Tersisih dari Keluarga

131 10 0
                                    

"Taufan ayo bangun"

Nafas taufan tersengal sengal " mimpi itu" gumam nya

masih menghantui pikirannya, memaksa kenangan masa lalu kembali muncul ke permukaan. Ia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke luar jendela yang mulai terang oleh sinar matahari pagi.

"Sudahlah, Taufan. Itu hanya mimpi buruk," gumam nya sambil berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan masa lalu begitu kuat dan nyata, seakan-akan mengikatnya dalam belenggu tak terlihat.

"Ayo fan semangat buat mulai hari baru"

Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan kekuatan dari dalam dirinya. Dengan langkah pelan, ia menuju kamar mandi, membasuh wajahnya dengan air dingin.

Setelah berpakaian rapi, Taufan berjalan menuju ruang makan. Di sana ayah dan keenam saudara nya sedang sarapan bersama dan bercanda tanpa dirinya "kapan ufan bisa gabung sama kalian"

Namun, tak ada satu pun dari mereka yang menoleh atau memberikan tanggapan. Taufan hanya bisa berdiri di ambang pintu, merasa seperti bayangan yang tak terlihat di antara keluarganya sendiri.

Sambil menahan perasaan sakit di hatinya, ia memutuskan untuk keluar rumah dan lebih memilih untuk berangkat sekolah

lebih awal. Di perjalanan menuju sekolah, ia merenung tentang kehidupannya yang penuh dengan kesedihan dan rasa terasing. Namun, di dalam hati kecilnya, masih tersimpan harapan bahwa suatu hari ia akan menemukan tempat di mana ia diterima dan dicintai.

Sesampainya di sekolah, Taufan disambut dengan keadaan sekolah yang masih sepi

dan sunyi. Hanya ada beberapa siswa yang juga datang lebih awal, sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Taufan berjalan perlahan menuju kelasnya, berharap bisa menemukan kedamaian di balik buku-buku pelajaran.

Di dalam kelas, ia memilih duduk di dekat jendela, tempat favoritnya untuk melamun. Pandangannya tertuju ke luar, mengamati daun-daun yang berguguran diterpa angin. "Mungkin di luar sana ada kehidupan yang lebih baik untukku," pikirnya.

Satu per satu, teman-teman sekelasnya mulai berdatangan, membawa tawa dan canda yang seolah-olah tidak pernah habis. Taufan menatap mereka dengan perasaan campur aduk, antara iri dan berharap. Ia ingin sekali bisa bergabung dan merasakan kebahagiaan yang sama.

"Mereka sangat beruntung punya kelurga yang lengka yang menyayangi mereka" batin taufan

Namun, ia tahu bahwa meratapi nasib tidak akan mengubah apa pun. Taufan bertekad untuk tetap semangat, meski sulit.

Kini fokus taufan tertuju pada halilintar dan gempa yang baru datang, taufan mengigit bibir dalam nya untuk menahan tangis nya saat melihat interaksi hangat dari kedua saudara nya itu "alin boleh gak ufan di perlakukan kayak gitu juga" batin taufan Namun, Taufan hanya bisa menahan perasaan itu dalam hati. Ia tahu, memohon hanya akan membuatnya merasa lebih lemah.

Bahkan saat taufan di bully saudara nya tidak ada yang peduli dan ia harus menghadapi semuanya sendirian. Namun, ada satu hal yang Taufan selalu pegang teguh: harapan
.
.
.
.
.
.
.
"Lemah"

"A-alin"

"Don't call me alin" ucap halilintar dan mulai mendekat ke arah taufan "dengar baik jangan pernah panggil aku dengan nama itu lagi" ucap nya lalu pergi meninggalkan taufan sendiri di toilet dalam keadaan yang berantakan

Taufan beranjak dari toilet dengan langkah goyah, berusaha mengusir bayang-bayang hitam yang mengikutinya. Namun, rasa pedih di dadanya terus menghantuinya, menambah beban yang sudah cukup berat. Ia kembali ke kelas, berusaha tersenyum meski hatinya hancur.

Di dalam kelas, suasana semakin ramai. Teman-teman sekelasnya sudah berkumpul, bercanda tawa, dan membicarakan rencana untuk akhir pekan. Taufan hanya bisa menyaksikan dari jauh, seolah terkurung dalam dinding kaca yang tak bisa ditembus.

Ketika pelajaran dimulai, perhatian Taufan teralihkan oleh suara guru yang menerangkan materi. Namun, bayangan interaksi hangat antara Halilintar dan Gempa terus mengganggu fokusnya. Ia mendengar tawa mereka, dan hatinya semakin terasa nyeri.

"Kenapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan itu?" batinnya, sembari menunduk.

Namun, tidak lama kemudian, situasi berubah ketika seorang teman sekelasnya, Rina, berani menghampirinya. "Taufan, kenapa kamu selalu sendirian? Ayo, bergabunglah dengan kami," katanya dengan senyum tulus.

Sebuah harapan kecil muncul dalam diri Taufan. "Mungkin ini saatnya aku mencoba untuk bersosialisasi," pikirnya. Namun, saat ia hendak menjawab, Halilintar tiba-tiba melirik ke arah mereka dan mencibir, "Mau bergabung dengan kami, Taufan? Kau pasti hanya akan mengacaukan suasana."

Taufan merasakan panas menjalar ke pipinya, merasakan malu dan sakit hati yang mendalam. Dia menahan napas, berusaha untuk tidak menunjukkan kelemahannya. "Tidak, terima kasih," jawabnya singkat, mengalihkan pandangan dari tatapan merendahkan Halilintar.

Pelajaran berlanjut, tetapi konsentrasi Taufan kembali terpecah. Dalam pikirannya, ia terus merenung tentang semua yang terjadi. Apakah benar dia hanya sebuah beban? Apakah ia akan selalu menjadi "yang terlemah" di antara saudara-saudaranya?

Saat bel berbunyi tanda istirahat, Taufan memutuskan untuk pergi ke taman sekolah. Di sana, ia berharap bisa menemukan ketenangan. Dengan langkah pelan, ia berjalan menuju tempat yang sering dijadikannya sebagai pelarian dari masalah.

Di taman, ia duduk di bangku, mengamati kupu-kupu yang beterbangan. Kupu-kupu biru yang indah itu mengingatkannya pada kebahagiaan yang sederhana, saat ia bisa bebas dari semua tekanan. "Satu hari nanti, aku ingin bisa terbang seperti mereka," gumamnya.
.


.
.
.
.
.
.

Sementara itu, di markas Tapops, para anggota elemen berkumpul untuk merencanakan misi menangkap Reramos. Halilintar, Gempa, Blaze, Ice, Duri, dan Solar siap untuk beraksi,

IS THERE NO PLACE FOR ME?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang