Apakah ini cinta?

3 0 0
                                    

Part 2

Sejak malam itu, Calista dan Rian mulai saling menghubungi. Mereka sering bertukar pesan, berbagi playlist lagu favorit, dan bahkan merencanakan untuk belajar bersama. Calista merasa seolah dunia kuliah yang padat tak seberat dulu. Setiap kali mereka bertemu, ada semangat baru yang mengalir dalam dirinya.

Suatu sore, Rian mengajak Calista ke taman kampus untuk belajar. Di bawah pepohonan rindang, mereka menghabiskan waktu menjelaskan materi kuliah satu sama lain. Calista merasa terinspirasi, dan Rian juga mengagumi cara Calista menjelaskan hal-hal sulit menjadi lebih mudah dipahami.

“Kalista, kamu tahu tidak? Setiap kali aku belajar denganmu, aku merasa lebih semangat. Mungkin ada baiknya kita terus melakukannya,” ucap Rian sambil tersenyum.

Calista tersenyum kembali, merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Namun, dia segera mengingat pesan kakaknya tentang jodoh dan cinta. Dia merasa bingung. Apakah ini yang dinamakan cinta? Atau hanya sekadar ketertarikan sementara?

Beberapa minggu berlalu, dan kedekatan mereka semakin dalam. Namun, Calista masih merasa ada yang mengganjal. Dia memutuskan untuk berbicara dengan Maya. “Aku mulai suka sama Rian, tapi aku bingung. Apa ini cinta atau hanya ketertarikan?”

Maya mengangguk. “Bisa jadi keduanya. Tapi yang terpenting, fokuslah pada dirimu sendiri juga. Jangan sampai kamu terbawa perasaan hingga mengganggu kuliahmu.”

Saran Maya membuat Calista berpikir. Dia menyadari bahwa meski ada rasa di antara mereka, dia tetap harus mengutamakan studinya. Ia pun memutuskan untuk lebih hati-hati.

Suatu hari, saat Rian mengajaknya untuk menonton konser kecil di kampus, Calista merasa ragu. “Rian, aku harus menyelesaikan tugas ini,” ujarnya.

“Tapi kita bisa menyelesaikannya setelah konser, kan? Cuma sebentar saja,” Rian menggoda, membuat Calista tersenyum.

Akhirnya, Calista setuju. Mereka menikmati konser sambil bernyanyi bersama, dan malam itu berakhir dengan obrolan penuh tawa. Rian menunjukkan sisi dirinya yang lucu dan penuh semangat, dan Calista merasakan kenyamanan yang sulit dijelaskan.

Namun, di tengah kebahagiaan itu, tekanan dari kuliah mulai kembali. Ujian akhir semakin dekat, dan tugas menumpuk. Calista merasa terjepit antara rasa cintanya kepada Rian dan tanggung jawab akademisnya.

Suatu malam, saat sedang belajar, Rian mengirim pesan. “Kalista, kita perlu bicara. Ada yang ingin aku sampaikan.”

Jantung Calista berdebar. “Ada apa, Rian?” balasnya.

Mereka sepakat untuk bertemu di kafe tempat pertama kali mereka bertemu. Calista berjalan ke sana dengan perasaan campur aduk. Ketika bertemu, Rian terlihat serius.

“Calista, aku sangat suka kamu. Tapi aku juga tahu kamu sedang sibuk dengan kuliah. Aku tidak ingin jadi beban. Jadi, aku pikir kita perlu menetapkan batasan. Kita bisa tetap berteman, tapi tidak perlu terjebak dalam perasaan yang mungkin membuatmu terganggu,” ungkap Rian.

Calista terkejut, namun juga merasa lega. “Aku juga merasa sama. Aku suka menghabiskan waktu denganmu, tapi aku ingin fokus pada kuliah. Aku hargai keputusan ini, Rian.”

Mereka berdua sepakat untuk tetap berteman dan saling mendukung. Meski sedikit sedih, Calista merasa lebih tenang. Dia bisa kembali fokus pada studinya tanpa merasa terbebani oleh perasaan yang rumit.

Namun, seiring berjalannya waktu, Calista menyadari bahwa cinta tidak harus selalu menyakitkan. Ada keindahan dalam persahabatan, dan siapa tahu, mungkin di masa depan mereka akan menemukan kembali rasa itu di saat yang tepat.

Sekarang, dia bisa melanjutkan perjalanannya di kampus dengan penuh semangat, menikmati setiap momennya, baik itu dalam belajar maupun bersosialisasi, tanpa tekanan akan cinta yang belum waktunya.

Jodoh Tak terduga Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang