Kisah Yang Berbekas.

13 3 0
                                    

Kenangan masa lampau berputar di benak Elowen, seakan-akan ia hanyut dalam pusaran waktu. Malam yang dingin di balkon itu semakin menambah kesendiriannya, membuat pikirannya terbang melintasi dimensi, kembali ke masa lalu yang dihiasi dengan kisah cinta dan air mata.

Bibir Elowen bergetar ketika ia mengingat sosok bibinya, Margareth, satu-satunya keluarga yang tersisa setelah kedua orang tuanya meninggal. Margareth, meski berwajah tegas dan berjiwa kuat, selalu menunjukkan cinta yang dalam terhadap Elowen. Ketika Elowen berusia tujuh tahun, Margareth datang ke panti asuhan tempat Elowen dititipkan sejak kecil. Bibinya yang bekerja sebagai kepala pelayan di keluarga Wells tidak memiliki pilihan selain menitipkannya di sana untuk sementara waktu.

Panti asuhan itu sendiri bukanlah tempat yang buruk bagi Elowen. Di bawah bimbingan lembut seorang biarawati, ia tumbuh dengan penuh kasih sayang dan perhatian. Hari-harinya diisi dengan doa, kerja keras, dan pembelajaran akan nilai-nilai kebajikan. Ada saat-saat ketika Elowen berpikir untuk menjadi biarawati, mengabdikan hidupnya pada ketenangan dan pelayanan kepada Tuhan. Tetapi kehidupan memiliki rencana lain untuknya.

Di usia enam belas tahun, Margareth menjemput Elowen. Sebuah dunia baru terbuka di hadapannya ketika bibinya membawanya ke rumah keluarga Wells, tempat di mana Margareth telah mengabdi selama bertahun-tahun. Margareth, sebagai pengurus rumah yang dihormati, ingin Elowen belajar menjadi pelayan yang baik, membalas budi baik keluarga yang telah memberikan mereka pekerjaan dan perlindungan.

Saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah megah keluarga Wells, Elowen diliputi rasa kagum yang tak terhingga. Dinding-dinding yang tinggi, lukisan-lukisan yang megah, dan karpet-karpet tebal yang membentang seolah mengantarnya ke dunia dongeng. Namun, kekagumannya itu hampir membuatnya kehilangan kesempatan bekerja di rumah itu. Ketika dengan canggungnya ia menyenggol botol tinta di meja kerja Tuan Wells, membuat tinta hitam itu tumpah dan mencoreng dokumen penting.

Panik menyelimuti ruangan itu. Margareth, yang selalu tenang, tampak sangat cemas dan marah. "Elowen, apa yang telah kau lakukan?" bisiknya dengan suara tertahan. Mereka berdua bergegas membersihkan noda tinta, tapi jejak langkah Tuan Wells semakin mendekat, menambah kepanikan mereka. Namun, di saat-saat krisis itu, sebuah suara yang tak terduga datang dari sudut ruangan.

"Ayah, itu salahku," suara tenang namun tegas itu milik Lief, putra Tuan Wells. "Aku yang menumpahkan tinta saat mencari buku untuk dibaca."

Kebohongan putih Lief mengejutkan Elowen. Tuan Wells yang murka hampir menampar Lief, namun Nyonya Wells dengan cepat datang dan menenangkan amarah suaminya. "Suamiku, dokumen itu bisa ditulis ulang. Tak perlu berlebihan, apalagi di depan para pelayan," katanya dengan nada menenangkan.
“Margareth, tolong kau bersihkan!” perintah Nyonya Wells dengan tenang namun otoritatif.

“Baik, Nyonya,” jawab Margareth patuh, buru-buru membersihkan noda tinta yang tersisa.

Nyonya Wells kemudian beralih pada Lief, menepuk bahunya dengan lembut. “Jangan pikirkan kata-kata ayahmu tadi,” hiburnya dengan perilaku keibuan.

Keberanian Lief menanggung kesalahan yang bukan miliknya membuat Elowen terpesona. Ia tahu saat itu bahwa hatinya telah tertambat pada pemuda tangguh itu. Ketika suasana mereda,
Elowen yang merasa bersalah tidak bisa diam saja. Dengan ragu-ragu dan wajah pucat, dia berkata, “Maaf, Nyonya. Sebenarnya, sayalah yang menumpahkan tinta itu, bukan Tuan Muda"
Alih -alih marah Nyonya Wells  justru bertanya dengan ramah, "Siapa namamu, gadis kecil?"

"Elowen Reilly, Nyonya," jawab Elowen dengan gemetar. Tatapan lembut Nyonya Wells memberinya keberanian untuk mengangkat wajah.

Itulah saat pertama kali Elowen bertemu dengan Lief secara langsung. Dan sejak saat itu, ia tidak pernah bisa melupakan tatapan mata Lief yang tajam namun hangat, senyumnya yang mempesona, dan cara ia membela dirinya tanpa pamrih. Senyuman yang menghiasi wajah Lief setiap kali ia bertemu Elowen membuat jantungnya berdegup kencang. Setiap kali bertemu, Di percakapan singkat saat ia mengantar pakaian ke kamarnya, memperdalam rasa cinta Elowen pada Lief.

Lief, yang saat itu berusia 18 tahun, memiliki pesona yang tak terbantahkan. Dengan tinggi tubuh yang menjulang, rahang tegas, dan mata biru yang menawan, ia adalah gambaran sempurna seorang bangsawan muda. Namun, bukan hanya ketampanan fisik yang menarik hati Elowen. Lebih dari itu, ia jatuh cinta pada sifat beraninya, kepeduliannya, dan kelembutan yang tak pernah ia tunjukkan di depan umum, namun selalu ada ketika mereka hanya berdua.

"Hi, aku Lief Wells," sapanya dengan senyum membuat dunia Elowen bergetar.

"Elowen Reilly," balas Elowen, mencoba menahan debaran jantungnya yang tak terkendali.

Sebuah kisah cinta tak terucapkan mulai terjalin di antara mereka. Sebuah kisah yang dimulai dari keberanian kecil seorang pemuda dan ketulusan hati seorang gadis pelayan. Bagi Elowen, malam-malam di balkon seperti ini selalu membawanya kembali ke masa itu, ke kenangan akan senyum Lief yang selalu membuat hatinya bergetar, ke masa ketika cintanya pertama kali tumbuh dan berakar kuat di dalam hatinya yang bersemi Kapuranta.

ElowenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang