Bab 02

61 2 0
                                    

Bab 3

Jogja memang menawarkan ketenangan bagi jiwa yang terluka, tapi bagi Keisha, ketenangan itu hanya sesaat. Setelah hari-hari yang penuh dengan ketidakpastian, akhirnya Keisha dan Elena kembali ke Jakarta. Hati Keisha masih berat, tapi dia sudah mantap dengan keputusannya: saatnya menyelesaikan semuanya dengan Rendra.

Pesawat yang membawa mereka mendarat mulus di Bandara Soekarno-Hatta. Setelah mengambil bagasi, Keisha menerima pesan dari Rendra yang sudah menunggunya di pintu keluar.

Mas Rendraku:
"Sudah di mana?"


Keisha:
"Di pintu 3."


Tak lama kemudian, Rendra muncul dengan ekspresi datar. Keisha sudah terbiasa dengan sikap dingin suaminya, tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Seolah-olah ada beban yang sedang dipikul oleh pria itu. Mereka saling berhadapan dalam keheningan sesaat, sebelum Rendra mengambil alih koper Keisha.


"Ayo, kita pulang," ucap Rendra singkat.

Keisha hanya mengangguk, mengikuti langkah suaminya yang tegas tapi penuh ketegangan. Di dalam mobil, tidak banyak yang dibicarakan. Hanya deru mesin dan suara kendaraan lain yang menemani perjalanan mereka. Elena sudah lebih dulu pulang dengan taksi online, memberikan ruang bagi Keisha dan Rendra untuk berbicara.

Di dalam mobil, Keisha mencoba merapikan pikirannya. Rendra jelas tahu ada sesuatu yang salah, tapi pria itu tidak tahu dari mana harus memulai pembicaraan. Sepanjang perjalanan, Rendra hanya sesekali melirik Keisha yang tampak fokus menatap pemandangan luar. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing hingga mereka tiba di rumah.


Keisha berjalan masuk ke rumah dengan langkah ragu. Rendra menutup pintu dengan hati-hati, kemudian menghela napas panjang sebelum akhirnya memutuskan untuk memulai percakapan yang telah lama mereka hindari.


"Kamu kelihatannya nggak senang berada di sini," kata Rendra memecah keheningan.


Keisha menoleh, tatapan matanya tajam dan penuh luka. "Bukan soal di mana aku berada, Mas. Tapi dengan siapa aku harus menjalani semuanya," jawabnya pelan, tapi menusuk.

Rendra menunduk, merasakan setiap kata Keisha sebagai pukulan. "Ayo bicara! Mungkin saya bukan suami yang baik, tapi—"


"Bukan mungkin, tapi memang," potong Keisha tajam, suaranya bergetar antara marah dan sakit hati. "Mas tahu apa yang paling menyakitkan? Bukan hanya soal Nara. Tapi bagaimana Mas memilih untuk tetap terjebak dalam bayangan masa lalu itu, sementara aku di sini berusaha mengerti dan bertahan."


Rendra mencoba mempertahankan ketenangannya. "Saya dan Nara tidak seperti yang kamu pikirkan, Keisha. Dia cuma butuh bantuan. Saya hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."

Keisha menggelengkan kepala, menahan air mata yang mulai menggenang. "Seharusnya Mas sadar, kenapa terus membiarkan dia hadir di antara kita? Aku lelah, Mas. Aku nggak sanggup lagi hidup dalam perasaan diabaikan, hanya menjadi formalitas istri di mata orang lain. Aku manusia, Mas. Aku butuh cinta, perhatian, bukan sekadar status."

Kata-kata Keisha membuat Rendra tersentak. Selama ini dia mungkin menganggap Keisha kuat, bisa bertahan tanpa banyak menuntut. Tapi di balik kekuatan itu, ternyata ada kepedihan yang terus dipendam. Dan saat ini, semuanya terungkap dengan begitu gamblang.

Keheningan kembali menyelimuti mereka. Rendra tahu bahwa percakapan ini adalah titik kritis yang menentukan nasib pernikahan mereka. Dia harus mengambil langkah besar jika masih ingin mempertahankan Keisha. Tapi di sisi lain, Nara masih menjadi bayang-bayang yang sulit dilepaskan.

Di antara dua hati Where stories live. Discover now