Ps : Meski prolognya demikian, ini bukan cerita religius, ya. Ikuti saja alurnya, kalian akan tahu.
"Dunia adalah tempat persinggahan yang dikelilingi lingkaran setan, yang buruk bukan dunia tapi sifat-sifat manusia." -Ameron-
"Sampai masanya, sese...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Manhattan, Agustus 2005
"Hati-hati bodoh!" Seorang pengemudi taksi, menyundul keluar dengan tangan mengacung. Memaki pria yang hampir ia tabrak.
59th third avenue, macet total. Pekikan klason dan mesin kendaraan bersaut padu dengan gemericik hujan. Semua orang mengeluh. Salah satu wanita berteriak, "Astaga, apa ada pawai 4 juli di depan sana! Maju berengsek! Maju!" Tidak jelas apa penyebabnya, yang pasti inilah New York. Kota yang tak pernah beristirahat. Kalau kau ingin tenang, mungkin alangkah baiknya jika tinggal di daerah Midwest seperti Missouri, Minnesota, Dakota, Wisconsin atau berkendara saja dari Manhattan ke Brooklyn, lantas melewati jembatan Verrazzano-Narrows dan kau akan sampai di Staten Island. Setidaknya masih berada di kawasan New York.
"Sagal!" Ameron memekik, membuat pejalan lain meringis aneh. Sebagian mungkin mengira dia pasien rumah sakit jiwa. "Sagal Viviane Benjamin!" Ia berputar-putar dari setiap blok sampai jalan 60th lalu kembali menuju Bloomingdale's. Hasil nihil, tak menemukan pria yang dicari. Ia kewalahan, lari menuju tenggara sampai restoran The Palace (Sekarang Morso). "Sagal!" Napasnya terengah, wajah melankolis itu menggambarkan ekspresi 'menyerah.' Halnya mukjizat, terarah irisnya ke sebuah tong sampah dekat gedung samping restoran. "Sagal!" Dia sigap melesat, menghampiri seorang pria terkapar lemah, memakai jaket kulit, kaos hitam dan celana jeans, menggenggam botol kaca dibaluti kertas karton. "Sialan, kau, Sagal!" Susah payah pria ini mengangkat sahabatnya yang sudah teler tersebut. Sang empu bergumam tak jelas, seluruh kesadaran sudah habis terguyur alkohol.
Hujan semakin deras. Ia dan Sagal basah kuyup. Gemuruh kilat menggentarkan malam, manusia-manusia sibuk mengurus diri masing-masing, semburat ke sana kemari menghindari tetesan air. Yang lain berjalan santai melewati trotoar sembari terlindungi payung. Ameron melihat mobil kuning kurang dari 30 meter mendekat, langsung bersiul dengan dua jari seperti peluit. "Taksi!"
"125th, Lenox Avenue," ujarnya pada sopir tepat setelah berhasil melempar Sagal dan badan sendiri ke dalam mobil.
"Hey, Ameron?" Pria itu menoleh ke belakang, mata menyipit. "Kau, kah, itu?"
"Oh, hai, Alec? Ya, ini aku." Napasnya naik turun.
Si pengemudi mengerutkan kening. "Apa yang terjadi pada Sagal?"
"Panjang ceritanya, yang pasti dia sedang mabuk berat. Bisakah kau cepat? Aku sangat kedinginan."
Suatu Apartemen di W 125th St & Lenox Ave / Malcolm X Blvd, Central Harlem. Kediaman Ameron.
Apartemen satu ruang terbagi menjadi ; dekat pintu adalah ruangan keluarga yang memiliki satu sofa panjang warna hickory, televisi hitam putih berkaki empat ; di pojok lain ada dapur, tempat cuci piring, kompor gas, kulkas satu pintu tinggi kurang dari 2 meter rona putih tulang usang ; dekat dapur, meja dan tiga kursi kayu. Hanya ada satu kamar dan kamar mandi. Sagal menghabiskan malam di sofa, tubuhnya tertutupi selimut perca warna-warna gelap. Hidung dan pipi semerah plum, napasnya terdengar seperti dengkuran bayi. Ameron memandang dari kusen pintu. Jam dinding di atas televisi menunjukkan pukul 05.45 pagi. "Untung aku tinggal di lantai satu, dia sangat berat," keluhnya sambil menghala dapur. Ia menuangkan susu dingin serta sereal ke mangkuk, malas memanaskan. "Gajian berikutnya bakal aku simpan untuk microwave."