Kami berdiri di depan nisan Rin dan Obito, dua sosok yang selalu membayangi langkah-langkahku. Angin sore berhembus pelan, membawa keheningan yang seolah menyerap segala suara di sekitar. Hinata di sampingku, diam. Matanya menatap batu nisan dengan sorot yang sulit kutafsirkan—ada rasa sakit di sana, sesuatu yang aku tahu sudah lama ia pendam.
Hinata selama ini selalu lembut dan penuh pengertian, tapi aku mulai merasakan bahwa segala hal yang berkenaan dengan Rin melukainya, lebih dalam dari yang pernah kuperkirakan. Dan baru sekarang aku sadar—setiap malam aku mengigaukan nama Rin, seakan dia masih menghantui pikiranku. Mungkin itu yang mengganggu perasaan Hinata selama ini, membuatnya merasa tersisih, seolah dia hanya bagian dari hidupku yang tidak sepenuhnya kusadari.
Aku menatap nisan itu dengan perasaan campur aduk. Rin dan Obito bukan hanya teman. Mereka adalah orang-orang yang menemani masa-masa tergelapku, saat aku kehilangan arah setelah kematian ayahku, Sakumo. Saat itu, aku membenci ayahku. Ia bunuh diri karena merasa bersalah setelah memilih melindungi timnya daripada keberhasilan misi. Aku tak pernah bisa memaafkan keputusannya, dan aku memutuskan mengambil jalan berbeda—mengutamakan keberhasilan misi di atas segalanya.
Tapi ketika Rin mati di tanganku, darah hangatnya mengalir melewati jari-jariku, aku menyadari bahwa apa yang pernah kuanggap benar ternyata salah. Hatiku masih bisa merasakan sakit, dan teman-temanku jauh lebih berharga daripada keberhasilan misi apa pun. Rasa bersalah dan penyesalan itu menghantuiku sejak saat itu, bukan karena aku mencintai Rin, tapi karena aku merasa gagal melindungi orang yang begitu berarti bagiku.
Hinata mungkin berpikir bahwa aku mencintai Rin, bahwa bayangannya masih menguasai hidupku. Tapi kenyataannya, cinta bukanlah yang mengikatku pada kenangan Rin—itu adalah rasa bersalah, penyesalan yang dalam, dan luka yang tak pernah sepenuhnya sembuh. Aku terlalu lama membiarkan rasa itu menguasai hidupku, dan tanpa sadar aku melukai Hinata, wanita yang kini berdiri di sisiku, membawa anak kami.
Aku mengalihkan pandanganku dari nisan dan menatap Hinata. Sorot matanya masih penuh dengan rasa tak terucapkan. Aku tahu dia berusaha kuat, berusaha mengerti, tapi luka itu jelas terlihat.
"Hinata..." suaraku nyaris tak terdengar, tertelan oleh hembusan angin sore. "Aku tahu, kau mungkin merasa bahwa Rin lebih dari sekadar masa lalu bagiku... dan aku sadar, selama ini aku telah membuatmu merasa tersisih. Tapi... yang kau pikirkan tentang Rin dan aku, itu tidak benar."
Hinata menoleh, menatapku dengan tatapan lembut namun terluka. "Kakashi-niisan... aku tak pernah ingin membandingkan diriku dengan masa lalumu. Aku tahu dia penting bagimu, dan aku mencoba mengerti... tapi terkadang aku merasa, aku hanya bayangan di sisimu. Bahwa mungkin, kau lebih memilih seseorang yang sudah tak ada daripada aku yang berada di sini sekarang."
Kata-katanya menohok dalam, tapi aku tahu dia tidak bermaksud menyakitiku. Dia hanya mengatakan apa yang selama ini ia rasakan, sesuatu yang aku buta untuk menyadarinya.
Aku menggenggam tangannya dengan lembut. "Hinata, dengar aku. Aku tidak mencintai Rin seperti yang kau pikirkan. Perasaanku padanya adalah rasa bersalah, penyesalan yang tak pernah hilang. Aku merasa gagal melindunginya, sama seperti aku merasa gagal saat ayahku meninggal. Tapi kau... kau adalah duniaku sekarang. Kau dan anak yang kau kandung adalah masa depanku, dan aku tidak akan membiarkan masa lalu terus menghantuiku."
Hinata menatapku, air mata menggenang di sudut matanya. Tapi kali ini, ada pengertian dalam tatapannya, seolah dia akhirnya melihat kebenaran di balik semua keraguannya. Dia mengangguk pelan, masih diam, tapi genggaman tangannya di tanganku semakin erat, seakan ia ingin mengatakan bahwa ia mengerti.
Aku merasa lega, meski penyesalan itu tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Tapi setidaknya sekarang, aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku harus merangkul masa depanku—Hinata dan anak kami, dan melepaskan bayang-bayang yang selama ini mengekangku.
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not The Only One
ФанфикKakaHina Semi-Canon Kata orang, mencintai itu membuat gila. Apakah Kakashi dan Hinata dapat bertahan dengan kehidupan cinta mereka yang sangat rapuh? 18+