Setelah para pelaku penembakan diamankan oleh kepolisian, kawasan di sekitar TKP kini sedikit lebih kondusif. Police line terpasang mengelilingi lokasi kejadian, sementara tim penyidik dan tim forensik mulai melakukan penyelidikan mendalam.
Beberapa anggota PASSUS mulai mengemasi peralatan dan senjata mereka, bersiap untuk kembali ke markas. Suasana di sekitar cukup tegang, dan semua orang bekerja dengan fokus.
Revan, yang masih mengkhawatirkan kondisi sang adik yang dibawa ke rumah sakit, duduk terdiam di trotoar tidak jauh dari timnya. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran mendalam.
Tak berselang lama, Nara mendekati Revan sambil membawa dua botol air. Ia menyodorkan salah satu botol kepada seniornya.
“Nih Kak, minum dulu. Kakak butuh hidrasi,” katanya dengan nada peduli.
Revan menerima botol tersebut dengan senang hati dan segera membukanya. Ia meneguk air itu dengan cepat, merasakan seolah tenaga baru mengalir ke dalam tubuhnya.
Dengan tangan yang memutar tutup botol, Nara mulai membuka pembicaraan di antara mereka.
“Kak Revan, beruntung ya masih memiliki orang yang disayang?”Mendengar hal tersebut, Revan memandang juniornya itu dengan tatapan bingung. “Kenapa kamu bicara begitu?” tanyanya, dengan sebelah alis terangkat.
Nara tersenyum mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Revan. Ia lalu mengambil nafas cukup dalam sebelum bercerita.
“kak, Revan,” Nara memulai, “aku sebenarnya berasal dari latar belakang yang sangat berbeda.”
Ia menceritakan tentang keluarganya. Nara adalah anak seorang bandar narkotika terkenal yang dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan. Kehidupan mereka yang glamor tiba-tiba runtuh, dan setelah lima bulan kepergian sang ayah, tragedi lain menghantamnya. Ibunya, yang selalu berusaha menjaga agar Nara tetap pada jalur yang benar, meninggal dunia karena penyakit.
“Waktu itu, aku masih di Akademi Kepolisian,” lanjut Nara, suaranya bergetar. “Rasa sakit itu begitu dalam. Aku berjuang untuk membuktikan bahwa aku bukan produk dari masa lalu keluargaku.”
Revan mendengarkan dengan seksama, merasakan beban yang dibawa Nara. Ia tahu bahwa Nara bukan hanya sekadar korban dari keadaan, melainkan juga seorang pejuang yang berusaha mengubah takdirnya.
“Bagaimana kamu bisa terus maju?” tanya Revan, penasaran akan kekuatan Nara.
“Setiap kali aku merasa ingin menyerah, aku ingat apa yang telah aku hilangkan,” jawab Nara.
“Aku ingin membuat ibuku bangga dan membuktikan bahwa aku bisa menjadi sesuatu yang lebih baik.”
Revan tertegun, menghargai keberanian Nara. Dia tahu perjalanan ini belum berakhir, tetapi cerita Nara memberinya harapan.
“Kau tidak sendirian, Nara. Kita bisa melewati ini bersama.”
Tak berselang lama, Gito menghampiri mereka berdua. Dengan senyuman hangat, ia mengajak Revan dan Nara untuk kembali ke markas. Namun, sebelum melangkah, Revan merasa gelisah memikirkan kondisi adiknya yang tadi dibawa ke rumah sakit.
“kapten, Gito,” Revan memulai, suara sedikit bergetar, “bolehkah aku menjenguk adikku? Aku perlu memastikan dia baik-baik saja.”
Gito, yang memahami kekhawatiran Revan, menatapnya dengan empati. “Tentu, Revan. Aku mengerti betapa pentingnya ini bagimu. Pergilah, dan pastikan kau tenang.”
Revan mengangguk, berterima kasih atas pengertian kapten satuannya. Ia melangkah cepat, menuju mobil Ranger milik kepolisian.
Tapi sebelum dirinya pergi, Gito menghentikan langkah Revan. “Satu hal lagi, Revan,” katanya dengan nada serius. “Sekembalinya dari menjenguk adikmu, aku perlu kau menemui Komandan Gerald.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Runcing Ke Bawah (Remake)
ActionRevan Adiyaksa Putra, seorang polisi dari unit Pasukan Khusus, yang mendapat misi untuk mengungkap kasus penyelundupan dan perdagangan Narkotika. Dan beberapa pihak dibaliknya. ⚠️ PERINGATAN ⚠️ *Ini hanyalah cerita fiksi yang dibuat berdasarkan imaj...