"Jika bertahan itu sakit, untuk apa tetap bertahan? Hatimu berhak memilih. Melepaskan rasa sakit itu atau tetap memeluknya?"
-Keisha Anandita Raveena-
"Maaf, Bu. Bapak berpesan ibu tidak boleh keluar rumah," ucap Tuti sopan, menghadang Keisha yang akan pergi dengan kopernya.
"Mbak, saya harus pergi sekarang. Tolong jangan halangi saya!" Ujar Keisha penuh penekanan.
Namun, Tuti menggeleng tegas, "Tolong jangan mempersulit saya, Bu. Saya bisa terkena hukuman Pak Rendra kalau ibu sampai pergi." Kata Tuti memelas.
Keisha mendesahkan napasnya berat, "Saya juga kesulitan kalau tetap bertahan di rumah ini, mbak," jujur Intan dengan menahan tangis. Dia sudah lelah untuk bertahan. Tetapi kenapa Rendra mempersulitnya? Pria itu seakan tahu rencana Keisha yang akan pergi.
Tuti menjadi tidak tega melihat Keisha yang sepertinya amat tertekan, "Bu, kalaupun saya tidak menghalangi ibu. Sepertinya bu Keisha juga akan sulit keluar dari rumah ini. Baru saja Bodyguard suruhan Pak Rendra datang. Sekarang mereka berjaga di pintu utama dan di pos satpam."
Keisha membelalak kaget, "Ma-maksudnya apa, mbak? Suami saya nempatin Bodyguard di rumah ini? Dia mau mengurung saya, kah?" Tanya Keisha menarik kesimpulan.
Tuti hanya bisa terdiam, dia pun bingung dengan situasinya. Mengapa tiba-tiba Pak Rendra memberikan perintah itu sebelum pergi?
Keisha hampir tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tubuhnya seketika melemas, merasa seolah berada dalam jerat yang tak mungkin dilepaskan. Pikirannya berkecamuk, berusaha mencerna situasi yang di luar dugaannya.
"Kenapa Mas Rendra sampai melakukan ini?" gumam Keisha, lebih pada dirinya sendiri. Matanya berkilat marah bercampur kecewa. Dia merasa mendadak diperlakukan bukan sebagai istri, melainkan sebagai tahanan di rumah suaminya. Ah, Keisha sejenak lupa, memang kapan Rendra pernah memperlakukannya sebagai istrinya?
Tuti menunduk, tampak canggung dan serba salah melihat keadaan majikannya. "Saya tidak tahu pasti, Bu. Tapi tadi Pak Rendra berpesan agar saya tidak membiarkan Ibu keluar rumah. Mungkin... mungkin beliau hanya khawatir," ucap Tuti mencoba menenangkan, meski ia pun tak yakin dengan kata-katanya sendiri.
Keisha tersenyum pahit mendengar alasan itu. Khawatir? Jika memang Rendra khawatir, mengapa pria itu lebih memilih pergi menemui Nara daripada berbicara dengannya? Keisha tahu ini bukan tentang kekhawatiran, melainkan kontrol dan ego Rendra yang tidak rela kehilangan sesuatu yang sudah dianggap miliknya. Sungguh egois!
"Saya harus keluar dari sini, mbak. Saya nggak bisa terus hidup di rumah ini. Sama saja saya terpenjara kalau seperti ini, mbak," ucap Keisha dengan suara serak menahan emosi. Dia kemudian memutuskan untuk membawa kopernya kembali ke kamar. Jika tidak bisa keluar saat ini, setidaknya dia bisa bersiap kapan saja kesempatan itu datang.
Di dalam kamarnya, Keisha terjatuh di atas tempat tidur, merasakan lelah yang luar biasa. Semua yang terjadi terasa seperti mimpi buruk yang tak berkesudahan. Keinginannya untuk keluar dari rumah ini semakin menguat. Jika Rendra berpikir bisa menghalanginya dengan menempatkan bodyguard, maka dia akan mencari cara lain.
Keisha menarik napas dalam-dalam, meneguhkan tekadnya. Rendra mungkin bisa menahan tubuhnya di rumah ini, tapi tidak akan bisa menahan hatinya yang sudah memutuskan untuk pergi. Keisha yakin pasti ada cara lain.
Dia segera mengirim pesan pada Elena.
Me: "El, Mas Rendra kurung gue di rumah. Gue nggak bisa keluar. Bahkan ada Bodyguard di rumah. Semua orang rumah mihak Mas Rendra. Gue harus gimana, El?"
Tidak ada tempat lain untuk Keisya yang yatim piatu mengadu selain Elena.
