Aralie - Nala

278 26 2
                                    

Saat ini Aralie sedang duduk sendirian di kantin sekolahnya, memperhatikan rintik hujan yang semakin lama semakin deras sejak satu jam yang lalu, membuat kantin yang biasanya ramai menjadi sedikit lebih sepi.

Pandangan gadis itu sesekali beralih ke arah jalan masuk kantin seolah menanti seseorang yang secara tidak sadar sering hadir dalam benaknya akhir-akhir ini yaitu Nala atau lebih tepatnya Shabilqis Naila.

Aralie tahu ini konyol, apalagi jika mengingat Nala itu bukan miliknya. Gadis itu sudah memiliki pacar, Nina namanya yang terlihat begitu sempurna di mata banyak orang.

Tapi, masalah perasaan kan memang tak pernah bisa dikendalikan.

Tak lama kemudian, terlihat Nala sedang berjalan ke arah kantin sembari mengguncangkan payung kecil yang basah. Senyum gadis itu langsung merekah ketika ia melihat Aralie sedang duduk di pojok kantin dan tanpa ragu kakinya mulai mendekati meja tersebut.

"Aralie! Kamu di sini juga? Tumben nggak pulang, hujan begini," sapa Nala sembari menarik kursi di depannya untuk ia duduki.

Aralie tersenyum tipis, menahan debaran di dadanya yang selalu muncul ketika Nala berada di dekatnya, "iya, aku kejebak hujan trus juga eggak bawa payung, jadi nunggu aja di sini," jawabnya santai.

Nala tertawa ringan, "aku juga sama, enggak nyangka hujannya bakal sederas ini," balasnya sembari menatap ke arah gadis yang dikenal hobi bernyanyi itu, "untung aja kamu ada di sini, jadi aku punya teman ngobrol deh."

Entah kenapa, ucapan sederhana yang keluar dari mulu Nala itu berhasil membuat Aralie merasakan hangat yang aneh di hatinya, "iya, kalau sendirian pasti bosan banget," balasnya dengan nada tenang, meski pikirannya berusaha menahan desakan perasaan yang ingin sekali ia ungkapkan.

Namun, Aralie tahu betul, ada batas yang tak boleh ia lewati.

Hujan terus berderai, menambah suasana nyaman di antara mereka berdua, "akhir-akhir ini aku sering ngeliat kamu bolak balik, kerasa banget sibuknya kakak Osis ini," ucap Aralie, berusaha memulai percakapan.

Nala terkekeh pelan kemudian mengangguk sambil menyandarkan punggungnya ke kursi, "iya, kan sebentar lagi ada pensi jadinya gitu deh, banyak yang harus diurus, belum lagi tugas-tugas kelas kita kan, rasanya kayak nggak punya waktu buat diri sendiri," jawabnya pelan.

"Terus gimana kamu bagi waktu sama Nina?" Pertanyaan itu terlontar begitu saja, dan seketika Aralie merasa menyesal karena ia tak ingin terlihat terlalu ikut campur hubungan orang lain.

Namun, rasa penasaran itu ternyata lebih besar daripada yang ia bayangkan.

Sementara Nala menghela napas pelan, ekspresinya sedikit berubah, seolah ada beban yang dia sembunyikan, "ya, Nina juga sibuk sih sama ekskulnya, padahal satu sekolah kan tapi emang belakangan ini kami jarang banget ketemu, ya walaupun tiap malem masih sering teleponan, sih."

Mendengar itu, hati Aralie terasa sedikit lega, walaupun ia tahu perasaannya ini salah. Nala sudah ada yang punya, dan Nina bukan seseorang yang layak dia benci, "Kamu nggak merasa berat, ngejalanin hubungan kayak gitu?" tanya Aralie, kali ini lebih berhati-hati.

Nala tersenyum, tapi Aralie bisa melihat jika ada sedikit keraguan dalam tatapannya, "Kadang berat juga, tapi aku percaya sama Nina sama kayak dia percaya sama aku, apalagi kami udah bareng cukup lama. Jadi, ya... aku cuma berharap semuanya bakal tetap baik-baik aja."

Aralie mendengarkan dengan saksama, karena dia tau jika hubungan Nala dan Nina sudah berjalan cukup lama, kalau tidak salah sejak tahun pertama mereka berdua masuk SMP, artinya hampir 5 tahun yang lalu.

Lama juga.

Tapi, kenapa hatinya masih sulit menerima kenyataan itu? Seharusnya kan Aralie bisa menjauh, berhenti memupuk harapan palsu yang ia buat dipikirannya sendiri. Namun, setiap kali Nala berbicara dengan lembut, setiap kali senyum itu muncul, perasaan di dadanya tak bisa dihindari.

Story of Gen 12Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang