Her Name

399 64 26
                                    

Hinata POV. Flashback sebelum pernikahan.

"Hinata... Kuharap pilihanku kali ini adalah pilihan yang tepat." Kata ayahku saat itu. "Aku ingin kau menikah dengan Rokudaime, karena dialah pria terbaik menurutku."

Aku terkejut saat Chichi-ue mengumumkan siapa calon suamiku.

Bukan Naruto, tetapi Rokudaime Hokage, murid dari Namikaze Minato, guru dari Uzumaki Naruto.

Hatiku terasa membeku saat mendengarnya. Mengapa ayahku memilihnya? Bukankah ia tahu bahwa aku mencintai Naruto?

"Kau akan hidup bahagia dengannya, Hinata. Dia adalah pria baik dan bertanggung jawab. Dewasa serta penuh ketekunan."

Yang aku ingat dari Kakashi-sensei adalah kesukaannya membaca novel erotis seri Icha-Icha. Kebiasaan terlambatnya dan julukannya sebagai Si Ninja Peniru.

Beberapa kali menjalani misi bersama, ia memberikan kesan bahwa ia sangat kuat. Jauh melebihi jounin lain. Strateginya sangat bagus, bahkan bisa dibilang ia jenius.

Selain itu, ia seumuran dengan Kurenai-sensei yang empat belas tahun lebih tua dariku.

Ragu langsung menyelimuti hatiku. Apakah aku bisa menjalani sisa hidup bersamanya?

"Hinata, kau akan mengerti di kemudian hari mengapa Rokudaime yang kupilih."

Aku menganggukkan kepala. Patuh.

Apa lagi yang bisa kulakukan? Aku tak mau Hanabi menjadi bunke jadi aku harus menikahi pria terhormat dan berkuasa.

"Aku menerimanya, Chichi-ue."

Kataku mantap.

***
"Hinata..." Naruto terengah-engah menghampiriku. Kulihat bulir keringat membasahi wajah dan lehernya.

"Naruto-kun..." Aku amat terkejut melihatnya susah payah mengejarku.

Ada apa?

"Katakan..." Aku melihat api di matanya.

Kemarahan? Kekecewaan?

"Apa benar kau akan menikah dengan Kakashi-sensei?"

Naruto bertanya dengan wajah memerah menahan marah.

"Jawab, Hinata. Jawab."

Aku terdiam beberapa saat. Tak pernah Naruto memanggilku tanpa suffiks -chan di belakang namaku. Kuasumsikan saat ini ia sedang betul-betul serius.

Aku mengangguk pelan.

"Sial..." Naruto meremas rambutnya.

"Mengapa?" Tanya Naruto lagi. Wajah tampannya menyiratkan luka. "Kau pernah berkata bahwa kau mencintaiku."

Pernyataan Naruto membuat otakku memutar memori yang terasa masih segar dalam ingatan.

Saat aku mengatakan bahwa aku mencintainya di depan Pein.

Dan setelahnya, aku sekarat.

Sekarat, hampir mati, dimana satu-satunya harapanku yang tersisa adalah agar Naruto baik-baik saja.

"Aku memang m-mencintai Naruto-kun..." kataku terbata-bata.

"Lalu mengapa kau menikah dengan Kakashi-sensei?" Naruto mencengkeram bahuku. Keras namun tidak menyakitkan. "Kupikir kau akan menungguku sampai aku pantas menjadi menantu Klan Hyuuga. Mengapa kau tak bisa bersabar sedikit saja, Hinata?"

Kata-kata Naruto begitu menghujam dadaku. Aku merasa bahwa aku adalah wanita yang jahat. Tapi...

"Mengapa baru mengatakannya sekarang, Naruto-kun?" Aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku, menatap biru laut yang terpancar di matanya.

I'm Not The Only OneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang