Bab 1: Tiba di pulau

60 24 2
                                    

Angin berhembus kencang, menghantam wajah Lisa dengan butiran air asin yang menusuk. Matanya menyipit, berusaha memandang jauh ke horizon, mencari tanda-tanda daratan, tetapi badai semakin memperburuk jarak pandang. Di sebelahnya, Rose mencengkeram tepian kapal yang terus bergoyang ganas, wajahnya pucat, hampir kehilangan keseimbangan.

"Aku gak yakin kita bakal selamat dari ini!" Rose berteriak, suaranya tenggelam oleh raungan ombak yang menghantam kapal kayu kecil mereka.

Jennie dan Jisoo, yang duduk lebih jauh di belakang, berpegangan erat pada apa pun yang bisa mereka jangkau. Kapal mereka, yang semula tenang, kini terjebak dalam kekacauan alam yang tidak terduga. Kapal berderak keras, tanda bahwa kekuatannya mulai runtuh di bawah tekanan ombak besar.

"Awas!" Jisoo berteriak panik, tapi suaranya terlambat. Sebuah ombak besar menerjang dari samping, melemparkan kapal itu seperti mainan kecil di tangan raksasa. Tubuh mereka terpental, air dingin langsung menyergap tubuh mereka saat kapal terbalik sepenuhnya.

Lisa terbenam ke dalam air, seketika terasa berat di sekujur tubuhnya. Ia mengayuh sekuat tenaga, berusaha naik ke permukaan. Saat akhirnya wajahnya menyembul di atas air, ia menatap sekitar, melihat Rose berjuang di sisi lain, sedangkan Jennie dan Jisoo terlihat masih bertahan di dekat puing-puing kapal yang hancur.

"Ke sini!" teriak Lisa, mengarahkan mereka ke arah serpihan kayu besar yang terapung di dekatnya. Dengan susah payah, mereka bertiga berenang ke sana, menyandarkan tubuh yang lelah di atasnya, sementara badai terus memukul mereka tanpa ampun. Lisa memandang ke depan, mencoba menahan rasa takut yang kian menyusup ke dalam dirinya. Di kejauhan, samar-samar ia melihat garis pantai.

“Kita harus ke sana,” gumam Jennie dengan napas terengah-engah. “Itu satu-satunya pilihan kita.”

Setelah beberapa saat, dengan sisa tenaga yang mereka miliki, keempat remaja itu perlahan berenang menuju pantai. Setiap gerakan terasa berat, dan ombak terus berusaha menarik mereka kembali ke laut. Namun, semangat untuk bertahan hidup menguatkan langkah mereka.

Setelah berjam-jam berjuang, akhirnya kaki Lisa menyentuh pasir. Ia terseret beberapa langkah sebelum akhirnya tubuhnya roboh di pantai, wajahnya mencium pasir basah yang dingin. Rose, Jennie, dan Jisoo menyusul, terhempas di pasir dengan kelelahan yang sama.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Suara ombak yang memecah di pantai menjadi satu-satunya irama yang terdengar di tengah ketidakpastian. Lisa, meski tubuhnya terasa berat, akhirnya bangkit, memandang sekitar dengan pandangan kabur.

Pulau itu tampak kosong, seolah-olah tidak pernah ada yang menginjakkan kaki di sana. Pohon-pohon kelapa menjulang tinggi di tepian pantai, hutan lebat tampak mengancam di kejauhan, dan langit yang masih kelabu menambah suasana suram di pulau itu.

“Kita selamat…” gumam Jisoo, meski suaranya terdengar penuh keraguan.

Rose, yang duduk terdiam dengan rambut basah menempel di wajahnya, hanya memandang lurus ke depan. "Tapi di mana kita?"

Lisa menggelengkan kepala, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. "Aku nggak tahu… tapi kita harus bertahan. Mungkin ada orang lain di sini."

Keempatnya saling memandang, harapan tipis mulai muncul. Mereka bangkit dengan tubuh gemetar, berjalan pelan menyusuri pantai, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Namun, semakin jauh mereka berjalan, semakin sunyi pulau itu terasa.

