya di tempat itu lagi.

Toko Merah [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang