02.

242 27 2
                                    

Langit cerah menyambut Sean ketika ia melangkahkan kaki keluar dari bangunan yang menjadi tempat tinggalnya selama 17 tahun. Ia mendongakkan kepala, berharap ramalan cuaca yang ia lihat beberapa menit yang lalu benar. Aktivitas luar ruangan yang akan ia lakukan membutuhkan cuaca yang berawan alih-alih panas seperti hari-hari biasanya.

Sean bergerak menuju parkiran, menaiki sepeda bututnya. Ia memakai earphone di salah satu telinga dan menyetel lagu sebelum mengayuh sepeda. Tak lupa, ia menyapa Pak Imam satpam panti asuhan yang sudah bekerja sejak 20 tahun yang lalu. Bahkan saat ia belum lahir ke dunia.

Lelaki berumur hampir setengah abad itu balas menyapa dengan pertanyaan. "Mau ke mana, Mas Sean?"

"Nonton lomba berkuda, Pak."

"Oh yang di Stadion Brawijaya itu, ya? Hati-hati di jalan, ya, Mas!"

Sean mengangguk, tersenyum. Ia menambah kecepatan kayuhannya setelah keluar dari gerbang.

Jalan tak seramai biasanya saat pagi. Mungkin karena hari ini hari libur. Waktu menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh saat ia mengecek ponsel beberapa saat yang lalu. Membutuhkan waktu hampir 30 menit untuk sampai ke stadion yang ia tuju, sedangkan kompetisi yang ia tonton mulai di jam delapan pagi.

Sean terbiasa mengayuh sepeda untuk bermanuver. Sepeda butut yang ia naiki sekarang adalah teman kesayangannya. Ia beli seken setelah bekerja part time setengah tahun di sebuah warung makan di usia 15. Hidupnya terasa lebih mudah setelah itu karena ia tak perlu membayar ongkos bus untuk pergi ke sekolah. Selain itu, tubuhnya terasa lebih bugar tanpa olahraga. Keputusan paling bermanfaat selama 17 tahun ia hidup di dunia.

Sesampainya di stadion, gerbang depan ramai oleh pengunjung. Ia membayar tiket masuk yang merogoh kocek cukup mahal menurut kantongnya. Dua puluh lima ribu adalah gajinya satu kali pertemuan mengajar bimbel anak SD. Gaji yang termasuk ukuran cukup mengingat statusnya yang belum lulus SMA.

Sean memarkirkan sepeda di tempatnya, lalu berjalan menuju tribun lapangan pacuan kuda di seberat barat stadion. Banner-banner besar dipasang di sepanjang perjalanan. Ia berhenti sejenak untuk membaca nama-nama yang menjadi sponsor acara.

Sanjaya Stables.

Ia menatap nama itu cukup lama. Ada getir yang menjalar di hatinya untuk sesaat. Namun, pengumuman kompetisi yang akan segera dimulai membuatnya bergerak. Sean melangkah ke tribun penonton di barisan depan, melepas earphone dan menyimpannya di kantong.

Pengunjung cukup ramai memenuhi tribun. Para atlet terlihat memasuki lapangan pacu bersama kuda kebanggaan mereka, tampak gagah dengan setelan berkuda. Sean menyipitkan mata, mencari kehadiran orang-orang yang menjadi alasan ia mengayuh sepeda selama 30 menit di hari libur ini.

Sejujurnya Sean baru tahu seluk-beluk dunia equestrian setengah tahun yang lalu. Sebelumnya ia sama sekali tidak tidak mengikuti bidang olahraga ini. Ia hanya tahu jenis kompetisi pacu kuda di mana orang-orang dengan kecepatan penuh melajukan kuda untuk memenangkan pertandingan. Setelah mengikuti beberapa kali pertandingan, ia baru tahu ada jenis lomba lain di olahraga ini.

"Langsung saja, kita panggil peserta pertama kita di Dressage Competition kali ini. Adhinata Sanjaya dengan kuda Matilda dari Sanjaya Stables!" Setelah membuka pertandingan, sang MC menyebut nama yang tidak asing di telinga Sean. Tepuk tangan dan sorakan sontak terdengar dari tribun penonton. Sean mencari pemilik nama.

"Setelah dua tahun vakum dari kompetisi berkuda, kembar Sanjaya kembali hadir bersama kita di kompetisi tahunan kali ini." MC lanjut berbicara. Tepuk tangan penonton kembali bergemuruh.

Sean menangkap sosok Adhinata di lapangan pacu kuda itu. Lelaki itu tampak gagah dengan jas dan helm berkuda warna birunya, menaiki kuda berwarna putih bernama Matilda yang sama bagasnya. Cantik dan memukau.

osean | sion ft. jaeroseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang