Satu jam kemudian, seketika langit berubah menjadi gelap. Awan hitam mulai bermunculan. Hujan pun mengguyur dengan deras. Tugas kelompok kami sudah selesai. Namun kami tidak bisa pulang karena situasi. Untung Rika punya payung di rumahnya. Sedangkan Adit malah pulang dahulu dan berencana menerjang hujan.
"Dit! Nanti kau sakit!" tegas Dika.
"Tidak apa-apa. Aku tidak akan sakit. Sampai jumpa!" Lalu Adit keluar dari rumah. Ia tidak menghiraukan itu.
Rika pun kembali membawa payung. "Ini payungnya, teman-teman! Lo? mana Adit?"
"Dia sudah pulang barusan ..." jawab Dika sambil bermain ponsel.
"Hujan deras begini? Dasar!" Rika menggeleng-geleng kepalanya.
Langit makin gelap. Hujan juga belum mereda. Aku pun meminjam payung Rika karena aku harus segera pulang. "Ya! Jangan lupa besok dikembalikan," pesannya. Aku pulang dahulu. Sementara Dika dan Yuna masih menetap.
Di luar, ternyata udara sangat dingin. Angin bertiup kencang hingga air hujan mulai membahasi tubuhku. Aku terus berjalan di bawah hujan. Berharap cepat tiba di rumah. Aku yakin ibu mengkhawatirkanku.
Di tengah perjalanan, mataku tidak luput melihat keadaan sekitar. Walaupun cuaca tidak mendukung, banyak kulihat orang yang masih bertahan di bawah derasnya hujan. Bertahan karena pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Aku melihat seorang Bapak sedang mengutip buah yang jatuh dari genggamannya. Tanpa pikir panjang, aku langsung turun tangan. Kuletakkan payung lalu membantunya mengutip. Ketika selesai, ia memberiku upah. Aku menolak pemberiannya karena aku ikhlas melakukan ini dan atas kemauanku sendiri.
Aku pun melanjutkan perjalanan menuju rumah. Belum jauh dari tempat sebelumnya, aku melihat Bibi Eva kesulitan mengangkat kotak di teras rumahnya. Aku langsung mendekatinya karena aku tahu ia pasti membutuhkan bantuan.
"Bibi!"
Bibi Eva mengangkat kepalanya. "Ah ... Irfan rupanya." Melihatku lalu berdiri.
"Ada yang bisa saya bantu, Bi?"
"Fan, tolong pindahkan kotak ini ke dalam rumah, ya ... Nanti takutnya basah. Bibi tidak kuat mengangkatnya," pintanya.
"Oh, oke!" Aku meletakkan payung lalu mengangkat kotak-kotak tersebut masuk ke dalam rumahnya hingga selesai.
"Terima kasih ya, Nak!"
"Ya. Sama-sama, Bi." Senyumku. Lalu aku pergi melanjutkan perjalanan pulang.
Bibi Eva adalah seorang pedagang langganan ibuku. Ia juga menyimpan barang-barang bekas yang nantinya akan dijual ke orang lain. Aku selalu menjual botol-botol, koran dan kaleng bekas ke Bibi Eva untuk mendapat penghasilan tambahan.
Aku tidak menyangka sudah menolong dua orang dalam perjalanan pulang kali ini. Dalam satu hari saja, kurang lebih aku sudah lima kali mendengar kata 'Terima kasih'. Belum lagi hari-hari yang lalu dan hari esok. Entah berapa banyak kebaikan yang sudah kusalurkan.
Hujan masih mengguyur lumayan deras. Aku terus berjalan sambil melihat kanan dan kiri. Tiba-tiba aku melihat seorang Anak Perempuan sedang duduk di pinggir jalan. Sepertinya ia memerlukan bantuan. "Mungkin ini yang ketiga!" Lalu aku menghampiri anak itu.
Setelah tiba di depan Anak Perempuan itu, sepintas aku merasa kasihan dengannya. Duduk di bawah derasnya hujan dengan kepala menunduk dan tangan kiri mendekap kedua kakinya, berpakaian lusuh, telapak tangan kanannya terbuka ke atas seperti hendak meminta sesuatu. Kusentuh telapak tangan Anak Perempuan itu. Tangannya sangat dingin dan lembut. Ia menggigil kedinginan sampai tangannya pucat. Kemudian kusodorkan payung ke atasnya. Sontak Anak Perempuan itu terkejut dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Like Your Eyes "Indah, You Don't Close Your Eyes Again, Right?"
De TodoIrfan Pratama adalah seorang anak laki-laki biasa yang suka membantu orang lain. Karena kebaikannya itu, ia cukup dikenal banyak orang di sekitarnya. Suatu hari, ia menolong seorang anak perempuan yang terlantar. Namanya Indah Permata Ayu. Ternyata...