Hans Durchdenwald, 15 tahun, berdiri di ruang tamu apartemen barunya di Amerika Serikat, menatap tumpukan kardus yang masih tersegel rapi. Sinar matahari sore menerobos jendela besar, menyinari lantai kayu yang bersih mengilap. Meski rumah ini tampak hangat dan menyambut, Hans merasa asing dan tidak nyaman. Ini bukan rumahnya. Ini adalah awal yang baru, tetapi perasaan asing dan berat di hatinya sulit diabaikan.
“Amerika... tempat baru, sekolah baru, dan pasti masalah baru,” gumamnya pelan, memutar-mutar obeng kecil di tangannya.
Ibunya, Frau Durchdenwald, sibuk membongkar kotak-kotak di dapur. “Hans, jangan begitu pesimis. Kamu akan menyukai tempat ini. Sekolah barumu punya reputasi baik, dan siapa tahu, mungkin kau akan menemukan teman yang sepadan dengan minatmu.”
Hans hanya meringis tipis. “Kita lihat saja nanti,” jawabnya setengah hati. Di Jerman, dia selalu dipandang aneh oleh teman-temannya karena kecenderungannya membuat penemuan-penemuan yang sering kali berujung pada kekacauan. Dia tidak yakin pindah ke Amerika akan membuat semuanya berbeda.
Hans mendengus, ragu.Pengalaman di Jerman mengajarinya bahwa menjadi “anak baru” bukanlah hal yang mudah, terutama bagi seseorang sepertinya yang selalu berbeda dari anak-anak lainnya. Dia tidak hanya dianggap aneh karena penemuannya yang “gila,” tetapi juga sering di-bully karena tidak bisa bergaul dengan baik.
“Kau tahu, Hans,” lanjut ibunya sambil membalikkan badan, “sekolah ini lebih baik daripada sekolah lamamu di Jerman. Mungkin kau bisa mendapatkan teman yang menghargai keinginanmu untuk bereksperimen dan menemukan hal baru.”
Hans tersenyum tipis. Ibu memang selalu berusaha optimis, tetapi dia tahu bahwa di manapun ia berada, akan selalu ada orang-orang seperti Boris, anak nakal di sekolah lamanya sewaktu masih di negeri asalnya. Juga, kini ada Frank Wynn!
Frank Wynn adalah siswa yang sempurna. Dia berprestasi, populer, dan memiliki keluarga yang dihormati di lingkungan mereka. Awalnya, Hans tidak keberatan dengan Frank. Bahkan, mereka sempat akrab selama beberapa bulan pertama Hans di sekolah.Keluarga Frank sering mengundang keluarga Hans untuk makan malam, dan mereka berbicara dengan santai tentang sekolah dan prestasi.
Di tengah lamunannya, terdengar langkah kaki cepat di tangga. Vanny, adik perempuan Hans, berlari turun dengan wajah berbinar.
“Hans, kamu harus lihat kamarku!” serunya penuh semangat. “Aku mendekorasi semuanya sesuai seleraku, dan... sumpah, ini benar-benar kamar impianku! Aku sudah menyiapkan beberapa ide dekorasi baru—akan ada banyak ungu, biru pastel, dan kilauan!”
“Kau melamun lagi,” suara Vanny memecahkan lamunannya. “Apa yang kau pikirkan? Jangan bilang kau masih mencoba membuat salah satu ‘penemuan gilamu’ di sini.”
Hans tertawa kecil, meskipun terasa getir. “Aku tidak gila. Aku... visioner.”
Vanny memutar matanya. “Tentu, tentu. Kau dan alat-alat anehmu itu. Hati-hati saja, jangan sampai meledakkan sesuatu di rumah ini.”
Hans mendengus, tak berniat melanjutkan perdebatan. "Bagaimana dengan sekolah barumu? Siap membuat semua orang terpana dengan gayamu?"
Vanny tersenyum penuh percaya diri. “Tentu saja! Mereka pasti akan terkesan dengan selera fesyenku.”
Hans melirik sekilas dan tersenyum samar. “Syukurlah. Setidaknya ada satu orang yang senang dengan kepindahan ini.”
Vanny tertawa kecil, tidak menyadari nada sarkastis Hans. “Tentu saja aku senang! Oh ya, kau tahu Amanda? Adik Frank Wynn? Aku bertemu dengannya di sekolah tadi. Dia tidak punya gaya!”
Hans mengangguk. Dia pernah mendengar tentang Frank Wynn, siswa berprestasi di sekolahnya. Orang tuanya sering kali menyebut nama Frank setiap kali mereka membicarakan potensi akademik Hans. “Frank begini... Frank begitu...” membuat Hans merasa seolah-olah dirinya selalu kalah dibandingkan dengan si siswa sempurna.
“Amanda... dia bagaimana?” tanya Hans setengah tertarik.
Hans melirik adiknya itu. Amanda, adik perempuan Frank Wynn, sudah menjadi target Vanny meskipun Vanny belum lama mengenal gadis itu. Amanda berpakaian jauh lebih sederhana, dan Vanny, yang selalu menilai orang dari penampilan, tampaknya sudah punya rencana untuk mengejeknya lebih jauh di sekolah baru mereka.
Vanny mengangkat alis dan mendengus. “Dia benar-benar memalukan. Nggak ada anggun-anggunya sama sekali. Dia kasar, pemarah, dan... entah bagaimana, cara dia berpakaian? Sangat tidak peduli. Beda jauh dari Frank yang lebih pendiam dan terkesan rapi. Gimana ya, menurutku dia nggak cocok jadi adik Frank.”
Hans tersenyum tipis. Ia sudah pernah melihat Amanda beberapa kali di sekolah, dan memang benar, gadis itu terkenal dengan sikap kasarnya. Tidak ada yang anggun dalam dirinya, setidaknya menurut standar Vanny. Meskipun begitu, Amanda adalah orang yang vokal dan tak segan mengungkapkan pendapatnya. Berbeda jauh dengan Frank yang selalu tenang dan jarang berbicara.
“Dia benar-benar tidak peduli dengan penampilannya, kan? Serius, bagaimana mungkin dia bisa tampil seperti itu?” adiknya Hans yang baru berumur 12 tahun itu belum puas menjelekkan gadis berpakaian jaket kulit di kelasnya itu.
Hans tersentak. Amanda adalah kebalikan dari Vanny. Dia lebih sederhana, lebih pemarah, dan sama sekali tidak peduli dengan tren mode yang digilai Vanny. Vanny tampaknya telah menemukan target baru untuk dijadikan objek kejahilannya.
“Ya, dia memang berbeda dari Frank,” kata Hans sambil mengalihkan pandangannya kembali ke tumpukan alat-alat sains miliknya yang masih berantakan.
Vanny tersenyum sinis. “Dia nggak Cuma berbeda, Hans. Dia... mengerikan. Serius, bagaimana mungkin seorang cewek bisa sekasar itu? Dan gayanya? Astaga, seperti tidak pernah peduli dengan penampilannya. Dia mungkin tidak tahu betapa pentingnya menjadi sedikit lebih anggun.”
“Jangan terlalu kasar, Vanny,” kata Hans. “Amanda... dia hanya berbeda, itu saja.”
Vanny mendengus. “Berbeda? Dia terlihat seperti tidak peduli dengan dirinya sendiri. Kalau dia mau, dia bisa lebih rapi dan menarik. Tapi, yah, mungkin dia memang tidak punya selera. Tak heran Frank jadi lebih bersinar dibanding dia.”
Hans tersenyum masam. Meski dia tidak setuju dengan cara pandang Vanny, dia mulai merasakan perasaan aneh—rasa marah yang tak disadari terhadap Frank. Setiap kali orang tuanya membandingkannya dengan Frank, rasa jengkel itu semakin dalam.
"Dia mungkin tidak peduli dengan fesyen, tapi itu tidak berarti dia pantas direndahkan."
Vanny mendengus. “Aku tidak merendahkan, Hans. Aku hanya menyatakan fakta. Lagipula, kau sendiri tahu, jika seseorang tidak peduli dengan bagaimana penampilan mereka, itu menunjukkan bagaimana mereka memperlakukan diri mereka sendiri.”
Hans menatap Vanny dengan tatapan datar. Meskipun mereka sering berselisih pendapat, Hans tak bisa menyangkal bahwa Vanny memang lebih pandai bersosialisasi, sementara dia sendiri lebih sering tenggelam dalam dunianya sendiri.
Hans tertawa kecil. Meskipun dia tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Vanny, dia tak bisa menahan diri untuk tidak menikmati ceritanya.Sebelumnya, Hans tidak punya masalah dengan Amanda, tapi rasa frustrasi yang terus-menerus dia rasakan karena perbandingan dengan Frank mulai membuatnya memandang segalanya dengan cara berbeda. Beberapa minggu kemudian, Hans mulai merasakan tekanan yang semakin besar dari keluarganya. Setiap kali nilai-nilai ujian dibagikan, orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan Frank Wynn.
“Lihatlah Frank,” kata ayahnya saat makan malam suatu malam. “Dia selalu mendapat nilai sempurna. Kenapa kamu tidak bisa seperti dia, Hans?”
Hans menahan perasaan kesal yang mulai membakar dalam dadanya. “Karena aku bukan Frank,” jawabnya datar, tanpa mengangkat pandangannya dari piring.
Ayahnya hanya menggelengkan kepala. “Kalau kamu berusaha lebih keras, kamu bisa menjadi seperti dia.”
Perbandingan itu semakin lama semakin menusuk. Frank Wynn, siswa yang sempurna di mata semua orang, telah menjadi standar yang tidak mungkin dicapai oleh Hans. Di satu sisi, Hans ingin membuktikan bahwa dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus menjadi Frank. Di sisi lain, ia mulai merasa dendam terhadap Frank, meskipun Frank tidak melakukan apa-apa yang salah.
Di sekolah, hubungan Hans dengan Frank masih cukup baik. Mereka berbicara sesekali, bahkan bekerja sama dalam beberapa proyek kelas. Tetapi setiap kali Hans pulang ke rumah dan mendengar perbandingan dari orang tuanya, rasa frustrasi itu semakin besar. Dan perlahan, Hans mulai membiarkan dirinya menikmati saat-saat ketika Vanny menjahili Amanda.
“Sumpah, Amanda itu benar-benar seperti anak kecil yang nggak tahu aturan,” kata Vanny suatu sore saat dia sedang duduk di meja rias, memperbaiki tatanan rambutnya. “Setiap kali aku lihat dia, aku merasa bersyukur bahwa aku punya selera yang baik.”
Hans, yang sedang merakit salah satu alat eksperimennya, tersenyum masam. “Dia memang agak berantakan, tapi setidaknya dia tahu caranya mempertahankan pendapatnya.”
Vanny mendengus. “Oh, tolonglah, Hans. Dia bukan mempertahankan pendapat, dia hanya marah-marah tanpa alasan. Itu bukan cara yang anggun.”
Hans mengangkat bahu. “Yah, siapa peduli soal anggun? Asal dia tidak menyakiti orang lain.”
Vanny memutar matanya. “Kamu terlalu baik padanya. Dia benar-benar pantas untuk dijahili sesekali.”
Mendengar itu, Hans terdiam sejenak. Rasa bersalah menyelinap, tapi kemudian dia teringat semua kali orang tuanya membandingkan dirinya dengan Frank. Rasa jengkel itu mulai tumbuh lagi.
“Mungkin kau benar,” kata Hans akhirnya. “Asalkan kau tidak keterlaluan, aku tidak peduli.”
Vanny tersenyum puas. “Tentu saja. Aku tahu batasnya.”
Seiring berjalannya waktu, Hans mulai berubah. Rasa frustrasi yang terpendam terhadap Frank dan keluarga Wynn mulai membentuk sikap baru dalam dirinya. Di satu sisi, dia tahu tidak adil mendukung tindakan Vanny yang menjahili Amanda. Di sisi lain, perasaan puas karena bisa menekan seseorang dari keluarga yang selalu dibandingkan dengannya itu memberikan kelegaan aneh. Hans yang dulunya netral, kini mulai mendukung tindakan Vanny secara tidak langsung, meskipun dia tahu di sudut hatinya bahwa itu salah.
Beberapa minggu kemudian, perbandingan terus-menerus antara dirinya dan Frank mulai mempengaruhi pandangan Hans. Hans yang dulunya bersikap netral mulai merasakan kelegaan setiap kali Vanny mengolok-olok Amanda. Bahkan, diam-diam, dia mulai mendukung Vanny.
"Frank memang sempurna," gumam Hans suatu sore, duduk di ruangannya sambil merakit salah satu penemuannya. "Tapi Amanda? Dia tidak. Setidaknya, aku bisa menikmati satu hal—melihat Vanny mengganggunya."
Vanny, yang duduk di kursi dekat jendela sambil mengecat kukunya, tertawa kecil. “Kamu mulai mengerti, Hans. Tidak apa-apa, kan? Aku cuma bersenang-senang.”
Hans mendesah, merasa sedikit bersalah tapi juga lega. Ini adalah pelarian dari semua tekanan yang dia rasakan di rumah dan sekolah. Setiap kali Vanny menjahili Amanda, dia merasa sedikit lebih baik tentang dirinya sendiri.
"Ya, aku paham," jawab Hans akhirnya. "Asalkan kau tidak keterlaluan, Vanny."
Vanny tersenyum licik. “Tentu saja. Aku tidak akan keterlaluan... cukup untuk membuatnya tahu tempatnya.”
Namun, di sudut hatinya, Hans tahu bahwa semakin lama dia membiarkan Vanny melakukan itu, semakin dia menjauh dari rasa simpati dan moral yang dulu ia miliki. Perasaan hormat dan rasa bersalah mulai memudar, digantikan oleh kebencian yang perlahan tumbuh—semua karena perbandingan yang tak henti-hentinya antara dirinya dan Frank Wynn.
Ketika matahari mulai terbenam, Hans berjalan ke luar, berdiri di depan rumah baru mereka. Dia tahu tantangan di sekolah baru akan berat, apalagi jika orang tuanya mulai membandingkannya dengan Frank Wynn nanti. Mungkin dia bisa menghindari perbandingan itu... untuk sementara.
Tetapi Hans Durchdenwald bukan tipe yang menyerah begitu saja. Di dalam kepalanya, sudah ada rencana besar. Penemuan-penemuan baru akan muncul, dan kali ini, tidak ada yang akan menghentikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Prestasi dan Kekacauan
Science FictionHans Durchdenwald, seorang remaja berusia 15 tahun harus beradaptasi dengan lingkungan barunya di Amerika Serikat setelah pindah dari Jerman bersama dengan keluarganya. Negara baru, apartemen baru, sekolah baru, musuh baru, teman baru, dan... pacar...