Ku peluk Sunyi

10 4 1
                                    

Malam semakin pekat, kesunyian meraba. Elowen berjalan pelan di sepanjang koridor kastil, langkahnya nyaris tak terdengar, seolah-olah ia hanyalah bayangan yang melayang di antara dinding-dinding yang berbisik. Gaun tidur putih panjang yang ia kenakan saat mengembuskan napas terakhirnya dahulu melayang lembut, menyapu lantai koridor seperti kabut tipis di pagi hari.

Elowen merasa di setiap langkahnya terasa dingin menggigit tulang, namun ia tak lagi peduli; kehadirannya di dunia ini sudah menjadi bagian dari kekosongan tak berujung. Setiap bayang-bayang yang memanjang di dinding seperti memanggil kenangan masa lalu, ketika hatinya masih berdetak penuh harap untuk sekejap melihat wajah sang Tuan muda, Leif.

Pandangan Elowen menerawang ke jendela besar yang menghadap ke taman kini terbengkalai, tempat di mana dulu bunga-bunga mawar merah merekah setiap kali Leif tersenyum. Sekarang, hanya kesepian dan malam yang setia menemaninya. Angin dingin menerobos masuk melalui celah jendela, membuat tirai tua berkibar lembut, seolah mengundangnya untuk menari bersama bayangan malam.

"Elowen," gumamnya sendiri, suaranya serak seperti gema dari masa lalu. "Adakah akhir dari penantian ini?"

Namun, tak ada jawaban, hanya keheningan kian mencekam dan ingatan terus menerus menghantui. Ia terus berjalan, berharap dan menanti, seperti bunga mawar di tengah musim dingin, berjuang melawan kegelapan dan kesendirian, dengan harapan bahwa suatu hari, ia akan bertemu kembali dengan cinta tak pernah punah di dalam hatinya.
Jam dinding tua masih berdetak, iramanya lambat dan berat, seakan merasakan beban waktu yang tak pernah berhenti mengalir. Setiap detik yang berlalu membawa Elowen lebih jauh dari dunia nyata, membenamkannya dalam lautan kenangan yang tak pernah surut. Tik-tok yang bergema di koridor kosong itu menjadi satu-satunya penanda kehidupan di antara dinding-dinding yang dingin dan bisu, seakan menghitung berapa lama lagi hingga takdir mempertemukannya kembali dengan sang Tuan muda.

Elowen mendekati jam dinding itu, mengulurkan tangannya yang pucat, jari-jarinya yang halus menyentuh kayu tua yang sudah mulai lapuk. Ia bisa merasakan denyut waktu di bawah jemarinya, merasakan setiap detik yang memisahkannya dari masa lalu. Matanya yang sayu memandang jarum-jarum jam yang terus berputar, berputar, dan berputar, tanpa pernah berhenti. Seolah waktu sendiri sedang mengejeknya, memaksa dia untuk mengingat bahwa ia adalah makhluk yang terjebak di antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan.

"Leif," bisiknya, namanya terbawa angin malam, menembus kesunyian yang begitu pekat. "Apakah kau mendengarku? Apakah kau tahu aku masih di sini, menunggumu?"

Angin malam menyelusup masuk dari celah jendela, menggoyangkan tirai dan mengirimkan aroma mawar yang nyaris layu dari taman di luar. Elowen menutup matanya, merasakan angin yang lembut menyentuh wajahnya, seolah itu adalah belaian lembut dari Leif yang pernah dicintainya. Waktu seakan berhenti sejenak, hanya untuknya, hanya untuk kenangan itu.

Jam dinding itu berdetak lagi, lebih keras kali ini, seolah memanggilnya kembali ke realitas kesunyian yang tak berujung. Elowen membuka matanya perlahan, dan di dalam hatinya, ia tahu bahwa ia akan terus menunggu, selamanya. Jam dinding tua itu menjadi satu-satunya saksi dari harapannya yang abadi, penantian tanpa akhir di koridor kastil yang tak pernah kehilangan keheningan malam.

Waktu terasa seperti musuh, berlarut-larut dalam keheningan, mengingatkan Elowen pada hari-hari yang pernah ia lewati bersama Lief, dan kini menjelma menjadi sebuah perjalanan panjang dalam kastil kenangan, dari zaman ke zaman, dari abad ke abad. Setiap lorong kastil yang ia telusuri adalah potongan masa lalu yang tak kunjung pudar. Setiap jendela yang ia lewati adalah pemandangan yang mengingatkannya pada saat-saat bahagia bersama Lief, tawa mereka, percakapan mereka yang penuh kehangatan, dan tatapan dalam mata Lief yang selalu membuatnya merasa seolah-olah dialah satu-satunya di dunia ini.

Namun, dunia ini terasa asing baginya sekarang. Kastil itu, yang dulu penuh cahaya dan tawa, kini hanya bayangan suram dari apa yang pernah ada. Dinding-dindingnya bisu, hanya gema dari masa lalu yang terus bergaung, mengisi kekosongan hatinya. Elowen terus berkelana, menjelajahi setiap sudut kastil itu, seolah mencari sesuatu yang hilang, sesuatu yang mungkin takkan pernah ia temukan lagi. Setiap langkahnya membawa kesedihan yang mendalam, sebuah kesadaran bahwa cinta mereka, meski begitu kuat, belum cukup untuk menantang nasib yang telah ditulis untuk mereka.

Namun di tengah perjalanan yang tak berujung itu, Elowen merasakan kehadiran Lief di sisinya. Mungkin bukan tubuhnya, bukan raganya, tetapi sebuah kehadiran yang hangat, seperti embusan angin lembut yang menyentuh pipinya. Sebuah kehadiran yang memberitahunya bahwa ia tidak sendiri, bahwa suatu hari nanti, di tempat yang jauh melampaui batasan waktu dan ruang, mereka akan bersama lagi, seperti yang selalu mereka inginkan. Dan untuk harapan itu, Elowen terus berjalan, melintasi ruang dan waktu, dengan cinta yang tak pernah pudar, dengan harapan yang tak pernah mati.

ElowenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang