BAB III: B̶e̶r̶k̶e̶n̶c̶a̶n̶ Belajar Bersama

4.6K 23 3
                                    

Hari-hari setelah percakapan itu seharusnya membawa jarak yang lebih jelas di antara mereka. Namun, kenyataannya adalah kebalikannya. Baik Alya maupun Arya semakin sulit melepaskan pikiran mereka dari satu sama lain, terutama setelah pertemuan di perpustakaan. Setiap kali mereka berada di ruang kelas yang sama, meskipun tak ada kata yang terucap, ada sesuatu yang mengalir di antara mereka—sesuatu yang tak bisa diabaikan.

Kini, selain tatapan-tatapan mencuri yang semakin sering, meski masih begitu jarang, namun ada sentuhan kecil yang perlahan mulai terjadi. Sentuhan yang mungkin terlihat sepele bagi orang lain, tapi bagi Alya dan Pak Arya, setiap kontak fisik kecil itu seperti memercikkan api yang mereka coba padamkan.

Suatu hari, di ruang kelas yang hampir kosong setelah pelajaran berakhir, Alya duduk di mejanya, mengerjakan tugas terakhir yang harus dikumpulkan minggu itu. Teman-temannya sudah bergegas keluar, meninggalkan Alya sendiri. Ketika dia hampir selesai, Pak Arya mendekat untuk memeriksa hasil kerjanya.

"Kamu sudah mengerti semua ini, kan?" tanyanya dengan tenang sambil memandang lembar tugas Alya.

Alya mengangguk, tapi sebelum ia sempat menjawab, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Tangan Pak Arya—yang tadinya hanya menelusuri lembar tugas di mejanya—perlahan menyentuh ujung jari kelingking Alya yang ada di ujung bukunya. Sentuhan itu begitu singkat dan samar, nyaris tidak disengaja, tapi cukup untuk membuat jantung Alya berdetak lebih cepat. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Pak Arya. Matanya bertemu dengan tatapan lembut namun tegas yang sulit diartikan, seolah ada hal lain yang takut ia artikan.

Mereka tidak mengatakan apapun, dan Pak Arya segera menarik tangannya, seolah tak terjadi apa-apa. Tapi perasaan yang keduanya rasakan tetap ada, menggantung di udara dan menyirami mereka dengan perasaan yang lebih intens dari sebelumnya.

Hari-hari berikutnya, sentuhan-sentuhan seperti itu mulai muncul lebih sering. Bukan sesuatu yang mencolok—bahkan bisa dibilang kebetulan—tapi Alya tahu bahwa itu bukan hal yang bisa dianggap biasa. Seperti saat mereka berada di perpustakaan, Pak Arya datang untuk memeriksa tugas Alya lagi. Ketika ia menyerahkan kembali bukunya, jari-jari mereka bertemu untuk beberapa detik lebih lama dari yang diperlukan. Sekali lagi, Alya bisa merasakan detak jantungnya melonjak.

Tak ada yang menyadari ketegangan diantara keduanya. Bagi siswa atau guru lain penghuni sekolah menengah atas itu, tak ada yang terjadi, Arya terlalu mahir menutupi api samar diantara dirinya dan sang murid. Tak ada yang sadar akan sentuhan itu. Kalaupun ada yang lihat, pastilah mereka mengira itu tak disengaja dan biasa saja, selayaknya guru atau orang tua biasa.

Setiap kali itu terjadi, Alya tak bisa menolak perasaan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Ada kegelisahan yang datang bersamaan dengan sentuhan-sentuhan kecil itu. Meski Pak Arya tak pernah mengatakan apapun yang terlalu eksplisit, Alya tahu bahwa hubungan mereka semakin mendekati batas yang tak seharusnya dilewati.

~~

Pagi itu, seperti biasa, para siswa dan siswi sekolah, juga guru berlalu lalang melewati lorong sekolah dengan tujuan mereka masing-masing. Kelas dalam lima belas menit akan segera dimulai. Alya pun demikian, ia sudah menenteng tasnya dan berjalan santai menuju kelasnya, ia masih brgitu fresh dan bersemangat untuk hari barunya, ketika ia sedang berjalan diantara kerumunan murid-murid lain yang juga sedang menuju ruang kelas, ia melihat Pak Arya berjalan tak jauh di depannya. Mereka berpapasan, seperti biasa.

Namun kali ini, ketika mereka semakin dekat, Pak Arya dengan lembutnya, dalam diam menyentuh lengan Alya, hanya sekejap. Sentuhan itu begitu halus, seolah hanya sebuah isyarat yang nyaris tak terlihat, tapi cukup untuk membuat Alya berhenti sejenak. Pak Arya tidak menoleh, ia hanya melanjutkan jalannya tanpa berkata sepatah kata pun.

UNFINISHED PAGESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang