Rumah sore ini nampak sepi, benar-benar tidak ada orang sama sekali. Bi Nur yang masih menemani anaknya di rumah sakit, Asta yang sedang kencan dengan Nasya, sedangkan Amora dan Roni juga belum pulang dari kantor.
"Hari ini tanggal berapayah?" Abin kemudian beralih mengecek tanggal di ponselnya. "Tiga hari lagi" ucapnya pelan.
Abin kini memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku lalu ia mulai berjalan ke lantai dua tempat kamarnya berada.
Ketika hendak melewati tangga, pandangannya teralihkan ke arah ruangan yang terletak tepat di samping tangga itu. Abin pun menghentikan langkahnya dan malah menatap pintu ruangan yang terbuka lebar itu.
"Pintunya kebuka" Abin pun segera mendekat ke pintu dengan maksud ingin menutupnya, karena biasanya ruangan itu selalu dikunci oleh Amora, sekarang malah terbuka lebar disaat Amora sedang tidak ada di rumah.
Saat memegang gagang pintu itu, pandangan Abin teralihkan melihat kedalam ruangan. "Ternyata cuma kamar biasa" ucapnya. Sebenarnya Abin tidak pernah sama sekali masuk ke ruangan itu, ia tidak mengetahui apa yang ada di dalam sana.
Karena rasa penasarannya tinggi, tanpa memikirkannya resikonya, Abin malah masuk dan melihat-lihat. "Kamarnya dibersihkan dengan teliti" ucapnya sambil melihat-lihat ke semua arah. Tak lama, pandangan Abin tertuju pada sebuah bingkai foto yang terletak di meja samping ranjang. Tanpa pikir panjang, Abin mengambil bingkai foto itu sambil terus melihat siapa lelaki yang ada di foto itu. "Dia siapa?" Ucap Abin penasaran.
"NGAPAIN KAMU?" Tiba-tiba saja Amora masuk dengan tatapan penuh amarah. Kedatangan Amora yang tiba-tiba itu membuat Abin terkejut dan tanpa sengaja menjatuhkan bingkai foto yang ia pegang.
Amora terkejut melihatnya dan langsung berlari dan mengambil foto yang bingkainya sudah pecah itu. "LANCANG YAH KAMU!!" Lalu, satu tamparan melayang di pipi Abin.
"Mah, maa–"
"Mama benci kamu" tatapan penuh amarah dari Amora itu sontak membuat Abin terdiam. Ia benar-benar takut sekarang.
"Mama...."
"Mulai sekarang jangan panggil saya mama lagi, saya benci kamu" Amora kemudian pergi dari sana dengan penuh amarah, meninggalkan Abin sendirian.
Badan lelaki itu membeku, pikirannya menjadi kosong seketika setelah mendengar ucapan terkahir dari Mamanya. Jantungnya berdetak lebih cepat membuatnya kesulitan untuk bernapas, matanya mulai berair, dan pipi bekas tamparan dari Amora terasa begitu panas. Ia benar-benar tidak menyangka Amora akan mengatakan hal seperti itu kepadanya.
"Mama, maafin Abin..." Air matanya mulai mengalir, badannya lemas, membuat ia terjatuh ke lantai.
"Mama, maaf" Abin mulai memegangi dadanya yang sesak. Wajahnya yang ditampar, tapi hatinya sepuluh kali lipat lebih sakit.
"Pergi" Amora tiba-tiba datang sambil membawa sebuah bingkai foto baru di tangannya. Ia segera meletakkan bingkai itu di meja dekat ranjang.
"Mama maaf" Abin kemudian mendongakkan kepala sambil memegang tangan mamanya itu.
"Jangan panggil saya mama!" Balas Amora emosi. Tanpa sadar, ia mengambil vas bunga yang ada di meja lalu memukul kepala Abin menggunakan itu.
Akh... Abin hanya meringis kesakitan sembari memegangi kepalanya yang terluka. "Mah..." Lirihnya.
"SAYA BILANG PERGI!! SAYA GAK MAU MELIHAT WAJAH KAMU DISINI!!!" Amora yang masih diselimuti amarah itu dengan kasar menarik kerah seragam Abin dan membawa lelaki itu keluar dari rumah dengan paksa.
"Saya benci kamu" ucap Amora dengan tatapan marah.
"Saya benci kamu" Wanita paruh baya itu terus memukul tubuh Abin berkali-kali sembari terus mengulangi ucapannya "saya benci kamu".
Jujur, bukan pukulan dari Amora yang membuat Abin sakit, tapi ucapan dari wanita itu. Abin benar-benar sangat menyukai mamanya, mendengar wanita yang ja sayangi itu mengatakan benci kepadanya, membuat Abin terluka berkali-kali lipat dari sebelumnya.
"Saya gak mau liat muka kamu lagi" ucap Amora lagi, lalu ia pun menutup pintu rumahnya dengan sangat kencang.
-----
Langit sudah berganti menjadi gelap, Abin saat ini sedang berjalan tanpa tujuan. Ia tak punya teman untuk sekedar dimintai tolong, dan itu yang membuatnya janga berjalan tanpa tujuan seperti saat ini.
"Kak Asya, Abin butuh peluk" lirihnya.
Abin terus berjalan sambil memegangi kepalanya yang sakit, sampai tiba-tiba ia bertemu dengan seekor anak kucing berwarna putih di pinggir jalan. Abin sekera berjongkok dan mengelus anak kucing lucu itu.
"Kenapa lo sendiri disini? Orang tua lo man–" ucapan Abin terhenti karena tiba-tiba anak kucing itu berlari ke tengah jalan. Saat itu juga terdengar suara klakson motor, dan itu membuat Abin dengan cepat melompat ke jalanan dan memeluk anak kucing itu.
"Abin, tungguin abang, jangan menyebrang sendirian" seketika, kenangan masa lalu Abin saat kecil muncul, kenangan yang hampir setiap malam muncul di mimpinya, kenangan saat ia tertabrak mobil karena kecerobohannya.
Untungnya motor yang melaju ke arah Abin itu berhenti tepat di depan Abin, terlambat mengerem sedikit saja, mungkin Abin akan menjadi pasien rumah sakit.
"LO UDAH GILA YAH?!" Si pengendara motor membuka helmnya sambil menatap marah Abin yang masih dalam posisi memeluk anak kucing itu.
"Maafkan–" ucapan Abin terhenti ketika ia melihat pengendara motor yang hampir menabraknya itu adalah teman sekelasnya, Naira.
"Abin?"
"Naira?"
"Sorry yah, Nai, gue–" Abin memegang kembali kepalanya karena kembali merasakan sakit yang teramat.
"ABIN!!" Naira terkejut karena tiba-tiba saja Abin terbaring dijalan, lagi-lagi lelaki itu pingsan di hadapan Naira.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rumah Ternyaman Untuk Abin
Fiksi Remaja"Gue cuma pengen disayang mama dan papa seperti mereka sayang sama Bang Asta"