"Morana! Kembali kau! Serahkan gitar itu pada ibu!"
Teriakan di belakang sana sama sekali tidak menghentikan langkahnya untuk terus berlari dengan gitar yang ada di punggung. Dia sama sekali tidak berniat untuk berhenti sejenak, hanya untuk mengambil napas. Kakinya yang panjang dengan lihai melompat dan menghindari menginjak bagian tanah yang basah karena hujan tadi malam.
Keluar dari gang-gang kecil yang merupakan area tempat tinggalnya, Morana akhirnya berhenti di depan sebuah toko alat musik yang membuatnya hampir tidak tidur selama beberapa malam karena memimpikan memiliki apa yang ada di dalam sana. Sebuah gitar elektrik yang menjadi impiannya, di punggungnya hanyalah sebuah gitar akustik yang dia temukan di lorong rumah. Yang akhirnya beralih kepemilikan menjadi miliknya, tanpa tahu siapa pemilik yang asli karena ibunya tidak ingin memberitahu. Bahkan ibunya ingin sekali menyingkirkan gitar ini, Morana sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh ibunya.
Seseorang yang masuk ke dalam toko membuatnya tersentak dari lamunan, dengan rasa tidak rela dia kembali melangkah menjauh dari toko musik itu. Gadis 15 tahun itu melangkah dengan lunglai dan wajah tidak bersemangat, setiap kali dia melewati toko musik ini selalu seperti ini. Mencoba memperbaiki moodnya Morana memasang earphone putih dan memutar musik kesukaannya untuk menemani setiap langkah menuju sekolah tempat dia menimba ilmu.
Dengan berlari kecil Morana tiba di sekolah tepat pukul 9 siang, jam pelajaran tidak ada yang menarik minatnya kecuali kelas sejarah dan musik. Membelah kerumunan teman-temannya yang ada di depan kelas, Morana mendudukkan dirinya dengan tenang. Baru saja dia duduk, tapi dia sudah mendengar berbagai omong kosong yang masuk ke telinganya oleh mulut tipis teman-teman sekelasnya.
"Gila memang, siapa yang akan belajar sihir? Dia menghayal, saat mengatakan hal itu," celetuk seorang gadis dengan tawa yang keras.
Gadis lain menambahkan dengan tawa remeh yang tak kalah menggelikannya di telinga Morana. "Hey, apa kau tidak tahu rumor tentang dia?"
Dia? Morana menukikkan alisnya saat teman-temannya mulai menggunakan kode etik saat bergosip, gadis berambut hitam lebat itu menggerutu karena dia juga ingin tahu siapa yang menjadi hot topik di kelas buangan ini.
"Rumor apa?"
"Kalian kan tahu, kalau dia tinggal di distrik 9 yang isinya hanya pegawai rendahan. Si rambut merah itu sudah pasti menjadi penyihir, karena ingin banyak uang! Dia tinggal menyihir setiap orang yang melawan kehendaknya dengan menjadikan seseorang itu sebagai batu hidup!" Kedua tangan gadis itu membuat sebuah gerakan seolah ada sebuah bom yang meledak, wajahnya sangat bahagia saat mengatakan hal bodoh itu.
Ck, Morana berdecak. Dia sempat berpikir kalau yang dimaksud gadis-gadis penggosip itu adalah dirinya, tapi ternyata si rambut merah culun yang biasanya mereka kerjai. Lihat saja kalau mereka berani untuk membicarakan dirinya dari belakang seperti itu, akan dia sobek mulut-mulut hina itu. Morana mematikan lagunya, ketika ketua kelas masuk dan berdiri di depan kelas.
"Hari ini Miss. Vania tidak masuk kelas dan kita hanya diberikan tugas untuk diam dan tidak banyak omong."
Pengumuman dari ketua kelas tak elak mendapatkan sorakan senang dari seluruh penghuni kelas, tapi setelahnya sekali lagi ketua kelas memberikan peringatan untuk tidak membuat kegaduhan.
"Sam, kenapa kau sangat khawatir seperti itu? Apa kau sedang mencari perhatian pada Cecilia?" tanya seorang gadis yang ikut menggosip tadi.
Sam sang ketua kelas hanya tersenyum memamerkan senyumnya yang tampan yang hampir digilai seluruh anak gadis di sekolah, tapi tidak dengan Morana. "Tidak, aku sedang tidak mencari perhatian pada Cecilia, tapi pada Morana."
Sekali lagi seruan itu terdengar di seluruh penjuru kelas, wajah-wajah kaget mereka menguasai mereka sama sekali tidak menyangka ketua kelas mereka akan berkata seperti itu. Apalagi melihat Sam yang menatap Morana di bangku belakang dengan kedipan mata, tak elak seruan kembali terdengar.
Cecilia, sang ketua gosip melirik Morana dengan tatapan sinis. Gadis itu memastikan jika sang ketua kelas tampan sudah keluar untuk menjalankan tugas lain dari wali kelas, setelah itu dia beranjak dari tempatnya menuju tempat di mana Morana duduk. "Heh, anak pegawai rendahan!"
"Kau memanggil dirimu sendiri?" tantang Morana yang sedari awal sudah memiliki mood buruk di pagi hari, ditambah dengan si ketua kelas yang suka sekali membuat dirinya berada di tempat yang tidak enak.
Cecilia diikuti anak buahnya mengerumuni Morana dengan wajah mengeras. "Kau benar-benar ingin aku pukul, ya!"
"Pukul aku dan aku akan melemparmu dari atas sini, berani?" Ingatkan Morana jika dia sama sekali tidak memiliki sesuatu yang dia takuti. Dia sudah berpengalaman menghajar seseorang dengan kedua tangannya, jika hanya melemparkan seorang gadis kurus kering seperti Cecilia dari gedung 3 jelas bukan masalah yang berat. "Ayo, katanya mau pukul?"
Matanya masih menatap marah pada Morana, teman sekelas yang telah mencuri atensi sang pujaan hati. Mata biru tajam Morana seakan membuatnya terserang demam dingin yang membekukan tenggorokannya, dia mengangkat tangannya menepuk tangan Morana cukup keras. Setelah itu barulah dia merasa napasnya tidak lagi tercekat. "Kau!"
"Apalagi?" tanya Morana dengan datar.
"Kau pasti juga keturunan penyihir 'kan!" teriak Cecilia yang membuat semua anak kelas mulai memusatkan perhatian mereka pada geng gosip Cecilia melawan Morana yang sudah tidak asing lagi bagi mereka.
"Omong kosong apa yang kau katakan itu, huh!" Morana menukikkan alisnya dengan mata biru gelap yang semakin terlihat menyeramkan. Gadis itu berdiri dari duduknya, menunduk menatap Cecilia yang hanya setinggi bahunya.
Hawa tidak sedap menguar dari Morana, dalam bayangan Cecilia yang sedang ditantang lagi oleh Morana. Teman sekelasnya itu bagai seorang panglima perang yang berdarah dingin, tidak menyentuh tapi membekukan tenggorokannya dan seluruh badannya. Dia sudah berulang kali mengatakan tentang hal ini sebagai ejekan pada Morana, tapi Morana sama sekali tidak pernah bereaksi semenyeramkan ini. Cecilia perlahan mundur dan menabrak temannya yang lain.
Angel yang ada tepat di belakang Cecilia juga merasakan ancaman yang sangat besar dari Morana, dia dengan terbata-bata mengucapkan sesuatu yang hanya semakin membuat Morana tampak marah. "Morana, kau juga tinggal di distrik 9, 'kan. Jadi, bukan salah Cecilia mengatakan itu. Kau mungkin juga keturunan penyihir seperti si rambut merah."
Seusai sekolah Morana yang masih dilanda rasa kesal yang begitu hebat dikarenakan temen sekelasnya, sekarang dia harus duduk di depan ibunya yang seolah menjawab apa yang teman-temannya katakan di dalam kelas tadi. "Apa maksud Ibu mengatakan hal itu kepadaku?"
10 01 24
⚜️
ACADEMY SIHIR NECROMANCY
Hari Besar Perayaan Setan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Academy Sihir Necromancy: Perayaan Hari Besar Setan
PertualanganOn Going ... Academy Sihir Necromancy. Mendengar namanya saja Morana merasa dia ingin kabur sejauh mungkin, jika saja ibunya tidak memaksanya untuk masuk ke sekolah sihir ini. Dia yang selalu skeptis dengan hal-hal yang tidak logis kini harus mengh...