Bab 4: Gerimis

0 0 0
                                    


Arka turun dari bus sambil memandang langit yang mulai mendung. Gerimis tipis mulai turun, menimbulkan aroma khas tanah basah dan aspal yang terkena air. Langkahnya pelan saat kakinya menyentuh tanah, dan dia menyadari ada seorang gadis berdiri di bawah halte, tampak menunggu hujan reda.

Gadis itu mengenakan seragam sekolah lain, bukan SMA Negeri 45 seperti Arka. Rambutnya yang diikat rapi perlahan terlihat basah karena gerimis, namun dia tidak berusaha mencari tempat yang lebih terlindung. Yang menarik perhatian Arka adalah gerakan bibirnya—gadis itu sepertinya sedang berbicara dengan seseorang yang tak terlihat, seseorang yang bersembunyi di balik tiang halte.

Arka memperhatikan sejenak dari jarak yang cukup jauh. Sekilas, terlihat aneh. Dia melangkah lebih dekat, mencoba memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Gadis itu tampak asyik berbicara, wajahnya serius, namun tiba-tiba dia tersentak dan seolah tersadar dari lamunannya saat Arka sudah dekat.

“Eh, kamu… sedang bicara dengan siapa?” tanya Arka, menghentikan langkahnya hanya beberapa meter dari gadis itu.

Gadis itu tampak terkejut dan menoleh cepat ke arah Arka. Raut wajahnya menunjukkan kebingungan, seolah dia tidak menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan, lalu ke belakang, seolah-olah mencari seseorang yang tidak ada.

“Uh, aku... tidak bicara dengan siapa-siapa,” jawabnya gugup, suaranya bergetar pelan.

Arka menatap gadis itu dengan tatapan tajam, mencoba membaca situasinya. Dia tahu ada sesuatu yang aneh. Sebagai seorang Phantom Hunter, Arka sudah cukup sering melihat orang berbicara dengan entitas yang tak terlihat. Dalam pikirannya, dia mulai mengasumsikan bahwa gadis ini mungkin sedang berinteraksi dengan sesuatu yang lain—sesuatu yang tidak kasat mata bagi kebanyakan orang.

“Benarkah?” tanya Arka lagi, suaranya kini lebih lembut namun penuh arti. “Kamu terlihat seperti sedang berbicara dengan seseorang barusan.”

Gadis itu semakin bingung, wajahnya memucat sedikit. “Aku... mungkin aku cuma melamun,” katanya dengan senyum canggung yang tidak meyakinkan.

Arka tahu gadis itu menyembunyikan sesuatu, atau mungkin dia sendiri belum menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dia melirik ke tiang halte, tempat gadis itu tadi terlihat berbicara. Tidak ada apa-apa di sana—setidaknya secara fisik. Tapi Arka bisa merasakan ada energi yang tidak biasa di sekitar tempat itu. Dia mencoba merasakan lebih dalam, berusaha memusatkan perhatian pada hawa di sekitarnya, dan segera menyadari bahwa ada roh di sekitar mereka. Namun, roh itu tampak lemah, mungkin tersesat atau sedang mencoba berkomunikasi.

Sebelum Arka sempat bertanya lebih jauh, gadis itu menghela napas panjang, tampaknya mencoba menenangkan diri. “Maaf, aku harus pergi. Hujan sudah mulai reda.” Dia bergegas pergi, melangkah menjauh dengan cepat.

Arka hanya bisa mengangguk dan mengamati gadis itu menjauh. Tapi perasaan aneh masih menggelayut di benaknya. Dia merasakan sesuatu yang tidak beres. Ada roh di sekitar sini, dan gadis itu tampaknya terlibat dengan cara yang dia sendiri mungkin tidak sadari.

Saat bus lain melintas di kejauhan, Arka memutuskan untuk tidak langsung pulang. Dia mendekati tiang halte tempat gadis tadi berbicara, memejamkan mata, dan mencoba merasakan kehadiran roh di sekitar sana.

"Siapa pun kamu, keluarlah," bisik Arka pelan.

Hawa di sekitar halte seketika berubah lebih dingin. Di hadapannya, samar-samar muncul bayangan seorang pria tua dengan tubuh melayang di udara, wajahnya tampak muram dan dipenuhi kesedihan. Arka bisa langsung merasakan energi roh itu—lelah, tersesat, dan mencari pertolongan.

Roh itu tidak berbicara, hanya menatap Arka dengan mata kosong, seolah meminta bantuan. Arka mendesah pelan. "Kamu tersesat, ya?" tanyanya dengan nada lembut.

Roh itu hanya mengangguk pelan.

“Baiklah, aku akan membantumu. Tapi jangan ganggu orang-orang yang lewat lagi,” kata Arka sambil merogoh tasnya, mengambil sebuah gelang kecil yang terbuat dari batu alam. Gelang itu adalah salah satu alat untuk membantu roh-roh tersesat menemukan jalan kembali.

Arka merapal mantra pelan, dan dalam sekejap, roh itu perlahan memudar. Tidak ada suara atau teriakan. Hanya kedamaian yang tersisa di tempat roh itu berdiri. Arka menatap sekeliling, memastikan semuanya sudah kembali normal.

Saat roh itu sepenuhnya menghilang, Arka kembali berjalan menuju rumahnya dengan perasaan lega. Hujan gerimis masih turun tipis, dan langkah Arka semakin cepat menuju rumah.

Setelah Arka tiba di rumah, ia melihat ibunya sudah menyiapkan makanan di meja makan. Meskipun ibunya juga baru saja pulang dari pekerjaannya di sebuah klinik hewan yang tidak jauh dari rumah mereka, ia selalu memastikan untuk merawat Arka dengan baik. Aroma masakan sederhana seperti tumis sayur dan ayam goreng menguar di udara, memberi perasaan nyaman yang membuat Arka merasa lega setelah hari yang cukup aneh di sekolah.

“Hai, Nak. Capek ya? Ibu masak yang gampang aja hari ini, semoga cukup buat mengisi perutmu yang kelaparan,” sapa ibunya sambil tersenyum lembut.

Arka tersenyum kembali, merasa tenang di tengah suasana rumah yang damai. “Enggak kok, Bu. Udah lama enggak makan masakan ibu. Kayaknya enak banget,” katanya sambil meletakkan tas sekolahnya di kursi dekat ruang tamu.

Sebelum makan, Arka memutuskan untuk mandi dulu. Tubuhnya terasa lengket setelah seharian beraktivitas, ditambah hujan gerimis yang sempat membasahinya saat berjalan dari halte. Setelah mandi dan berganti baju, ia merasa lebih segar.

Saat ia kembali ke ruang makan, ibunya sudah duduk di meja dengan makanan yang tertata rapi. “Ayo, makan bareng ibu,” ajaknya sambil menepuk kursi di sampingnya.

Arka duduk, mengambil piring, dan mulai makan bersama ibunya. Suasana rumah yang hangat dan tenang membuat Arka merasa nyaman, meskipun di benaknya masih tergiang kejadian aneh yang ia alami di halte bus. Namun, untuk saat ini, ia memilih untuk tidak memikirkannya terlalu dalam.

“Ibu tadi ada pasien apa di klinik?” tanya Arka mencoba memulai obrolan ringan.

“Hmm, ada kucing yang terluka parah karena tertabrak motor. Kasihan banget, tapi untungnya dia bisa diselamatkan. Pemiliknya panik sekali,” jawab ibunya sambil menyendok nasi.

“Syukurlah bisa selamat. Ibu hebat deh,” puji Arka.

Ibunya tertawa kecil. “Ibu cuma melakukan pekerjaan ibu, Nak. Seperti kamu yang rajin sekolah dan... rajin bantu ibu di rumah,” katanya sambil melirik Arka dengan tatapan bercanda.

Mereka berdua tertawa kecil dan melanjutkan makan dengan suasana hangat. Setelah selesai, Arka membantu ibunya membereskan meja makan. Meski hari itu ia banyak memikirkan tentang kejadian yang aneh, momen bersama ibunya memberikan kehangatan dan rasa aman.

Di akhir hari, Arka duduk di kamar, menatap langit-langit dengan pikiran melayang. Akan ada sesuatu yang terjadi, dan dia harus siap menghadapi apapun yang menanti esok hari.

Dengan perasaan tenang setelah seharian beraktivitas, Arka memejamkan mata, mencoba untuk beristirahat. Besok, hari baru menanti, mungkin dengan kejadian-kejadian aneh lainnya. Tapi malam ini, di rumah yang nyaman bersama ibunya, Arka merasa tenang dan siap menghadapi apapun yang akan datang.

The Phantom HuntersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang