Shattered Heart

448 74 43
                                    


Mengapa ada aroma ini?

Aroma yang sangat familiar, tetapi tidak seharusnya ada di sini, di tubuh istriku.

Naruto.

Bau chakranya menguar dari Hinata begitu jelas, menyelimuti tubuhnya seperti kabut. Semua saraf di tubuhku seketika menegang. Tubuhku membeku, dan pikiran yang sudah berusaha kutenangkan sejak lama kini bergolak dengan kekuatan yang lebih besar dari sebelumnya.

Kenapa Naruto?

Aku berdiri di depan pintu, buket bunga dan kotak cokelat yang kubeli tadi pagi untuk Hinata kini remuk di genggamanku. Pikiranku mengarah ke satu kesimpulan yang menghantam kesadaranku bagaikan pukulan maut. Tidak, aku mencoba menepisnya. Aku tak ingin mempercayainya. Tapi, aroma Naruto begitu kentara di tubuh Hinata. Terlalu dekat. Terlalu akrab.

"Hinata..." Aku akhirnya membuka mulut, suaraku nyaris tak keluar.

Dia terlihat lelah, tapi senyum yang selalu dia hadirkan untukku saat pulang tetap ada. "Kakashi-kun..." dia berbisik lembut, seperti tidak ada yang terjadi. Tidak ada yang salah. Seolah aroma Naruto bukan hal aneh.

Tanganku bergetar, terlalu keras kugenggam cokelat dan bunga itu hingga hancur. Hinata melihatnya.

"Kakashi-kun, ada apa?" tanyanya polos, wajahnya penuh keprihatinan. Begitu perhatian. Tapi kini, perhatian itu terasa kosong.

Aku ingin menatap mata Hinata dan bertanya langsung. Aku ingin menuntut penjelasan. Namun, aku tidak bisa. Tenggorokanku tercekat, kata-kata menguap di udara.

Aku ini pengecut.

Selama ini, aku membangun tembok tebal di sekeliling hatiku. Aku tahu dia masih mencintai Naruto, itu jelas. Tapi aku terus saja menutupinya, membiarkan diriku percaya bahwa seiring waktu, aku bisa merubah itu. Bahwa seiring waktu, Hinata akan belajar mencintaiku seperti aku mulai mencintainya. Aku hanya perlu bersabar. Aku hanya perlu memberinya ruang.

Tapi ternyata, aku terlalu bodoh.

Tidak ada ruang. Tidak ada kesempatan. Yang ada hanyalah kehadiran Naruto, yang tidak pernah pergi dari pikirannya — atau dari tubuhnya, tampaknya.

"Kakashi-kun...?" Hinata mengulurkan tangan, mencoba menyentuhku.

Aku mundur, langkahku kaku. "Hinata," kataku pelan, hampir tidak percaya pada suaraku sendiri. "Kenapa...?"

Dia tampak bingung, alisnya berkerut. "Ada apa, Kakashi-kun? Apa kau sakit?" Dia mencoba mengalihkan perhatian. Aku bisa melihat itu.

Naruto. Pikiranku terus kembali ke sana.

Bunga. Cokelat. Usaha romantis. Dan kenyataan bahwa wanita yang berdiri di hadapanku, istriku, baru saja bersentuhan dengan pria yang seharusnya bukan lagi miliknya. Seharusnya sudah menjadi masa lalu. Tapi kenapa Naruto ada di sini? Di antara kami?

Aku tidak pernah berusaha membencinya, bahkan sekarang pun, rasa benci itu tak muncul. Naruto adalah sahabatku, saudaraku, orang yang kuberi jalan untuk bahagia. Tapi kini, hatiku kacau balau.

"Naruto..." kataku, akhirnya. Kata itu keluar dari mulutku seperti racun yang menghancurkan ketenangan yang sudah kupaksakan selama ini. Hinata menegang. Matanya melebar sejenak, refleksi rasa bersalah yang terlalu cepat untuk disembunyikan. Hanya sekilas, tapi cukup.

Dia tahu aku tahu.

"Hinata, jangan bohongi aku."

Sunyi menyergap kami. Tak ada lagi kata-kata manis, tak ada lagi alasan. Hanya ada kenyataan pahit yang tak bisa diabaikan lagi.

I'm Not The Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang