Setelah beberapa bulan berlalu di sekolah barunya di Amerika Serikat, Hans Durchdenwald mulai beradaptasi dengan lingkungan baru. Meskipun awalnya canggung, dia akhirnya mulai menemukan tempatnya. Namun, perasaan tertekan terus menghantuinya, terutama ketika dia bertemu dengan Frank Wynn, seorang siswa berprestasi yang sering dibandingkan dengannya.
"Eh, Frank, ayo ke sini sebentar," panggil Hans suatu hari di koridor sekolah, mencoba memulai percakapan dengan Frank.
Frank, yang tampak lebih pendiam daripada kakaknya Amanda, mendekati Hans dengan tatapan penasaran. "Ada apa, Hans?"
"Aku cuma mau kenal lebih dekat. Aku sering dengar tentang kamu dari orang tua," ujar Hans dengan nada canggung, berharap bisa membangun hubungan yang lebih baik.
"Senang bertemu denganmu," kata Frank, sedikit ragu. "Tapi, aku masih belum begitu mengenalmu."
Hans berusaha untuk bersikap baik, berbicara dengan sopan dan menunjukkan minat yang tulus dalam berbicara dengan Frank. Namun, di dalam hati, Hans merasakan gemuruh kemarahan dan kecemburuan. Setiap kali Frank berbicara tentang prestasinya, Hans merasa ada dorongan jahat yang tumbuh dalam dirinya. Dia mulai merencanakan sesuatu di benaknya, sambil menjaga wajahnya tetap ramah.
Sementara itu, Vanny terus menunjukkan dominasi terhadap Amanda di sekolah. Vanny sering mengkritik Amanda yang kasar dan pemarah, membuat Amanda semakin kesal. Vanny merasa puas bisa menindas Amanda, dan Hans mulai merasa bangga dengan sikap Vanny yang tegas dan dominan.
Suatu malam, keluarga Durchdenwald mengundang keluarga Wynn untuk makan malam. Ini adalah kesempatan untuk lebih mengenal satu sama lain, tetapi suasananya tidak berjalan mulus seperti yang diharapkan.
Saat makan malam berlangsung, suasana di meja makan cukup tegang. Hans dan Vanny duduk di satu sisi meja, sementara Frank dan Amanda duduk di sisi lain. Orang tua Hans, Herr (sama dengan Mr.) dan Frau (sama dengan Mrs.) Durchdenwald, duduk di ujung meja, dengan Herr Durchdenwald di kepala meja dan Frau Durchdenwald di sisi sebelahnya.Malam itu, ketika semua orang duduk di meja makan, suasana canggung terasa di udara. Vanny, yang duduk berhadapan dengan Amanda, tak bisa menahan diri untuk melemparkan komentar tajam.
"Kau tampak cukup pendiam malam ini, Amanda. Aneh sekali. Biasanya kau selalu berdebat dan mengeluh," sindir Vanny dengan senyum penuh kemenangan.
Amanda, yang sudah lelah dengan sikap Vanny, mencoba untuk tetap tenang, tetapi tatapannya tak bisa menyembunyikan amarahnya. "Tidak semua orang perlu pamer atau sok dominan seperti kamu, Vanny," balas Amanda dingin. "Sebagian dari kita memilih untuk tidak perlu membuktikan diri dengan cara yang salah."
Vanny tersenyum sinis, merasa puas karena berhasil memancing reaksi dari Amanda. "Bukan soal pamer, Amanda. Aku hanya tahu caranya menang tanpa harus jadi pecundang yang suka marah-marah seperti kamu."
Amanda mengepalkan tangannya di bawah meja, berusaha menahan diri. "Menang dengan menjatuhkan orang lain bukan kemenangan, Vanny. Itu kelemahan. Kau hanya menyembunyikan rasa takutmu di balik kesombongan."
Percakapan itu membuat meja makan terdiam sejenak, sementara orang tua mereka berusaha mengalihkan topik pembicaraan, tak ingin konflik semakin memanas. Tapi jelas, persaingan dan ketegangan antara Vanny dan Amanda semakin terasa.
Herr Durchdenwald, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahunan dengan wajah yang keras dan penuh otoritas, menatap dengan tajam saat Vanny mulai mengkritik Amanda. "Vanny," katanya dengan nada peringatan, "aku harap kamu bisa menunjukkan sedikit lebih banyak rasa hormat kepada tamu kita."
Vanny hanya mengangkat bahu, seolah tidak peduli. "Dia tidak perlu meminta pendapatku kalau tidak ingin mendengarnya."
Frau Durchdenwald, seorang wanita dengan sikap lembut dan penuh perhatian, mencoba meredakan ketegangan dengan senyuman paksaan. "Mari kita semua bersikap sopan, ya? Ini adalah kesempatan bagus untuk saling mengenal satu sama lain lebih baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin Prestasi dan Kekacauan
Science FictionHans Durchdenwald, seorang remaja berusia 15 tahun harus beradaptasi dengan lingkungan barunya di Amerika Serikat setelah pindah dari Jerman bersama dengan keluarganya. Negara baru, apartemen baru, sekolah baru, musuh baru, teman baru, dan... pacar...