Dering singkat dan getaran dari benda pipih yang digenggam Keisha itu menandakan sebuah pesan balasan masuk dari Elena.
Elena: "WHAT? Dia udah kelewatan, Kei! Tenang, lu harus tenang, dan jangan panik, gue bakal cari cara. Jangan nekat dulu, biar gue mikir dulu. Lu tahan-tahan dulu di situ. Gue pasti bantuin lu."
Keisha menatap layar ponselnya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena setidaknya Elena tahu keadaannya. Namun, di sisi lain, ketakutan tetap menghantuinya. Bagaimana jika Rendra benar-benar tidak memberinya jalan keluar? Bagaimana jika dia harus terus terperangkap dalam pernikahan yang tak lagi dia inginkan untuk menetap?
Keisha merasakan keputusasaan yang semakin dalam. Keisha kembali menatap kopernya yang sudah terisi sebagian. Rasanya sulit percaya bahwa dirinya, yang dulunya menjalani pernikahan dengan penuh harapan dan sudah mencintai suaminya, kini harus menghadapi situasi seakan dirinya adalah tawanan di rumahnya sendiri.
Dia mengetik kembali pesan untuk Elena.
Me: "Gue benar-benar takut, El. Kayaknya Mas Rendra nggak akan biarin gue pergi gitu aja. Gue nggak tau harus gimana..."
Keisha menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata yang kembali mengalir. Rasanya seolah dunia mengepungnya dari segala arah, membuatnya terperangkap dalam jerat yang tak bisa dia lepaskan. Satu-satunya harapan adalah Elena, sahabat yang selalu mendampinginya dalam suka maupun duka.
Tak lama kemudian, ponselnya berdering lagi.
Elena: "Kei, gue bakal datang ke rumah lu malam ini. Gue bawa temen yang bisa bantu lu keluar. Tenang aja, lu nggak sendirian. Tolong tenang, tahan sampai gue sampai, ya?"
Keisha menghela napas panjang, merasa sedikit tenang mendengar rencana Elena. Setidaknya, ada secercah harapan di tengah kekacauan ini. Dia kemudian menyimpan ponselnya dan duduk di tepi tempat tidur, menatap hampa ke arah pintu kamar yang dia tahu kini terkunci dari luar. Bi Tuti mungkin sudah melapor pada Suaminya mengenai rencana Keisha yang ingin pergi.
"Gue harus pergi, gimana pun caranya," bisik Keisha pada dirinya sendiri.
Tatapannya tertuju pada foto pernikahan mereka yang terpampang dalam figura besar di dinding.
"Mas Rendra, kenapa harus seperti ini?" batinnya penuh dengan getir. Meskipun keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan Rendra, cara pria itu mencoba mengekang dirinya membuat luka itu semakin dalam.
Keisha menghapus air mata yang kembali menetes. Dia tahu harus kuat, tidak boleh terpuruk.
Ting! Sebuah pesan masuk di ponselnya membuat Keisha dengan cepat meraih ponselnya.
Keisha pikir yang mengirim pesan adalah Elena namun dia salah, Rendra-lah yang mengirim pesan.
Mas Rendra ku:
"Diam di kamar dan tunggu saya pulang!"
Keisha menangis kejar membaca pesan itu. Pesan dengan nada memaksa yang tidak Keisha suka. Keisha enggan untuk membalas pesan itu, tidak ada gunanya! Untuk apa dibalas? Memang Rendra akan mengizinkan dia pergi hanya karena dia membalas pesannya? Sepertinya tidak.
Ting! Pesan yang lain kembali masuk.
NR: "See, gue tetep pemenangnya, Keisha. Suami lu pasti nggak lagi di rumah, kan? Yap, lu jelas tahu, suami Lu ke apart gue. Rendra lebih mentingin gue daripada lu!"
Keisha meremas ponselnya erat, itu adalah pesan provokasi dari Nara. Dia tak akan terpancing. Tidak akan! Terserah Rendra. Dia tidak mau tahu lagi. Meskipun hatinya jelas terluka. Sebab, apa yang diucapkan Nara dalam pesannya adalah benar. Pada kenyataannya Mas Rendranya memang lebih mementingkan Nara dari pada dia yang notabene adalah istri sah Rendra!
Tbc..
YOU ARE READING
Di antara dua hati
Romance+62836790xxxx: Suami lo di apartemen gue. "Nara?" ketik Keisha pada pesan dari kontak baru yang masuk ke ponselnya. +62386790xxx: Yaps, pacar suami lo. Kasihan, lo tidur sendiri. Keisha menghela napas berat membaca pesan dari Nara. "Lagi?" gumamnya...