Pendakian 2

13 3 1
                                    

Awal Agustus

Setelah pertemuan tak terduga di Upas Hill, aku dan teman-temanku mulai sering berbagi foto dan cerita tentang pendakian tersebut. Dari situlah ide untuk merencanakan pendakian berikutnya muncul. Kali ini, kami memutuskan untuk mendaki Gunung Burangrang, sebuah gunung yang lebih menantang namun menawarkan pemandangan yang luar biasa di puncaknya. Aku dengan semangat mengajak teman-teman dari pendakian sebelumnya untuk ikut serta. Meski tidak semua dari kelompok perempuan sebelumnya bisa ikut, dua orang di antara mereka setuju termasuk dia, perempuan yang sejak awal telah menarik perhatianku.

Setelah memastikan semua persiapan lengkap, kami mulai mendaki pada pukul 7 pagi. Jalur pendakian Gunung Burangrang cukup menantang, dengan tanjakan yang curam dan medan yang berakar. Namun, keindahan alam di sekitar kami membuat segala lelah seolah terbayar lunas.

Di sepanjang perjalanan, aku tidak bisa tidak memperhatikan bagaimana dia sering berbincang dengan salah satu temanku. Mereka tampak begitu akrab, berbagi cerita sambil tertawa bersama. Rasa cemas mulai merayap dalam diriku. Apakah temanku juga menyukainya? Apakah mereka sudah dekat selama ini? Pikiranku dipenuhi dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat langkahku terasa semakin berat.

Rasa gelisah itu semakin menjadi-jadi ketika kami tiba di sebuah titik istirahat. Teman-temanku dan satu perempuan lainnya bergerak lebih cepat, meninggalkan aku, temanku, dan dia di belakang. Perjalanan menuju puncak menjadi semakin sunyi bagi kami bertiga. Meski dia ada di dekatku, rasanya jarak di antara kami semakin jauh.

Akhirnya, setelah perjuangan yang cukup melelahkan, kami tiba di puncak Gunung Burangrang. Pemandangan yang terhampar di depan mata sungguh menakjubkan hamparan awan putih yang menyelimuti puncak-puncak gunung lainnya, dan hutan hijau yang luas terbentang di bawah. Seperti biasa, kami semua mengambil foto bersama, mencoba mengabadikan momen yang tak terlupakan ini. Namun, perasaanku saat itu tidak lagi sejelas sebelumnya. Aku terus saja memikirkannya, memikirkan kemungkinan bahwa dia dan temanku lebih dari sekadar teman biasa.

Saat kami mulai turun, aku menyadari bahwa mereka berdua masih terus berbincang. Tawa mereka terdengar seperti gemuruh di kepalaku, semakin menambah berat langkah-langkahku di jalur yang menurun. Perasaan tidak nyaman itu terus menghantuiku sepanjang perjalanan, seolah-olah ada sesuatu yang tidak bisa kuterima.

Sesampainya di basecamp, kami beristirahat sejenak. Kelelahan terlihat di wajah semua orang, tapi tawa dan canda masih terus mengalir di antara mereka. Namun, aku tetap diam, mencoba menutupi kegelisahanku. Setelah beberapa saat, kami pun melanjutkan perjalanan pulang, kembali ke kehidupan kami yang biasa.

Di dalam perjalanan pulang, aku duduk diam, merenungi segala hal yang telah terjadi. Mungkin aku terlalu banyak berpikir, atau mungkin perasaan ini terlalu cepat berkembang. Namun, satu hal yang pasti, rasa cemas dan gelisah ini tidak bisa begitu saja hilang. Aku tahu, perjalanan ini bukanlah akhir dari cerita kami, tapi justru awal dari sebuah perjalanan panjang dalam mengarungi perasaan yang belum sepenuhnya kumengerti.

Ketika kami berpisah di parkiran, aku menatapnya untuk terakhir kali hari itu, berharap bahwa suatu hari aku bisa menemukan jawaban atas semua pertanyaan yang menghantuiku. Dan untuk saat ini, aku hanya bisa berjalan pulang, membawa serta rasa yang tak kunjung hilang, menunggu waktu yang tepat untuk membuka lembaran berikutnya.

Di puncak Upas Hill, hati tersentuh oleh pertemuan tak terduga, di puncak Burangrang, hati diuji oleh rasa yang tak terucap. Dua pendakian, dua cerita satu tentang harapan, satu tentang kegelisahan yang menghantui.

Aku di dua pendakiankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang