Alarm di ponselnya berbunyi tepat pukul 2.45 pagi, Runa terbangun dalam keadaan setengah sadar dan memanfaatkan waktu sepuluh menit untuk bersiap. Masih dengan kondisi yang diselimuti rasa kantuk, Runa meraih jaket dan syal tebal yang tergeletak di kursi lalu membombardir Cay dengan chat, nggak berapa lama, pria itu mengabari kalau dirinya sudah ada di depan kamar Runa, wajahnya terlihat segar, nggak seperti Runa yang kelihatan seakan separuh nyawanya menggantung di atas kepala.
"Nanti di jalan pas nanjak, tidur aja," ujar Cay, tangannya meraih tas Runa yang hampir jatuh karena gadis itu terlalu ribet dengan kunci kamarnya.
"Kita jeepnya joinan sama orang lain nggak, sih?"
"Nggak, kita sama driver aja. Jok belakang semua punya lo."
"Yay!" pundak Runa bergoyang semangat. Gadis itu kembali bersyukur dalam hati karena ditakdirkan ketemu Cay sebelum memulai perjalanan sok tahunya di Bromo, coba kalau dia tetap nekat menjalani semuanya tanpa persiapan yang matang dan pengalaman?
Jeep berwarna hijau tua sudah menunggu di tempat parkir nggak jauh dari lobi, mesinnya berderum pelan di bawah langit yang masih gelap. Saat Runa melangkahkan kaki keluar dari villa, udara dingin Bromo langsung menyergap, tapi rasanya justru nyaman, dingin yang nggak membuat badan jadi gemetar, seperti angin sepoi-sepoi yang menggoda kulit.
"Jalan, ya?" tanya Cay sambil menoleh ke Runa yang sudah duduk manis di kursi belakang, senyum tipis tersungging di wajahnya.
Runa hanya mengangguk, setengah menguap, Perjalanan melihat matahari terbit dimulai.
Naik jeep di Bromo adalah pengalaman yang seru dan mendebarkan sekaligus. Jalanan menuju puncak penuh dengan tanjakan curam dan tikungan tajam. Untungnya sopir jeep mereka benar-benar jagoan, setiap kali jeep berbelok tajam, Runa yang tadinya hampir ketiduran, langsung terbangun lagi, sampai akhirnya melanjutkan sesi tidur yang terputus tadi jadi mustahil buat Runa. Beberapa kali Cay menoleh ke arahnya sambil menahan tawa, disambut wajah Runa yang merengut kesal.
"Enak, kan? Kayak ditimang-timang," goda Cay.
"Ditimang kora-kora, maksud lo?"
"It'll be worth it, kok!" jawab Cay, matanya menyipit karena angin yang masuk lewat jendela jeep yang terbuka sedikit.
"I know." Runa kini duduk lebih tegap, "gue udah nggak ngantuk."
"Great."
Setelah perjalanan yang terasa singkat meski cukup lama, mereka tiba di tempat pemberhentian jeep, tepat di kaki bukit yang mengarah ke puncak penanjakan. Ada banyak rombongan wisatawan lain yang berkumpul di sana, semua dengan tujuan yang sama—melihat matahari terbit. Runa jadi lebih bersemangat sekarang.
Nggak butuh waktu terlalu lama untuk sampai di spot sunrise viewing, tepat pukul 4.40 mereka sudah sampai di sana, duduk nyaman di atas rumput berteman kopi kalengan yang tadi sempat mereka beli begitu turun dari jeep. Sunrise di Bromo sungguh memukau. Begitu matahari mulai muncul dari balik cakrawala, Runa merasa semua rasa kantuk yang kembali sempat menghampiri langsung lenyap seketika. Langit yang tadinya kelam perlahan berubah, menciptakan gradasi warna dari ungu tua, merah muda, hingga jingga keemasan.
"Bagusnya astaga... bagus, bagus, bagusss...." gumam Runa excited, tangannya merogoh kantong jaket untuk meraih handphone, pemandangan spektakuler ini harus diabadikan secepatnya.
Cay mengangguk, tersenyum melihat reaksi Runa. "Banget. Never failed. Mau berapa kalipun kesini, tetap nggak pernah nggak takjub."
Mereka diam dalam kekaguman, membiarkan matahari pagi yang hangat perlahan mengusir dinginnya pagi di Bromo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Twinkle, Twinkle, Little Sparks
ChickLit- novelette Saat Runa-si bridesmaid-dan Cay-si groomsman-bertemu dalam perjalanan menuju pernikahan teman mereka di Bromo, 𝘴𝘱𝘢𝘳𝘬𝘴 𝘧𝘭𝘺, 𝘧𝘭𝘺 𝘩𝘪𝘨𝘩. Tapi, dengan masa lalu rumit dan masa depan yang nggak pasti, apa mereka bisa mengatasi...