Krisis Persahabatan

40 8 0
                                    

Hari itu di sebuah kafe, tempat favorit mereka berlima untuk menghabiskan waktu setelah kelas. Minji, Danielle, Bae, dan Rei sudah duduk di meja pojok, seperti biasa.

Setelah terasa begitu lamanya Hanni jarang nongkrong dengan mereka, akhirnya hari ini berbeda. Mereka sudah janjian digroup. Dan untungnya Hanni mengiyakan.

Biasanya, Hanni menjadi sosok yang paling ribut di antara mereka, selalu ada candaan atau cerita random yang membuat suasana lebih hidup. Tapi sejak Hanni pacaran dengan Jake sampai memasuki bulan kedua mereka pacaran, intensitas kumpul mereka menurun drastis.

"Gue hampir lupa gimana tampangnya Si Hanni," canda Bae sambil menyeruput kopi susu pesanannya, mencoba mencairkan suasana.

Dani tertawa kecil. "Dia sibuk jadi socialite sekarang. Udah lupa sama kita, Bae."

"Aneh. Walaupun gak sefakultas, seengaknya kadang kita masih bisa ketemu walau bentar. Lah ini? Gak sama sekali" keluh Rei.

Minji hanya diam, memainkan sendok di dalam cangkir kopinya. Ada perasaan aneh setiap mendengar nama Hanni disebut akhir-akhir ini. Mereka memang masih sering chatting di grup, tapi percakapan mereka tidak lagi intens seperti dulu. Sejak pacaran dengan Jake, Hanni berubah-dan Minji bisa merasakannya lebih dari siapa pun.

Tak lama kemudian, pintu kafe terbuka, dan sosok yang mereka tunggu akhirnya muncul. Hanni masuk dengan langkah penuh percaya diri, rambutnya tersisir rapi, outfit-nya stylish seperti biasa. Dia melangkah cepat ke meja mereka sambil tersenyum lebar, seperti tidak ada yang berubah.

"Hey, guys! Sorry telat, tadi ketahan di kampus lama banget," katanya sambil menarik kursi dan duduk di antara mereka.

Minji mengangguk dan tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, han."

Dani yang duduk di sebelah Bae langsung menyahut, "Kapan sih lo nggak sibuk? Kayaknya sejak sama Jake, lo udah kayak seleb kampus aja. Jarang nongol."

Hanni tertawa kecil, tapi tawa itu terdengar sedikit terpaksa. "Yaah, nggak seleb-seleb banget. Cuma kebetulan aja lagi banyak kegiatan."

Obrolan mereka berjalan seperti biasa, tapi ada sesuatu yang terasa janggal. Meskipun Hanni tetap ceria seperti biasa, cara dia bicara sekarang berbeda. Lebih teratur, lebih fokus pada topik tertentu, tidak lagi melantur atau bercanda seperti dulu. Tidak ada lagi terdengar rengekannya saat ia diganggu oleh Minji, diusili oleh Bae, digoda oleh Danielle, lalu Rei yang kadang menyelamatkannya atau join dengan trio kampret yang lain. Kalo itu tergantung mood Rei.

Setelah beberapa menit ngobrol ngalor-ngidul, Hanni mulai berbicara tentang circle barunya, teman-teman yang dikenalnya lewat Jake.

"Gue sekarang sering nongkrong sama anak-anaknya Jake. Mereka asik banget. Gue jadi banyak dapet insight baru dari mereka, obrolan kita juga lebih... apa ya, deep gitu."

Bae mengangguk sambil memainkan ponselnya. "Deep gimana maksudnya?"

"Ya... kadang kita ngobrolin soal masa depan, pekerjaan, politik, hal-hal yang dulu gue nggak kepikiran buat bahas. Kapan kapan kalian harus ketemu mereka. Seru sih," jawab Hanni dengan nada antusias.

Danielle mengangkat alis, sedikit terkejut. "Lo? Politik? Bukannya dulu lo selalu kabur kalau Rei mulai ngomongin itu?"

Semua orang tertawa, tapi Hanni hanya tersenyum kecil. Ada jarak yang tak terucap dalam tawa mereka. Hanni tak lagi sefrekuensi dengan lelucon itu.

Minji, yang sejak tadi lebih banyak diam, akhirnya angkat bicara. "Kayaknya circle baru lo udah ngubah cara lo mikir ya, Han?"

Hanni mengangguk cepat. "Iya, gue jadi lebih terbuka sekarang. Dulu gue mikirnya cuma soal tugas atau ujian, tapi mereka ngajarin gue untuk mikir jauh ke depan. Makanya gue jarang nongkrong lagi, soalnya gue juga lagi fokus banget buat nyiapin masa depan."

Danielle mengerutkan kening. "Masa depan? Kayak gimana?"

"Well, Jake ngajarin gue banyak soal manajemen waktu dan networking. Gue juga jadi lebih sering ikut acara-acara yang nggak pernah gue ikuti sebelumnya. Circle-nya beda, tapi gue merasa itu bikin gue berkembang."

Obrolan itu membuat semua orang terdiam sejenak. Mereka bisa merasakan ada perbedaan dalam diri Hanni yang tak bisa mereka jangkau. Hanni memang masih sahabat mereka, tapi dia bukan lagi Hanni yang dulu.

Setiap kali Hanni berbicara, teman-temannya merasa semakin jauh, seolah ada dinding tak terlihat yang mulai memisahkan mereka.

Rei, yang biasanya selalu riang, kini hanya menatap jusnya, tak tahu harus berkata apa. Bae dan Danielle saling bertukar pandang, seperti mencoba mencari kata-kata yang tepat, tapi tak ada yang keluar.

Akhirnya, Bae mencoba mencairkan suasana. "Tapi lo masih inget kan, gimana kita nyaris ketinggalan bus waktu study tour dulu? Lo panik banget sampe lari-lari ngejar."

Hanni tertawa kecil, tapi tawa itu tak selepas biasanya. "Iya, inget kok. Tapi kayaknya kalo semisal hal kek gitu kejadian lagi sekarang, gue nggak bakal panik gitu lagi. Sekarang gue lebih tenang."

Jawaban itu terdengar sangat asing. Bae hanya bisa menatap Minji dengan tatapan tak percaya. Apa yang terjadi pada Hanni?

Minji menunduk, menatap cangkirnya yang sudah kosong. Persahabatan mereka, meskipun masih ada, tidak lagi terasa sama. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata.

Hanni mungkin tak menyadari perubahan itu. Bagi dia, hidupnya sekarang lebih terarah, lebih dewasa. Tapi bagi Minji, Danielle, Bae, dan Rei, Hanni yang dulu selalu penuh tawa dan cerita sederhana kini menjadi sosok yang berbeda. Sosok yang tak lagi bisa mereka jangkau sepenuhnya.

SevenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang