I love you
Jika seseorang mengatakan itu untukmu, kira-kira kau membalasnya dengan apa? Kata yang sama? Atau, tidak mempedulikannya?
Awalnya Daniel ingin melakukannya, ia enggan membalas kata itu. Namun sayang, dirinya tidak memiliki mental yang kuat. Sepanjang hidupnya hanya berisi kesendirian, kekosongan tanpa seorang pun mendatanginya.
Hingga secara tiba-tiba, bagaimana sosok itu mengatakan kalau mencintainya? Daniel tidak bodoh, ia hanya tidak percaya kebenaran maksud dari kata itu.
Kebohongan. Love is a lie, Daniel tahu hal itu. Tiap orang pandai menyembunyikan perasaan mereka, hanya hal palsu yang selalu diutarakan.
Pengkhianat. Ketika sudah jatuh sejatuhnya, dia malah menjauhimu? Pernah? Bahkan rasa sesal selalu mendera ketika rahasia terbesarmu yang pernah diceritakan padanya malah terumbar dengan mudah. Nothing can be trusted.
Tetapi walau begitu, bisa dikatakan Daniel itu munafik. Dia mengatakan kalau membenci perkara cinta. Nyatanya malah jatuh hati pada sosok yang selalu terlintas dalam benaknya itu. Bahkan mereka tidak pernah saling tatap muka, mengobrol bersama, terlebih tidak saling mengenal—mungkin hanya Daniel saja yang mengenal.
Tiap harinya, Daniel sengaja menunggu di lorong—sosok yang menjadi penghuni hatinya itu sebenarnya tetangga apartemennya.
Daniel pula sikapnya itu cuek. Enggan peduli pada apapun, lebih mementingkan diri sendiri. Entah mengapa dirinya malah jadi seperti stalker sekarang. Rautnya tetap datar walau sosok itu tersenyum manis padanya—ramah sekali memang.
"Kau baru pulang sekolah? " dia bertanya, melihat Daniel masih mengenakan seragam sekolahnya. Tapi sangat urak-urakan, sudah pasti Daniel ini tipe anak nakal disekolah.
Yang ditanya sendiri tidak menjawab, dia beralih menatap langit sore dari pinggir lorong, tak mempedulikan lelaki dengan stelan kemeja itu meninggalkannya—sepertinya.
Daniel menghela pelan, bingung pada dirinya sendiri mengapa sangat jutek. Bukankah kalau diajak mengobrol seperti tadi malah akan menambah kedekatan? Daniel bodoh!
Mengusak rambut blonde miliknya kasar, Daniel memasuki pintu apartemennya dan membantingnya begitu saja. Sikapnya sangat labil, biasa terjadi pada anak remaja.
***
Hari demi hari berlalu, Daniel terkadang mengikuti langkah sosok itu—diam-diam tentunya. Walau selalu ketahuan, alhasil mereka jalan beriringan.
"Kau sudah sarapan pagi ini? Wajahmu pucat. "
Kalau boleh, mengapa tidak dia saja yang mengatakan pada Daniel, kalau dia mencintainya? Sudah pasti Daniel akan menerima.
Tapi sayang, yang mengatakannya malah sosok yang paling dibencinya didunia ini.
"Daniel? "
"Ya? "
Sialan, dirinya malah bengong tadi. Walau wajahnya sangar seperti ini, entah mengapa bagi Eidar, Daniel itu lucu. Meskipun sikapnya menyebalkan terkadang.
Eidar mengarahkan kunci pada mobil putihnya didepan sana, "Aku bertanya. Wajahmu pucat, sudah sarapan? Jam berapa masuk sekolah nanti? " ia kembali bertanya.
Daniel membasahi bibirnya gugup, "I-Itu.. aku sudah sarapan tadi pagi. Mungkin beberapa menit lagi jam sekolah dimulai, kalau begitu.. aku izin pamit. " katanya, membungkuk dan berlari menjauh dari sana secepat mungkin. Eidar tidak mengahalang, hanya menatap tubuh Daniel yang menjauh.