Sejak obrolan kami makin sering di WhatsApp, aku mulai merasa ada sesuatu yang berbeda. Setiap pesan yang kami tukar rasanya selalu menghangatkan, walaupun aku sendiri belum tahu apa yang dia rasakan. Aku seringkali bertanya-tanya, apakah aku terlalu banyak berharap atau memang ada hal yang sama di sisi dia? Dan setelah aku memastikan temanku yang kupikir menyukainya ternyata tidak, ada rasa lega bercampur malu. Rasanya konyol, tapi sekarang aku bisa merasa sedikit lebih bebas.
Hari Rabu itu, setelah selesai kelas di kampus, seperti biasa aku berdiam diri di parkiran, menikmati pemandangan kota Bandung. Momen itu selalu jadi rutinitasku, seolah jadi tempat aku melarikan diri sejenak dari kesibukan. Tapi tiba-tiba, tanpa disangka, dia dan tiga orang temannya muncul di rooftop parkiran untuk bersantai. Mereka mengajakku bergabung, dan aku, meski senang, merasa canggung setengah mati. Ngobrol sesekali, tapi rasanya lidah ini kaku, bingung mau bicara apa. Sungguh, aku merasa bodoh sekali di situ.
Saat jam hampir setengah enam sore, dia pamit pulang ke kosannya. Aku masih di sana, tetap menikmati pemandangan yang biasa, tapi entah kenapa sore itu terasa sedikit berbeda. Lalu sekitar jam tujuh malam, aku dapat pesan dari dia, mengajakku keluar. Sontak aku kaget sekaligus senang. Aku tak berpikir dua kali, langsung menyetujui ajakannya. Ada perasaan bahagia yang tak bisa dijelaskan, seakan-akan tak ada hal lain di dunia yang lebih penting selain kesempatan ini.
Kami sepakat bertemu jam sembilan malam. Saat menjemputnya di kosan, aku lupa membawa jaket. Dan dia, tanpa ragu, meminjamkan jaketnya padaku. Perasaanku makin campur aduk. Sial, ini pertama kalinya aku membonceng seorang wanita, dan tentu saja, orang yang selama ini membuatku berpikir terus menerus. Kami tidak punya tujuan pasti, dan dia bilang bebas saja ke mana, jadi kupikir Cartil akan jadi tempat yang tepat. Menikmati citylight Bandung, tempat yang tenang untuk ngobrol. Dan dia setuju.
Di perjalanan menuju Cartil, ada tawa yang terdengar berbeda. Rasanya hangat, jauh dari sekadar basa-basi. Kami sampai di sana, memesan makanan dan minuman, lalu memilih tempat duduk yang nyaman. Canggung? Tentu saja. Tapi semakin lama, kami mulai lebih terbiasa. Obrolan mengalir, diselingi canda dan tawa yang aku rasa tidak pernah kurasakan sebelumnya. Itu adalah momen yang akan selalu kuingat. Rasanya waktu berjalan begitu cepat, dan ketika aku sadar, jam sudah menunjukkan pukul satu pagi. Sial! Kami kemalaman.
Kami pun segera bergegas pulang. Di perjalanan, kami melewati jembatan Pasopati. Pemandangan lampu-lampu kota dan suasana malam itu membuat perasaanku semakin campur aduk. Ada kebahagiaan, tapi juga keraguan yang sulit diungkapkan. Sesampainya di kosan, dia langsung masuk ke dalam. Aku berniat untuk mengembalikan jaketnya, tapi dia malah bilang untuk aku bawa dulu agar tidak kedinginan di perjalanan pulang.
Sepanjang perjalanan pulang, senyumku tak bisa hilang. Perasaan bahagia itu masih menyelimuti, dan aku berharap, semoga ini bukanlah yang terakhir. Aku ingin ada lebih banyak momen seperti ini di masa depan,dan semoga, suatu hari nanti, aku bisa lebih berani menyatakan apa yang sebenarnya kurasakan.
Kadang, perasaan tumbuh diam-diam di antara tawa dan canggung. Semakin lama, semakin jelas, namun masih terselip ragu. Mungkin takdir sedang menyiapkan sesuatu di balik percakapan yang tampak biasa, atau mungkin hanya aku yang terlalu berharap pada setiap momen kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku di dua pendakianku
RomanceBesok adalah teka-teki yang kusimpan rapi, menunggu waktu untuk terungkap dalam diam.