Setelah beberapa ratus meter, mereka tiba di sebuah lekukan kecil di tepi pantai. Ada beberapa reruntuhan di sana, bangunan yang tampak sudah lama ditinggalkan. Jennie mendekat, menyentuh salah satu batu yang berserakan di tanah, mencoba mencari petunjuk.

"Kayaknya ini pernah jadi semacam desa," ujarnya dengan nada penasaran.

"Desa?" Rose melirik bangunan-bangunan itu dengan cemas. "Tapi kenapa ditinggalkan? Dan kenapa nggak ada orang?"

Jisoo mendekat ke sebuah bangunan yang masih berdiri setengah utuh, lalu memeriksa bagian dalamnya. Tidak ada yang tersisa, hanya debu dan kesunyian. "Nggak ada jejak orang lain di sini," katanya pelan.

Lisa berjalan lebih jauh ke dalam reruntuhan, merasa ada yang aneh. Semuanya terlalu sunyi, seolah pulau ini telah lama kehilangan suara kehidupan. Tapi saat ia hendak berbalik untuk kembali ke teman-temannya, ia merasa ada sesuatu yang memperhatikannya.

"Apa kamu denger itu?" Lisa tiba-tiba berbisik.

Rose mendekat, wajahnya bingung. "Dengar apa?"

Sebelum Lisa sempat menjawab, suara itu terdengar lagi—sebuah bisikan halus, samar, seolah-olah angin membawa suara dari kejauhan. Tapi itu bukan angin. Itu lebih seperti… suara manusia.

"Jennie, Jisoo, ke sini," Lisa memanggil dengan tegang. Mereka semua berkumpul di dekatnya, memperhatikan ke sekeliling dengan hati-hati. Suara itu berhenti.

"Aku rasa kita nggak sendirian di sini," kata Lisa perlahan, nadanya waspada.

Wajah Jennie mengeras. "Mungkin ada orang yang bersembunyi."

"Atau sesuatu yang lain," Rose bergumam, mengingatkan mereka akan cerita-cerita seram yang sering ia baca. Semua mata kini tertuju ke arah hutan di depan mereka. Keheningan terasa semakin menekan, dan untuk pertama kalinya sejak mereka tiba, mereka merasakan hawa dingin yang aneh menyusup di antara mereka.

"Baiklah," kata Lisa dengan suara tegas, meski tubuhnya gemetar. "Kita harus menemukan tempat yang aman buat bermalam. Kita bisa cari tahu lebih banyak besok pagi."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mengikuti garis pantai, berharap menemukan sesuatu yang bisa dijadikan tempat perlindungan. Langit semakin gelap, dan rasa takut mulai merambat di antara mereka. Meski tidak ada yang berani mengatakannya dengan lantang, keempatnya tahu ada sesuatu yang tidak beres di pulau ini.

Saat mereka hampir menyerah, Jisoo tiba-tiba berhenti. "Lihat itu," katanya, menunjuk ke sebuah gua kecil di tepi hutan. Gua itu tampak seperti pilihan terbaik untuk bertahan malam ini, meski ada perasaan tidak nyaman yang menyelimuti mereka.

Tanpa pilihan lain, mereka memasuki gua itu dengan hati-hati. Setelah memastikan tidak ada yang bersembunyi di dalam, mereka duduk bersama, mencoba untuk merasa sedikit lebih aman dari ancaman yang belum terlihat. Rose menarik lututnya ke dada, memandang ke luar gua.

"Kalian tahu kan," katanya pelan, "ada cerita-cerita lama tentang pulau-pulau terkutuk seperti ini. Di mana jiwa-jiwa yang tidak bisa pergi terjebak di antara dunia."

"Tolong, jangan mulai lagi dengan cerita serammu," Jennie mendesis, berusaha terdengar tegas, meski wajahnya memperlihatkan ketakutan.

"Tapi aku merasa sesuatu di sini," kata Rose, suara kecilnya bergema di dinding gua. "Dan itu... memerhatikan kita."

Keempatnya terdiam, sementara bayangan gelap mulai meliputi pulau itu. Di luar, hanya ada suara ombak yang memecah di pantai. Tapi jauh di dalam gua, ada suara lain.

DEATH ISLAND Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang