Beberapa hari kemudian setelah kami pergi berlibur, seperti biasa Indah bangun lebih awal dariku agar ia bisa membantu Ibu menyiapkan sarapan. "Indah, kenapa kamu selalu cepat kalau bangun tidur?" tanyaku ketika turun dari tangga.
"Ya ... mana aku tahu ..." jawab Indah santai.
"Fan, mari sarapan dahulu!" ajak Ibu.
"Oh, iya! Maaf tidak membantu ...."
Kami pun menyantap sarapan bersama. Setelah selesai, Ibu menyuruhku mengantar botol-botol bekas di rumahku untuk diberikan ke Bibi Eva. Aku pun mengambil sepeda Ibu dan meletakkan botol-botol bekas itu di keranjang sepeda lalu pergi menuju rumah Bibi Eva.
Di jalan, terlintas aku memikirkan nasib Indah yang belum bertemu dengan ibunya. Sudah lima tahun berlalu sejak aku bertemu dengannya. Aku ingin menolongnya namun aku tidak tahu di mana keberadaan ibunya. Hanya sekadar harapan belum tentu dapat terjadi. "Entahlah! Nanti aku cari tahu! Yang pasti, aku akan membawa Indah bertemu dengan ibunya!" ucapku sambil mengayuh sepeda.
Setelah sampai di rumah Bibi Eva, aku langsung memberikan botol-botol bekas itu padanya kemudian kuletakkan sesuai perintahnya. "Indah mana?" tanya Bibi Eva.
"Dia di rumah, Bi ...."
Bibi Eva mengangguk. "Oh! Hem ... ada enam botol, ya?" Lalu menghitung jumlah botol yang kuberikan.
"Iya! Semuanya ada enam, Bi."
"Terima kasih ya, Fan!"
"Sama-sama, Bi." Lalu kuhendak menaiki sepeda. Baru saja mau memulai kayuhan, tiba-tiba Bibi Eva kembali memanggilku. Ia menyuruhku menyusun koran bekas menjadi satu tumpukan kemudian diikat pakai tali. Aku pun turun dari sepeda lalu mengerjakannya. Sambil menyusun, aku melihat-lihat judul berita dan sekilas membaca isinya. Namun, dari sekian koran yang ada, cuma satu berita yang menarik perhatianku.
"Berita tentang anak hilang?" ucapku di dalam hatiku. Ketika melirik isinya, sungguh terkejutnya diriku. "Apa? Ini kan ..." Tak kusangka aku menemukan sebuah kabar baik.
"Bi, koran yang ini aku bawa pulang, ya ..." Sambil menunjukkan koran yang kulihat barusan.
"Oh, bawalah!"
Di rumah, aku langsung membawa koran itu kepada Ibu. Ketika Ibu membaca berita yang kutunjuk, terkejut sekali dirinya. "Eh! Ini kan Indah?"
Koran yang kuambil adalah koran terbitan sembilan tahun yang lalu. Tepatnya setelah Indah diculik. Aku juga menjelaskan padanya dari mana aku mendapat koran ini. Ibu sangat senang sekali mengetahui kabar baik ini. Aku juga turut bahagia. Akhirnya aku dapat petunjuk tanpa kusadari sebelumnya.
"Besok, kita bawa dia, ya ..." Senyum Ibu.
Malam harinya, aku memberi tahu kabar baik ini kepada Indah. Kutunjukkan berita itu kemudian kusuruh dirinya membaca. Awalnya ia tidak mengerti mengapa aku menyuruhnya. Namun setelah membaca bagian yang kumaksud, Indah langsung terkejut. "Kamu dapat dari mana koran ini?"
"Dari Bibi Eva."
Indah lalu terdiam. Tidak bisa berkata apa-apa. "Besok kita akan pergi dan menemui ibumu," jelasku padanya.
"Besok?"
Aku mengangguk. "Iya! Bersama dengan ibuku."
Harapanku terwujud pada saat melihat bintang jatuh beberapa hari yang lalu. Indah juga kembali mengingat kejadian itu. Kejadian di mana ia menebak dengan benar. "Tapi, coba kamu tersenyum dan bahagia," ucapku lalu memegang tangannya. Indah terkejut di dalam hatinya. Wajahnya langsung memerah.
"Ini buktinya, kalau ibumu sudah berusaha untuk menemukanmu. Sehingga ibumu melaporkan kehilanganmu pada polisi," jelasku kepadanya. "Indah, kamu senang, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
I Like Your Eyes "Indah, You Don't Close Your Eyes Again, Right?"
DiversosIrfan Pratama adalah seorang anak laki-laki biasa yang suka membantu orang lain. Karena kebaikannya itu, ia cukup dikenal banyak orang di sekitarnya. Suatu hari, ia menolong seorang anak perempuan yang terlantar. Namanya Indah Permata Ayu. Ternyata...