Hari berlalu seperti biasa di SMA Mangkucakra, namun di mata Alya, kelas terasa berbeda. Apalagi di hari mata pelajaran matematika berlangsung, karena tentu ia harus menghadapi sang guru lagi.
Senin pagi di sekolah terasa seperti biasanya. Matahari belum terlalu tinggi, tapi udara sudah mulai terasa hangat, tanda hari akan menjadi panas. Alya berjalan memasuki gerbang sekolah dengan langkah pelan. Rambutnya terurai rapi, dan seragamnya tampak sempurna, seperti kebanyakan anak perempuan yang ingin terlihat sebaik mungkin di awal minggu. Namun, ada sesuatu yang berbeda di matanya-sebuah kegelisahan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pikiran tentang kejadian hari Jumat lalu terus menghantui dirinya.
Alya datang lebih awal dari biasanya. Buku catatannya tertata rapi di meja, tetapi pikirannya melayang-layang, mengingat kejadian kemarin. Kejadian itu sudah berlalu, atau mungkin seharusnya tak ia pikirkan. Ia harus menanamkan dalam pikirannya bahwa itu hanya ketidaksengajaan saja.
Sentuhan samar itu. Bahkan mungkin halus dan percikannya masih bisa ia rasakan hingga hari itu meski beberapa hari sudah berlalu. Apa Arya sama gelisahnya dengan ia? Apa Arya memang tak sengaja? Apa... ucqpan 'hati-hati di jalan' itu hanya bentuk perhatian guru pada muridnya?
Banyak sekali pertanyaan tak terjawab yang mengembara di kepala gadis muda itu.
Sekarang, Alya mencoba menghapus ingatan itu, meskipun tidak mudah. Ketika ia mencapai lapangan upacara, semua siswa sudah mulai berbaris sesuai kelas masing-masing. Ia berdiri di barisan kelasnya, matanya mencari-cari sosok yang sudah beberapa hari ini membuat pikirannya tak tenang. Arya, yang juga mengajar kelasnya, biasanya berada di barisan depan bersama para guru lainnya.
Langit cerah, tapi hati Alya tidak. Ia merasa semuanya mulai terasa salah, terlalu membingungkan. Apalagi setelah insiden kecil itu, ia merasa ada yang berubah di antara mereka-sesuatu yang tak bisa ia abaikan, meskipun ia sangat ingin.
Upacara bendera selalu menjadi rutinitas yang membosankan bagi Alya. Berdiri di bawah terik matahari pagi, dengan matahari yang semakin meninggi, membuat kulitnya terasa seperti terbakar. Barisan siswa-siswi berjajar rapi di tengah lapangan sekolah, sementara para guru berdiri di atas podium di depan. Suara kepala sekolah yang berpidato seolah hanya menjadi latar belakang samar-samar di telinga Alya.Saat upacara terus berlangsung, Alya berdiri dengan tegak, matanya mencoba fokus pada pembawa acara yang memimpin jalannya upacara. Tapi tak lama, tatapan Arya menangkapnya dari kejauhan. Alya bisa merasakan mata Pak Arya yang tertuju padanya meski tidak menatap langsung. Jantung Alya berdetak semakin cepat, mencoba untuk tidak memikirkan tatapan itu, tetapi perasaan canggung dan kesadaran akan keberadaan Arya di dekatnya membuatnya sulit bernapas dengan normal.
Beberapa kali ia mencuri pandang ke arah barisan guru, dan setiap kali itu pula, Arya terlihat tidak mengalihkan tatapannya. Sekilas, tatapan itu bisa saja dianggap biasa oleh orang lain, hanya seorang guru yang memperhatikan muridnya, tapi Alya tahu itu lebih dari itu. Ada sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang tersembunyi di balik mata itu. Perasaan campur aduk mulai menghantui Alya-campuran rasa takut, bingung, dan entah kenapa, sedikit rasa penasaran.
Arya tidak berbicara atau berpidato seperti guru-guru lainnya, hanya berdiri dengan sikap tenang. Meski pandangannya tampak netral di hadapan siswa lainnya, Alya selalu merasakan bahwa Arya memperhatikannya, bahkan di tengah keramaian seperti ini. Ia mencoba menepis perasaan itu, berpikir bahwa itu hanyalah imajinasinya. Namun, setiap kali ia melihat ke arah podium, tatapan mereka bertemu. Selalu begitu.
Hari itu, perasaan itu terasa lebih kuat. Saat Alya mengangkat pandangannya lagi-entah kenapa-ia mendapati Arya sedang menatapnya. Tatapan mereka terkunci hanya beberapa detik, tapi cukup untuk membuat jantung Alya berdegup lebih cepat. Pak Arya segera mengalihkan pandangannya, tapi di saat itu, Alya yakin bahwa dirinya tidak salah. Arya benar-benar memperhatikannya.
Ia menunduk, menahan napas, mencoba menenangkan diri. "Apa-apaan ini?" gumamnya dalam hati. "Kenapa dia terus menatapku seperti itu?" Alya menggigit bibirnya, merasa semakin tidak tenang. Ada rasa canggung yang aneh, seperti ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka.
Sementara kepala sekolah melanjutkan pidatonya tentang kedisiplinan dan prestasi, pikiran Alya terus melayang pada kejadian-kejadian sebelumnya. Ini bukan pertama kalinya ia merasakan hal seperti ini. Sejak beberapa minggu terakhir, Alya merasa bahwa Arya selalu hadir di mana pun ia berada.
Di kelas, Arya sering mengarahkan pandangannya kepadanya, seolah memperhatikannya lebih dari siswa-siswa lain. Bahkan tak jarang setiap kali Alya memberanikan diri menatap balik, Arya malah terang-terangan membiarkan muridnya itu menyiduknya mencuri tatap dan tak mengalihkan pandangan. Membuat Alya terkadang kelabakan sendiri.
Ketika upacara akhirnya selesai, para siswa mulai bergerak meninggalkan lapangan. Alya berjalan pelan, mengikuti aliran siswa yang mulai membubarkan diri menuju kelas masing-masing. Tubuhnya masih terasa panas akibat terik matahari, tapi pikirannya lebih fokus pada tatapan tadi.
Baru saja ia ingin bergabung dengan teman-temannya, suara yang tidak asing memanggilnya dari belakang. "Alya" suara itu tidak keras, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya. Arya.Alya menoleh, dan benar saja, Arya berdiri beberapa meter di belakangnya. Wajahnya mencoba tampak tenang, tapi di dalam, hatinya berdebar lebih cepat. Alya akhirnya berhenti dan berbalik. Arya berdiri tidak jauh darinya, ekspresi wajahnya tenang, tapi mata itu-mata yang selalu membuat Alya merasakan ketegangan yang aneh-masih tertuju padanya.
"Ya, Pak?" tanyanya, suaranya bergetar sedikit.
Arya menatapnya dengan pandangan yang sulit dibaca. Wajahnya tetap tenang, tapi ada sesuatu di matanya-sesuatu yang lebih dari sekadar perhatian seorang guru terhadap muridnya.
"Kamu.." ucap Arya pelan, matanya menyapu sekitar untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan.
Alya menelan ludah, jantungnya masih berdetak tak karuan. "Iya, Pak?"
Arya berjalan mendekat, suaranya direndahkan seolah mereka sedang berbicara tentang sesuatu yang sangat rahasia. "Kemarin-"
"S-saya.. ada ulangan jam pertama Pak. Saya duluan ya, Pak, maaf, Pak" potong Alya cepat sembari mengangguk sopan. Ia tidak ingin membahas hari itu. Tidak sekarang, apalagi di tempat terbuka seperti ini. Dengan segera ia berbalik dan berjalan cepat menyusul teman-temannya yang sudah lumayan jauh.
Sesampainya di kelas, Alya mencoba fokus pada pelajaran, tapi pikirannya terus melayang pada percakapan singkat dengan Arya dan apa yang akan terjadi setelahnya. Arya, yang biasanya begitu tenang dan terkendali, kini terasa semakin dekat dan semakin sulit untuk dihindari.
Waktu berjalan lambat, tapi Alya tahu ini bukan akhir dari semua kebingungannya. Di balik tatapan yang mereka bagi, di balik sentuhan yang begitu singkat namun mendalam kala itu, ada perasaan yang tak bisa ia cerna sepenuhnya. Dan ia takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi jika perasaan itu semakin tumbuh.
Stay tune
With luv, Enokiy.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFINISHED PAGES
RomanceDewasa, 21+ Di antara lembaran buku pelajaran yang belum selesai, Pak Arya dan Alya menemukan diri mereka terjebak dalam kisah yang tidak pernah mereka duga. Tatapan-tatapan yang seharusnya hanya singgah sejenak layaknya Guru dan Murid biasa, kini t...