Hari-hari berlalu sejak keempat remaja itu mencapai pulau baru. Mereka telah menjelajahi sebagian besar area dan menemukan bahwa meskipun pulau ini lebih indah dibandingkan pulau sebelumnya, ada sesuatu yang aneh dan mengganggu tentang tempat itu. Suasana terasa sepi, seolah-olah pulau itu menyimpan banyak rahasia yang tidak ingin diungkap.
“Lihat, kita harus mencari cara untuk pergi dari sini,” kata Lisa, menyusuri pantai dengan langkah mantap. “Kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Kita harus membangun rakit dan mencari jalan pulang.”
Rose mengangguk, meskipun kecemasan terlihat di matanya. “Tapi kita harus lebih hati-hati kali ini. Kita tidak bisa mengulangi kesalahan yang sama.”
“Setuju,” Jennie menambahkan. “Kita harus bekerja sama dan memastikan bahwa tidak ada yang mengganggu rencana kita.”
Mereka mulai mengumpulkan kayu dan bahan lain untuk membangun rakit. Hanya beberapa langkah dari pantai, mereka menemukan kayu besar yang terdampar, cukup kokoh untuk dijadikan bahan utama. Semangat mereka mulai tumbuh saat mereka bekerja sama, berbagi tugas, dan saling mendukung.
Hari demi hari, rakit itu perlahan-lahan terbentuk. Jisoo dan Jennie bertanggung jawab untuk menyusun struktur, sementara Lisa dan Rose berusaha memperkuatnya dengan menggunakan anyaman daun dan tali yang mereka buat dari serat tanaman.
Namun, saat mereka bekerja, keanehan mulai muncul lagi. Tiba-tiba, saat mereka merasa rakit hampir selesai, cuaca mulai berubah. Angin bertiup kencang, dan langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba dipenuhi awan gelap.
“Kenapa cuacanya tiba-tiba berubah?” tanya Jisoo, melirik ke arah langit. “Ini aneh.”
“Sepertinya pulau ini tidak ingin kita pergi,” kata Lisa, mengusap keringat dari dahinya. “Kita harus cepat menyelesaikan rakit ini.”
Ketika mereka akhirnya selesai, perasaan lega menyelimuti mereka. Mereka menatap rakit dengan penuh harapan. “Sekarang kita siap untuk pergi,” Jennie berkata, senyum lebar menghiasi wajahnya.
Malam itu, mereka merencanakan pelarian mereka. Rencana sederhana: mereka akan berlayar menjauh dari pulau saat gelap, berharap untuk menghindari perhatian yang tidak diinginkan. Dengan perasaan optimis, mereka beristirahat dengan harapan baru.
Namun, saat mereka bangun keesokan paginya, suasana menjadi sangat berbeda. Langit masih gelap, tetapi tidak hanya karena awan—ada ketegangan di udara, seolah-olah pulau itu sedang memperingatkan mereka akan bahaya yang mengintai.
“Sepertinya kita harus segera berangkat,” kata Jisoo, menatap rakit. “Kita tidak bisa menunda lagi.”
Mereka berjalan menuju rakit, tetapi saat mereka mendekat, mereka terkejut melihat rakit itu sudah hancur. Kayu-kayu yang mereka kumpulkan terpecah belah, dan anyaman daun terurai seolah-olah baru saja dihancurkan oleh kekuatan yang tidak terlihat.
“Siapa yang melakukan ini?” Rose bertanya, suaranya bergetar. “Apa yang terjadi?”
“Tidak ada yang melakukan ini. Ini pasti pulau ini,” kata Lisa, marah dan bingung. “Seolah-olah sesuatu di sini tidak ingin kita pergi.”
Jisoo menunduk, merasa putus asa. “Kita tidak bisa tinggal di sini selamanya. Kita harus mencari cara lain.”
Mereka mulai merobek sisa-sisa rakit yang hancur, berharap bisa memperbaikinya, tetapi usaha mereka sia-sia. Setiap kali mereka berusaha memperbaiki atau menyusun ulang, sepertinya ada sesuatu yang menghalangi. Kayu-kayu terlepas dari tempatnya, dan anyaman yang baru saja mereka buat kembali terurai.
“Ini tidak masuk akal!” Jennie berteriak frustrasi, menendang pasir. “Kita tidak bisa terus seperti ini!”
Rose merasakan ketegangan meningkat di antara mereka. “Apa kita harus mencari sesuatu yang lain? Mungkin ada cara lain untuk meninggalkan pulau ini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
DEATH ISLAND
Mystery / ThrillerDeath Island "Death Island" adalah kisah menegangkan tentang sekelompok remaja-Lisa, Rose, Jennie, dan Jisoo-yang terjebak di sebuah pulau misterius setelah kapal mereka hancur dalam badai. Di pulau ini, mereka segera menyadari bahwa tidak ada tanda...